Ummul Karimah, PPA Karang Jati Putri (Assaudah)
GULUK-GULUK—Pengurus PPA Karang Jati Putri mengadakan pengontrolan sandal jepit di halaman Karang Jati Jumat (3/4) kemarin. Seluruh santri diperintahkan agar berjejer rapi dua baris di depan kamar masing-masing dengan memakai seragam sandal per blok.
Inisiatif pengontrolan tersebut muncul saat pengurus mengadakan rapat evaluasi kerja, Kamis malam (2/4), usai jamaah Isya’. Dalam rapat tersebut, Rodhifah, pengurus divisi keamanan, mengatakan bahwa kontrol semacam ini memang mesti dilakukan karena akhir-akhir ini, walaupun santri sudah diwajibkan berseragam sandal, tapi masih saja ada keributan tentang kebingungan mencari sandal. Bahkan, saat wali menyambangi putrinya di pondok, pasti ada kejadian sandal hilang. “Jadi, kasus ghasab harus diperhatikan dan larangan/aturan tentang ghasab harus lebih ditegaskan,” tambahnya.
Maka pagi itu, sekitar pukul 07.00 WIB, usai kerja bakti, santri diperintahkan untuk memakai sandal masing-masing. Peraturan yang telah disepakati dalam rapat tersebut adalah: barang siapa yang pada saat pengontrolan tidak memakai sandal, maka ia harus menyerahkan uang sebesar harga sandal masing-masing kamar untuk dibelikan sandal oleh pengurus divisi sarana dan prasarana.
Nurul Qamariyah, ketua pengurus, memperjelas bahwa mungkin asal-muasal ghasab di Karang Jati Putri disebabkan oleh salah satu santri yang tidak punya sandal. Keributan yang berpangkal dari sandal diduga menjalar menjadi kasus besar gara-gara 2 atau 3 santri yang tidak mempunyai sandal.
Saat acara kontrol berlangsung, tampaknya santri sangat tegang. Dan ketegangan tersebut juga dirasakan oleh Iis, sapaan akrab Istifadatul Qamariyah sejak acara dimulai. Hal itu terbukti, saat sampai pada giliran blok D, yaitu blok Iis, tenyata ia bingung mencari-cari sandalnya yang hilang. Rupanya, kata salah satu teman bloknya, ia memang tidak punya sandal. Ia kebingungan mencari-cari alasan. “Kemarin kan hujan mbak, jadi pas saya nyuci di parit saya tinggalkan sandal saya di situ. Kan becek, ga ada ojek lagi,” katanya cengengesan mencari alasan. Sayang, Iis sudah terlihat dan terbukti kebohongannya. Jadi pengurus tidak menerima alasan yang tidak masuk akal itu. Rodhifah segera meminta uang kepada Iis dan Iis pun segera memberikan uangnya Rp 6.000,-. Seluruh santri yang ada di halaman itu kontan tertawa terbahak-bahak. Begitu seterusnya sampai selesai—sampai terungkap siapa saja yang tidak punya sandal.
Kasus ghasab di pesantren memang tak pernah selesai. Termasuk di Karang Jati Putri. Meski larangan ghasab acap kali dibacakan, tapi 1-2 minggu sesudahnya pasti akan kambuh kembali.
Ironisnya, seluruh santri memang sudah tahu dan paham betul tentang hukum ghasab, tapi masih saja melakukannya. “Bila ini penyakit, bukankah setiap penyakit ada obatnya?” kata Anisah yang juga divisi keamanan. Anisah juga menambahkan bahwa kesadaran untuk tidak melakukan ghasab ini ada pada diri kita masing-masing. “Jadi ini juga tergantung pada kesadaran masing-masing,” paparnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
aku pikir kebiasaan buruk ghasab hanya di santri putra, tak taunya di putrinya juga toh.... weleh...welehhh.......
Posting Komentar