Kamis, Januari 19, 2012

Nyai Syifa Ilyas: Ibunda yang Tangguh dan Bersahaja


Tim LPM Dinamika

Menjadi istri yang disayang suami dan ibu yang dicintai  putra-putrinya adalah harapan setiap perempuan. Tapi, untuk membentuk karakter yang demikian bukan perkara mudah. Seorang istri yang juga berstatus seorang ibu punya banyak tanggung jawab yang diemban untuk   menjadikan perjalanan bahtera rumah tangganya sakinah dan diliputi kebahagiaan. Peran seorang ibu sangat menentukan terhadap kesuksesan anak-anaknya kelak. Keteladan dalam hal kemandirian, ketekunan, kesabaran, dan keuletan seorang ibu menjadi cerminan kesuksesan putra-putrinya. Sosok ibu seperti inilah yang akan kru liput pada diri Nyai Syifa Ilyas, salah satu pengasuh PP. Annuqayah daerah Nirmala. Berikut profil dan sepak terjangnya.

Nyai Syifa Remaja

Nyai Syifa adalah putri dari salah satu pengasuh Annuqayah, K. Ilyas. Beliau adalah anak ke-enam dari tujuh bersaudara. K. Fauzin, Nyai Mahfudah, K. Amir, K. Ashim, Nyai Badi’ah, dan Nyai Nadiratun adalah saudara-saudaranya. Sejak kecil, beliau tinggal di daerah lubangsa bersama orang tuanya, kemudian pindah ke daerah Nirmala pada tahun 1963. Sejak kecil beliau berteman akrab dengan Nyai Umamah Makkiyah, pengasuh PP. Annuqayah daerah Latee II dan Nyai Rafi’ah (almh), pengasuh PP. Annuqayah daerah Sawajarin.

Nyai Syifa termasuk orang yang senang membaca. Membaca apa saja. Majalah, buku, dan koran seringkali menjadi teman duduknya di waktu senggang. Belajar bahasa Inggris di tahu 40-an barangkali merupakan hal yang tabu. Tapi, di tahun tersebut beliau mahir dalam bahasa Inggris. Itu terbukti dengan catatan-catatannya yang berbahasa Inggris. Dalam hal pendidikan agama, beliau banyak belajar pada abah dan kakak-kakaknya.

Yang lebih unik, beliau gemar mencatat hari, tanggal, bulan  dan tahun moment bersejarah, katakanlah misalnya hari kelahiran dan meninggalnya tokoh Indonesia, para masyayikh dan tokoh masyarakat. Kebiasaan menulis menjadikan beliau selalu mencatatat do’a dan wiridan yang dibaca oleh abahnya tiap kali selesai shalat. Beliau melakukan itu agar catatan tersebut bisa dibaca ulang dan dihafal. Masa remajanya diisi dengan kegiatan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah sampai beliau menikah. Kegiatan mengajarnya berhenti sampai tahun 90-an.

Nyai Syifa Ilyas ke Pelaminan Bersama K. Hasan

Nyai Syifa Ilyas menikah dengan saudara sepupunya, K. Hasan putra dari pasangan suami istri KH. Moh. Khalil dan Nyai Taqiyah di usia 19 tahun. Nyai Syifa adalah sosok istri yang sangat disayang suami, K. Hasan. Baktinya kepada suami menjadi cerminan dari keshalehannya. Bersama K. Hasan, beliau memiliki delapan buah hati. Tujuh laki-laki dan satu perempuan; yaitu Muhammad (alm), M. Afif Hasan, A. Hanif Hasan, A. Farid Hasan, M. Hamidi Hasan, A. Bashri Hasan, Fathaturrahmah dan Naqib Hasan.

Nasib malangnya mulai muncul ketika beliau melahirkan putra sulungnya yang diberi nama Muhammad. Anak tersebut diberi nama Muhammad, karena ia lahir di hari, tanggal dan bulan yang sama persis dengan kelahiran nabi Muhammad Saw. Yaitu hari senin, 12 Rabi’ul Awal. Namun sayang, sebelum abah dan umminya melihat senyum Muhammad, Allah terlebih dahulu memanggilnya dan memeluk erat dalam pangkuanNya.

Keluarga Ny. Syifa adalah potret keluarga yang sederhana. Itu terbukti dengan gubuk yang ditempatinya dan bekal hidup yang diberikan untuk putra-putrinya. Pendapatan keluarganya bisa dibilang masih relatif rendah dan di bawah standard. Baginya, ketentuan hidup tak harus disesali, tapi mesti disyukuri. Karena beliau yakin apapun garis kehidupan yang ditentukan Tuhan pasti akan memberikannya kenyamanan dan kebahagiaan. Hidup yang tak berkecukupan tak mampu menjadikannya menyerah dan patah arang untuk membiayai pendidikan putra-putrinya.

Nyai Syifa adalah pribadi yang tekun beribadah. Beliau tidak pernah meninggalkan shalat Tahajjud  dan Dhuha kecuali jika ada halangan. Setelah selesai shalat Shubuh, beliau mengaji al-Quran sampai waktu Dhuha datang. Selesai Dhuha beliau masih menyempatkan diri untuk mengaji kembali walau hanya beberapa ayat. Setelah mengaji, aktifitas rutinnya adalah mendatangi dapur untuk memasak sampai waktu siang tiba. Aktifitas ini menjadi rutinitasnya sehari-hari. Keshalehannya juga terlihat dari sifatnya yang pendiam. Beliau jarang sekali bertandang ke rumah tetangga hanya untuk ngerasani. Dengan sifat pendiam tersebut, beliau juga tak pernah mencampuri urusan keluarga putra-putrinya. Kemandirian hidup sudah beliau tanamkan pada putra-putrinya mulai sejak kecil. Sehingga, ketika mereka berkeluarga, mereka mampu hidup dewasa.

Nyai Syifa dan Kalung Emas

Kehidupan Nyai Syifa tampak begitu terjal dan tajam ketika Suami tercinta di panggil Tuhan. Semenjak hidup bersama K. Hasan, kehidupan Nyai Syifa dan putra-putrinya masih sangat memilukan dalam hal biaya hidup. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib selanjutnya Nyai Syifa dan tujuh putra-putrinya ketika ditinggal suaminya? Dari mana mereka harus mengais bekal hidup?  Disinilah peran sosok ibu yang kuat dan penyabar dimulai. Beliau tak pernah takut untuk melangkahkan kaki di atas kerikil tajam kehidupan meski dunia tak memberinya harapan untuk sekedar tersenyum. Walaupun hidup sebagai orang tua yang berstatus single parent di tahun 1986, Nyai Syifa terus berupaya agar putra-putrinya tidak memiliki nasib yang sama. Beliau menginginkan ketujuh putra-putrinya dapat hidup layak dan sukses kelak. Kala itu, semua putra-putrinya masih berada di jenjang pendidikan rendah, yaitu setingkat MI, Mts, dan MA.

Dengan bekal kesabaran dan harapan yang begitu kokoh, Nyai Syifa mulai mencari cara bagaimana semua putra-putrinya bisa menyelesaikan pendidikannya. Pekerjaan halal yang bisa dilakukan  biasa beliau kerjakan. Jika ada pisang, beliau menjadikannya goreng pisang untuk dijual pada santri atau apapun adanya beliau jadikan bahan berjualan untuk menghidupi keluarganya. Selain berjualan, beliau juga terampil menjahit. Dari pekerjaan itu, beliau membiayai kehidupan keluarganya.

Ada kisah menarik yang sempat menjadikan kru mengelus dada dan berdecak kagum pada sosok Nyai Syifa Ilyas. Cerita ini patut dijadikan pelajaran bagi semua ibu dan calon ibu. Kronologinya, dahulu Nyai Syifa memiliki kalung emas berantai.  Setiap kali beliau akan membiayai pendidikan putra-putrinya, emas berantai itu diambil satu persatu untuk dijual. Sampai saat ini, sisa emas berantai tersebut masih tetap ada sebagai saksi bisu bahwa beliau benar-benar sosok ibu yang memiliki kesabaran sekuat karang.

Sumber:
1. Dr. KH. Afif Hasan, M. Pd. I (putra Nyai Syifa)
2. Drs. K. Hanif Hasan (putra Nyai Syifa)
3. K. Naqib Hasan, S. Sos  (putra Nyai Syifa)
4. Nyai Fathaturrahmah, S. Ag  (putri Nyai Syifa)
5. K. Muhajir Bahruddin (menantu Nyai Syifa)

Tulisan ini dikutip dari Majalah Dinamika (terbitan LPM Putri Instika), Edisi VI, November-Desember 2011.

Tidak ada komentar: