Minggu, April 19, 2009

Catatan Magang di YPI Al-Hikmah Surabaya (1)


Subaidi, Sekretariat PPA

Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar ada orang menyebut lembaga pendidikan Islam, semisal pesantren atau madrasah? Hampir bisa dipastikan bayangan yang muncul adalah sebuah lembaga dengan bangunan seadanya, atau meskipun berbeton tapi tata ruangnya amburadul, kebersihannya jauh dari jargon annadhafatu minal iman, administrasinya asal-asalan, sistem pengajarannya tradisional, kalaupun mengadaptasi kurikulum Diknas hanya sebatas formalitas saja, jumlah muridnya melebihi kapasitas ruangannya, atau bahkan sebaliknya kelasnya berisi tidak lebih hitungan jari saja, guru-gurunya jarang masuk atau suka terlambat, sementara yang digembar-gemborkan adalah pengabdian dan barokah, dan seabrek masalah lainnya yang kurang sedap untuk didengar.
Namun bayangan seperti di atas sirna bagitu saja ketika saya berkesempatan singgah selama tiga hari di Lembaga Pendidikan Islam Al-Hikmah Surabaya. Memasuki gerbangnya saja pikiran saya berkata bahwa lembaga (Islam) ini berbeda.
Kesempatan saya untuk magang di Al-Hikmah ini merupakan kelanjutan dari program kunjungan PP Annuqayah ke lembaga itu pada hari Rabu (15/4) lalu. Saya magang bersama 9 orang guru Annuqayah lainnya, yakni Nur Mustofa dan Bahrur Rozi (MA 1 Annuqayah Putra), Afif Riyadi dan Ny. Shafiyah A. Warits (MA 1 Annuqayah Putri), Utsman Fatmala (MA Tahfidh), Mulyono (SMK), Ahmadi (MA 2 Annuqayah), dan Mus’idah Amien (SMA 3 Annuqayah).
Secara informal saya dan rekan-rekan yang lain diminta untuk magang. Secara informal, awalnya, kami diminta untuk belajar penanganan bimbingan dan penyuhan dari SMA Al-Hikmah. Maka setelah acara kunjungan berakhir di Rabu siang kemarin, kami sekali lagi secara informal diserahkan oleh K. Alawi Thaha (Ketua IV Pengurus PP Annuqayah yang juga merangkap RMA MQIP PPA-SF) kepada Kepala SMA Al-Hikmah, Drs. Ustadz Edy Kontjoro.
“Jika ingin mengetahui ruh Al-Hikmah, datanglah besok pagi jam 7 kurang seperempat!” begitu paparan Ustadz Edy menyarankan dalam penyerahan kami di ruang pertemuan beliau. Ketika rombongan guru Annuqayah meninggalkan Al-Hikmah, kami dengan dibantu Ustadz Mukhtar mencari penginapan. Ustadz Mukhtar ini pula yang kemudian bersedia mengantar-jemput kami dari penginapan ke SMA Al-Hikmah.
Keesokan harinya, hari Kamis, tidak ingin terlambat. Kami bangun pagi-pagi benar. Tanpa sarapan, pukul 06.30 WIB kami bersepuluh sudah mematung menunggu jemputan Carry biru Ustadz Mukhtar yang katanya sudah 15 tahun mengabdi di Yayasan Islam Al-Hikmah. Lima belas menit berikutnya kami tiba di SMA Al-Hikmah. Sama seperti kemarin, kami disambut resepsionis yang ramah. Kemudian kami dipersilakan menuju ruang pertemuan. Alhamdulillah kami yang pertama sampai di ruangan itu. Jadi saya pikir ini sebuah awal yang cukup baik. Lima menit kemudian Ustadz Edy dan ustadz-ustadzah yang lain ditambah semua murid putra-putri kelas akhir SMA Al-Hikmah memenuhi ruangan itu. Sebelum ngaji dimulai, kami, kaum adam, diminta untuk berkelompok dengan ustadz-ustadz yang lain (tidak dengan ustadzah).
Tak lama kemudian, Ustadz Andi membuka acara ngaji bersama itu. Acara ngaji dikomando oleh salah seorang siswa yang saya lupa namanya. Surat yang dibaca adalah Surat Annaba. Berhubung saya pribadi, dan mungkin juga sebagian besar teman-teman dari Annuqayah, tidak hafal surat tersebut, saya hanya sekadar menggerak-gerakkan bibir saja agar seandainya saya diperhatikan salah satu ustadz Al-Hikmah, seakan-akan saya juga turut membaca, meskipun tentu saja gerakan bibir asal dengan sungguhan tentu berbeda. Saya tidak sempat memperhatikan bibir teman-teman yang lain. Cuma malam harinya, salah seorang teman mengaku bahwa dia juga melakukan seperti apa yang saya lakukan.
Bacaan Al-Qur’an mereka bagus sekali. Menurut saya, bacaan santri Annuqayah secara umum kalah bagus. Mereka membaca dengan tartil dan di luar kepala. Maklum, seperti yang disampaikan Ustadz Edy, guru ngaji mereka adalah seorang Qari’ nasional yang menggunakan metode Umi (pengembangan metode Qiroati) sebagai kurikulum belajar Al-Qura’annya. Selain itu, semua murid SMA Al-Hikmah memang diwajibkan menghafal juz 1 dan Jum ‘Amma (juz 30) sebelum dinyatakan lulus.
Selesai membaca al-Qur’an, ustadz Edy menyampaikan tausiyah singkat. Dengan narasi bercerita, beliau mengetengahkan tentang pentingnya mengingat kematian. Pertama-tama beliau menyampaikan informasi tentang meninggalnya salah seorang orang tua ustadzah di Al-Hikmah. Kemudian cerita tentang itu beliau jadikan batu pijakan untuk menyampaikan pesan-pesan tausiyahnya. Saya dengan hidmat menyimak paparan beliau yang menyentuh tapi tidak terkesan menggurui. Benar, kegiatan di pagi itu memang dapat menggambarkan ruh Al-Hikmah seperti yang ditegaskan Ustdaz Edy kemarin. (Bersambung)


Berita terkait:

3 komentar:

ketabahan hati mengatakan...

terro taoah mu`kemu`en cubit,untung cuman 2hari bibirnya selamt dari gigitan gigi tajammu

Mahmud Zaen mengatakan...

Ketahuan ustadz di annuqayah banyak ustadz karbitan, bukan hanya santri karbitan.............
Kalau pisang dikasih karbit, jadi masak duluan sebelum waktunya. Di annuqayah juga sama, banyak ustadz yang masak duluan, eh, nggak tahu ngaji yang bener.......

6310 i mengatakan...

acora' ce' hebatdha Al-Hikmah itu. Di Annuqayah sebetulnya banyak orang hebat keng gun korang sombong sakuni'. Cuma ya seperti kata pepatah, "Rumput Tetangga Selalu Kelihatan Lebih bHiiiRU" [bukan "Hujau" lho...]