Senin, April 27, 2009

Sampah, Santri, dan Nasib TPA Taman Kodok

Jamaluddin M Haz, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Sampah yang bertumpuk di sebelah timur jalan raya seberang kediaman K.H. Qoyyum dan H. Subairi itu, yang dikenal dengan sebutan TPA Taman Kodok, semakin hari semakin menumpuk, karena setiap pagi tempat pembuangan sampah itu terus ditambah dengan sampah-sampah baru yang dibuang oleh santri dari beberapa daerah di Annuqayah.
Daerah yang paling banyak menyumbangkan sampah setiap hari adalah Lubangsa. Daerah ini setiap harinya menyumbangkan sekitar enam gerobak untuk tempat pembuangan sampah ini.
“Kami tiap pagi menyumbangkan sekitar enam gerobak untuk tempat pembuangan sampah Taman Kodok. Memang Lubangsa termasuk daerah yang paling banyak menyumbangkan sampah untuk tempat pembuangan itu. Wajar, karena santrinya paling banyak,” ucap Sayyif, Kordinator kebersihan di Lubangsa.
Selain itu, setiap setengan bulan sekali Lubangsa mengadakan Jum’at bersih. Ketika Jum’at bersih ini dilaksanakan, maka jumlah sampah yang dibuang ke TPA jumlahnya lebih banyak.
Meski setiap hari di tempat pembuangan sampah itu ada sekitar lima orang yang memulung sampah, tapi semua itu tak cukup untuk mengurangi risiko gangguan terhadap masyarakat yang ada di sekitar tempat pembuangan sampah tersebut, karena mereka hanya mengambil sampah yang bisa dijual saja. Laju penambahan sampah jauh lebih sedikit daripada jumlah sampah yang dipulung.
Sampah yang bertumpuk itu kadang mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat dan mengganggu aktivitas masyarakat yang ada di lingkungan itu, terutama terhadap rumah yang ada di seberang jalan itu, yaitu rumah K.H. Qoyyum dan H. Subairi.
Menurut H. Subairi sampah, yang bertumpuk itu sangat mengganggu lingkungan yang ada di sekitar situ, karena bau yang sangat menyengat. Apalagi ketika sampah itu dibakar dan asapnya masuk ke dalam rumah-rumah yang dekat dengan sampah tersebut. Asap itu sangat mungkin dapat menimbulkan penyakit.
”Saya berharap kepada pengurus Pesantren agar masalah sampah ini diatasi secepatnya, karena ini sangat mengganggu kepada kami sekeluarga. Minimal satu minggu satu kali ada orang yang bertugas untuk mengatur sampah tersebut agar tidak menumpuk seperti ini, karena ketika menumpuk, sampah ini akan mengeluarkan bau yang busuk. Apalagi ketika sampah itu dibakar,” ucap H. Subairi.
“Sering sekali sampah ini mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat dan kadang sampai mengganggu pernafasan. Saya sangat berharap pihak pesantren bisa mengatasi masalah sampah ini dengan cara apa pun, agar sampah itu tidak lagi mengganggu aktivitas kami sekeluarga,” papar Neng Lili salah satu dari putri K.H. Qoyyum. Bukan hanya Neng Lili yang berharap demikin, tapi santri yang bertempat di pondok itu juga sangat berharap agar pihak pesantren bisa mengatasi masalah sampah itu.
Selain mengganggu lingkungan sekitar, timbunan sampah itu juga mengganggu jalannya lalu lintas yang ada di lingkungan itu. Santri yang melakukan pembuangan sampah itu kadang tidak pernah memperhatikan tempat itu, sehingga, sampah itu terus bertumpuk di sebelah barat di tepi jalan. H. Subaidi sudah pernah mengingatkan santri yang membuang sampah di situ.
Yang paling parah adalah ketika sampah itu dibakar dan asapnya mengepul masuk ke rumah-rumah sekitar, seperti yang terjadi selama beberapa hari sepekan yang lalu. Sampah yang bertumpuk itu dibakar dan asapnya mengepul sampai mengganggu jalanya lalu lintas, karena tempat itu penuh dengan asap.
Santri yang bertempat di K.H. Qoyyum sebenarnya merasa keberatan dengan pembakaran sampah itu, karena imbas dari pembakaran itu juga kembali pada mereka. “Saya sebenarnya keberatan dengan pembakaran sampah itu, karena kami santri di sini menerima imbas dari pembakaran sampah itu. Tapi mau digimanakan lagi, kalau tidak dibakar sampah itu akan menumpuk dan akan mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat,” kata Ainur Rahman, salah satu santri K.H. Qoyyum.
“Asap pembakaran sampah itu sangat mengganggu kami, bahkan terkadang terhadap kesehatan kami. Asap dari pembakaran itu berlangsung hingga sehari semalam dan tidak pernah berhenti,” papar Nurul Huda, salah satu santri Kiai Qoyyum yang lain.
Saat ditanya tentang siapa yang melakukan pembakaran tersebut, H. Subairi mengaku tidak tahu. Si pembakar sampah itu sampai saat ini tetap masih menjadi misteri yang belum terungkap.
Sementara itu, Subaidi, pengurus Kebersihan Lubangsa, menyatakan hal yang sama. “Saya tidak tahu siapa yang membakar sampah tersebut dan kami tidak pernah melakukan pembakaran itu,” tuturnya.
Ketika sampah itu dibakar, hampir setiap hari H. Subairi memadamkan api itu dengan air, agar asapnya tidak lagi mengganggu lingkungan rumahnya. Dia hanya bisa pasrah ketika bau busuk dari sampah itu menyebar.
Sampah yang bertumpuk itu sampai saat ini terus menjadi masalah bagi warga sekitar, karena asap dan bau yang ditimbulkan cukup mengganggu jalannya aktivitas sehari-hari mereka. Masyarakat yang tinggal di sekitar TPA itu sangat berharap agar pihak Pesantren secepatnya menanggulangi masalah sampah di TPA tersebut, karena para santrilah yang membuang sampah-sampah tersebut.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

padahal pesantren adalah gudangnya pemahamn tentang BERSIH BAGIAN DARI IMAN. maka mari kita pikir penanganan bersama. dalam rapat2 pengurus PPA dulu pernah saya singgung masalah ini tapi sepertinya tidak ada respon yang ditindaklanjuti. bahkan sekitar setahun lalu saya sempat ngomong ke mas toni mungkin ada semacam institusi yang bisa membantu kami mengatasi masalah ini.