Rabu, Januari 04, 2012

Abas, Wadahi Santri Belajar Sastra

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Dari waktu ke waktu, geliat santri belajar sastra terbilang tinggi. Hanya saja mereka belum terwadahi secara maksimal. Belajar sastra tanpa gesekan pemikiran dari orang lain tentu kurang baik. Dan hal tersebut cukup terlihat di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Tak sedikit santri di Annuqayah menyukai sastra, tetapi rata-rata dari mereka masih belum mampu menyatukan sastra ke dalam dirinya secara utuh.

Kurang lebih, begitulah intisari pernyataan ketua Atap Bahasa Sastra (Abas), Moh Mahfud, saat diwawancarai di Perpustakaan Annuqayah Latee Sabtu (31/12) sore tentang latar belakang pendirian Abas.

Tujuan dari didirikannya Abas ialah untuk menaungi santri yang suka dan ingin mendalami sastra secara lebih serius. Inilah yang menjadi alasan Mahfud dan kawan-kawannya menggunakan istilah “atap” dalam pemberian nama pada organisasinya tersebut.

“Berawal dari desakan santri terhadap saya untuk mendirikan komunitas sastra, akhirnya saya menindaklanjutinya bersama teman-teman sastra saya yang lain,” tutur Mahfud yang memiliki nama pena Mahfudz A Yoga Darmora.

Tepat pada Sabtu malam, 5 November 2011, bertempat di salah satu kelas MI 1 Annuqayah, Mahfud dan 3 teman sastranya berkumpul untuk mendirikan Abas.

“Ketiga teman sastra saya itu ialah Zainal Arifin, Barrud Darofi, dan Sholihin. Ketiganya memang sudah lama suka sastra dan belajar mendalami sastra bersama saya,” tambah santri yang kini tercatat sebagai redaktur pelaksana majalah Hijrah Perpustakaan Annuqayah Latee.

Sejak berdirinya, kini terdapat 21 santri yang berproses serius di dalam Abas. Mereka berasal dari beberapa pesantren daerah yang ada di Annuqayah. Sebut saja misalnya Latee, Lubsel, dan Lubangsa.

“Sekalipun para pendirinya dari daerah Latee, bukan berarti kami menutup diri dari pesantren-pesantren daerah lainnya yang dinaungi Annuqayah,” ungkap Mahfud sembari tersenyum.

Bentuk Kegiatan

“Kami sudah melakukan 17 kali pertemuan,” ujar Mahfud. “Pertemuan tersebut dilangsungkan 2 kali dalam seminggu, yaitu tiap Jumat malam dan Minggu malam”.

Sementara ini, terdapat 2 kegiatan dalam setiap pertemuan yang dilangsungkan dari pukul 21.00 sampai 23.00 tersebut.

Jumat malam, kegiatannya berupa baca puisi sekaligus menyetor naskah puisi kepada ketua Abas. Khusus Minggu malam, dijadwalkan bedah puisi dari karya semua peserta Abas. Dalam kegiatan terakhir ini, sesekali mendatangkan penyaji.

“Bedah puisi ini menggunakan sistem lotre. Jadi, pada kesempatan itu, hanya 1 puisi yang dibedah berdasarkan urutan hasil lotre sebelumnya,” tambah siswa kelas akhir MA 1 Annuqayah itu.

Penting pula diketahui, di Abas juga digelar hafalan bahasa sastra untuk kemudian dikumpulkan, ditulis dalam satu buku khusus.

“Bahasa sastra tersebut harus berupa kata-kata yang tidak klise, jarang dipakai orang dalam kesehariannya. Contoh: kata pualam dan sebagainya,” beber Mahfud.

Sebagai rencana panjang, Abas memprogramkan bakal menerbitkan antologi puisi dan kamus bahasa sastra tiap bulan sekali. Naskah-naskah tersebut berlandaskan pada hasil seleksi terhadap karya-karya peserta Abas.

“Mohon doanya, insya Allah pada bulan April mendatang, antologi puisi dan kamus bahasa sastra karya anak-anak Abas tersebut bisa dipastikan bakal diluncurkan,” kata Mahfud penuh harap.

Dananya dari mana?

“Kami selalu berusaha mandiri. Dana penerbitan tersebut bersumber dari iuran peserta sebesar Rp 1 ribu tiap minggunya,” tambah Mahfud.

Kegiatan bedah puisi yang selama ini dilaksanakan dipandang mampu menghidupkan forum. Sebab, kegiatan tersebut memantik semangat kritik sekaligus otokritik antarpeserta dan bahkan dengan penyaji sendiri.

“Daya nalar kritis terhadap sastra benar-benar teruji dalam bedah puisi ini,” tegas Mahfud dengan mata berbinar.

Disiplin

Hal menarik lainnya berkenaan dengan Abas ialah kedisiplinan.

“Peserta yang tidak disiplin berkarya sekaligus nakal hadir mengikuti segala kegiatan Abas, jangan harap bisa berdiam lama di Abas,” kata Mahfud serius. “Kedisiplinan dan keseriusan memang kami tekankan sedari awal kepada semua peserta”.

Kesadaran akan kedisiplinan tersebut berpangkal pada kenyataan tradisi kurang disiplinnya santri. Kebiasaan ‘jam karet’ yang tercermin dari penguluran terhadap waktu masih saja mewarnai kehidupan mereka.

Untuk mendukung kedisiplinan peserta, absensi diberlakukan di Abas.

“Jika ada peserta absen 4 kali sampai terbitnya antologi puisi dan bahasa sastra nanti, bisa dipastikan ia dikeluarkan dari Abas,” tegas Mahfud.

Menariknya juga, tempat pelaksanaan segala kegiatan Abas terbilang dinamis, tidak hanya terfokus pada satu tempat.

“Mengenai tempat, saya memang memberikan kebebasan kepada seluruh teman-teman Abas,” kata Mahfud. “Sebelum berangkat, kami berkumpul terlebih dahulu di depan Perpustakaan Annuqayah Latee”.

Di depan perpustakaan tersebut, para peserta Abas berembuk tentang tempat pelaksanaan kegiatan pada malam itu juga.

“Kadang di bukit Lancaran (sebelah tenggara Annuqayah,red.), di Asta (kuburan), di halaman kampus Instika, dan tempat-tempat inspiratif lainnya,” ungkap Mahfud.

“Biar tidak jenuh,” tegasnya.

Tidak ada komentar: