Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan
GULUK-GULUK—Jika kebetulan Anda lewat di dekat Mushalla PPA. Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep, pada malam Sabtu, Senin, dan Kamis, kira-kira pukul 20:30-23:00 WIB, mungkin Anda akan melihat segerombolan anak muda yang tengah asyik menekuri kitab kuning yang terhampar di hadapan mereka. Mungkin juga terdengar tumpang-tindih suara-suara mereka; ada yang menghafal, ada yang bergulat mempertanggungjawabkan tugas masing-masing kepada seorang pembimbing, dan ada pula yang menyanggah penjelasan teman-temannya yang mereka rasa kurang pas. Suasananya sangat akrab dan meriah.
Itulah realisasi program baru yang digalakkan oleh Roudlatullughah, anak cabang dari Departemen Pendidikan dan Peribadatan (Dikdat) PPA Lubangsa Selatan, yang diberi nama “Halaqah Kitabiyah”. Umur Halaqah Kitabiyah masih sangat muda untuk ukuran perjalanan sejarah sebuah organisasi. Terhitung sejak bulan Januari 2009, organisasi yang memfokuskan diri pada usaha membaca dan mengkaji kitab kuning ini mulai dijalankan oleh sekelompok anak muda; Moh. Rusydi, Dedi Anwari, Yondriani Akbar, dan Rifqi Wida Sarandi. Mereka secara swadaya merelakan dirinya untuk mengembangkan aktivitas kitab kuning di PPA Lubangsa Selatan.
Dedi Anwari, sebagai salah satu penggagas berdirinya Halaqah Kitabiyah, ditemui di Perpustakaan Lubangsa Selatan Senin kemarin (6/4), mengatakan, Halaqah Kitabiyah sebenarnya bukan organisasi formal. Struktur pengurus tidak pernah ada. Hanya ditentukan siapa yang menjadi pembimbing dan siapa yang harus dibimbing. Namun, selama ini yang paling aktif dan berperan banyak adalah Mamad, panggilan sehari-hari Moh. Rusydi. Pembimbing yang lain hanya datang pada waktu-waktu tertentu. Karena paling aktif, maka secara kultural Mamad sudah dianggap sebagai Ketua.
Di usianya yang tidak sampai separuh tahun ini, Halaqah Kitabiyah terbilang berhasil, karena cukup mendapat perhatian yang signifikan dari santri PPA Lubangsa Selatan. Terbukti, sampai saat ini anggotanya sudah berjumlah 30-an orang. Dengan rincian 3 orang siswa MTs dan selebihnya adalah siswa MA/sederajat. Walaupun angka ini tak bisa dibanding dengan populasi santri PPA Lubangsa Selatan yang berjumlah 217 orang, namun, berkaca pada program-program sebelumnya yang berbentuk kursus semacam ini, antusiasme santri tidak mencapai angka tersebut.
Dedi, panggilannya sehari-hari, manambahkan, dirinya tidak bisa menjamin keutuhan organisasi tersebut sampai waktu tertentu. Menurutnya, fluktuasi kejenuhan para santri tidak bisa diprediksi. “Namun kami tetap akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kelangsungan aktivitas organisasi ini,” pungkas salah satu pengurus Lubangsa Selatan ini.
Ditemui secara terpisah pada hari Selasa (7/4), Yondriyani Akbar, yang juga menjadi pembimbing dalam Halaqah Kitabiyah, mengatakan bahwa ketertarikan santri barangkali karena dihadapkan dengan materi yang gampang dicerna. Dalam praktiknya, Halaqah Kitabiyah menggunakan metode “Amtsilati”, kitab praktis belajar membaca kitab kuning karangan K.H. Taufiqul Hakim, Semarang. Metode ini diterapkan karena memang mengandung kelebihan ketimbang metode lain yang sudah dilakukan pada kursus-kursus kitab kuning sebelumnya. “Setiap menjelaskan status gramatikal sebuah kata/frasa, salah satu kelebihan Amtsilati adalah selalu menyertakan kaidah dan penjelasan yang mudah dicerna,” kata siswa kelas satu MA Tahfizh ini.
Metode yang dipakai oleh Halaqah Kitabiyah adalah dengan membagi tingkatan juz sesuai dengan tingkat pemahaman mereka terhadap isi kitab panduan itu. Masing-masing juz memiliki praktik tersendiri. Misalnya, bagi yang masih mendalami juz I dan II, metode yang dipakai adalah hafalan. Sebelum mereka benar-benar berhasil menghafal materi yang diberikan oleh pembimbing, santri tersebut tidak boleh pindah juz. Sedangkan tingkat III menggunakan metode setoran. Setiap santri yang sudah mendiami tingkatan juz ini ditugasi membaca kitab kuning secara bergantian tiap minggu. Dan setiap selesai membaca mereka diminta menjelaskan apa yang sudah dibacanya tadi plus status gramatikal masing-masing kata dalam kalimat tersebut.
Moh. Siddiq (12), peserta termuda dalam kegiatan ini, mengurai alasan kenapa dirinya bisa tertarik masuk di Halaqah Kitabiyah. Siswa kelas II MTs ini mengatakan, pertama, dirinya memang terobsesi mendalami kitab kuning. Kedua, Halaqah Kitabiyah memberikan warna baru dalam hal metode pemahaman kitab kuning. “Semenjak mengikuti Halaqah Kitabiyah, perkembangan pemahaman kitab kuning saya cukup pesat,” katanya sambil tersenyum.
Seirama denga Moh. Siddiq, Abd. Rahman (17) mengatakan bahwa dirinya menemukan hal baru dalam Halaqah Kitabiyah. Remaja yang berasal dari Tana Merah, Manding ini masuk kira-kira empat bulanan yang lalu. Sampai saat ini, menurut dia, sudah banyak yang dia dapatkan dari Halaqah Kitabiyah. “Dulu saya tidak tahu apa pun tentang Ilmu Nahwu. Tapi sekarang sudah sedikit-sedikit bisa memahami,” tuturnya.
Moh. Husril Mubariq (15), remaja yang duduk di kelas I MA, juga mengamini pengakuan teman-temannya yang lain. Dia bergabung pada Februari 2009. “Kalau dulu saya tidak tahu apa-apa, sekarang sudah mengerti tentang Isim Nakiroh dan Mubtada-Khabar,” katanya mengakhiri perbincangan.
Di usianya yang masih belia, Halaqah Kitabiyah telah membuat kejutan, dengan meraih juara pada ajang kompetisi lomba kitab kuning yang diadakan oleh sebuah lembaga swasta di Bangkalan beberapa waktu lalu. Selain itu, Halaqah Kitabiyah telah mengutus anggotanya mengikuti secara rutin Bahtsul Masail yang diadakan oleh pondok-pondok pesantren yang tersebar di Madura.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar