Minggu, April 13, 2014

Menelusuri Pesan Sang Guru

Ahmad Sahidah, alumnus Annuqayah, dosen di Universiti Utara Malaysia

Kepergian sesepuh Annuqayah, KH A Warits Ilyas, mendatangkan duka. Ucapan bela sungkawa tidak hanya datang dari keluarga Annuqayah dan warga sekitar, tetapi dari warga seantero negeri. Doa-doa dipanjatkan oleh orang ramai, bahkan di dinding media sosial Facebook dan Twitter munajat diungkapkan. Tahlilan digelar untuk mendaras doa-doa agar almarhum mendapatkan jalan lapang menuju Tuhannya. Masjid Jami’ Annuqayah disemuti oleh warga untuk mengiringi sang kyai dengan selaksa doa. Bahkan, Tahlilan juga dilaksanakan di banyak tempat oleh mantan santri Annuqayah yang tergabung dalam Ikatan Alumni.

Bagi saya sendiri, beliau adalah pesona. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh santri dan siswa yang pernah belajar dan mengikuti pengajian yang diampunya dulu. Ketika saya mengambil pelajaran ilmu Mantiq, untuk pertama kali saya mendengar nama filsuf, seperti aflaton (Plato) dan Aristo (Aristoteles). Sebelum kelas bermula, para siswa biasanya telah duduk dengan tenang dan tak bersuara sedikitpun. Kelas hening. Pelajaran berlangsung khidmat. Hanya sekali, kelas kami memantik tawa pak kyai dan para siswa karena salah seorang pelajar terjengkang dari kursi karena tertidur. Saya mengenal dengan baik kawan tersebut dan mengingatnya hingga kini. Kehadiran kawan ini memang selalu membuat kami riang.

Selain itu, pengalaman yang paling membekas hingga kini ketika saya aktif di Markaz al-Lughah al-Arabiyyah. Pak kyai adalah salah seorang yang mengajar kursus bahasa Arab. Tentu, penyampaian pelajaran yang sepenuhnya dengan bahasa Arab membuat kelas tampak terlalu tegang. Meskipun sebelumnya siswa telah menerima hal serupa dalam mata pelajaran Hadits, Tajrid al-Sharih, Kyai Ishomuddin AS. Untuk mencairkan suasana, pak kyai melontarkan lelucon keluarga Madura di Arab Saudi. Karena si anak keluarga ini sering meminta uang jajan, si ayah tampak gusar, sehingga mengatakan “fulus, fulus aina”. Jelas, kalimat ini merupakan terjemahan harfiyah dari Bahasa Madura yang menunjukkan uang yang mana lagi. Sontak, para siswa tak bisa menahan tawa.

Tentu sosok pak kyai yang tegas dan lugas begitu tertanam di benak kami pada waktu itu. Sebagai guru, panutan dan pengasuh, beliau adalah juga anggota wakil rakyat, bahkan pernah menduduki kursi Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedudukan inilah yang membuat putera Kyai Ilyas mendatangkan kesan tersendiri. Terkait aktivitas politik kyai, ayah saya sendiri pernah mendengar Kyai Ishomuddin menegaskan bahwa Kyai Warits tahu apa yang mesti dilakukan dalam dunia politik. Sebelum era Reformasi, sebagian masyarakat menganggap politik sebagai aktivitas yang tak mendatangkan manfaat bagi umat. Namun, pak kyai mengajarkan pada santri bahwa politik itu adalah salah satu jalan untuk perubahan. Malah, kegiatan ini tetap ditekuni dan menjadikan beliau sebagai sosok yang berpegang teguh para garis politik yang diyakini. Sebuah teladan yang layak untuk diikuti di tengah pragmatisme khalayak pada kekuasaan.

Ingatan yang hingga kini selalu diingat oleh kami adalah pesan beliau dalam pertemuan para kyai dengan alumni di Masjid Latee ketika saya masih belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pertemuan yang dipandu oleh Kyai Ilyasi Siraj memang betul-betul menggambarkan perkembangan dinamis kaum santri setelah mereka meninggalkan Annuqayah untuk belajar di pelbagai institusi perguruan tinggi, baik jurusan agama maupun umum. Mengingat salah seorang santri menyodorkan kemungkinan pemahaman baru terhadap Islam, dalam sambutannya Kyai Warits menyatakan secara tegas bahwa alumni yang berpaling dari akidah ahlussunnah waljamaah, maka dengan sendirinya yang bersangkutan memutuskan hubungan intelektual dan spiritual dengan Annuqayah. Pernyataan ini jelas bukan retorika belaka. Pak kyai telah mengambil sikap dan secara konsisten berpijak pada keyakinan ini.  

Keteguhan sikap kyai ditunjukkan kepada siapa pun yang menemuinya di rumah kediaman. Salah seorang tua santri berkeluh-kesah bahwa sang anak telah mengambil jalan pemikiran dan kegiatan keagamaan baru, Pesantren Hidayatullah. Setelah disampaikan pada pak kyai, dengan lugas beliau menyatakan bahwa pemahaman baru itu tidak sejalan dengan Ahlussunnah waljamaah. Serta-merta si ayah  meminta si anak untuk memikirkan kembali pilihan ideologi yang diyakini. Apa lacur, hingga si ayah meninggal, si anak tetap merawat pemahaman barunya dan berkhidmat di organisasi tersebut sampai sekarang.

Dengan otoritas yang besar, sebagai kepala Madrasah Aliyah Annuqayah, kyai memberikan kesempatan pada guru untuk tidak hanya mengembangkan kecerdasan kognitif para siswa tapi juga kecerdasan sosial dan emosional mereka. Tak ayal, Pak Tohet dengan mudah menggerakkan para siswa untuk mengikuti Palang Merah Remaja (PMR). Terus terang, saya mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler ini dengan riang. Organisasi ini mengenalkan saya secara tertib tentang pentingnya kesehatan dan olahraga. Tak hanya itu, melalui jambore PMR, saya bisa mengenal dunia ‘luar’ karena kami bertemu dengan rekan-rekan sebaya dari daerah lain.

Pengalaman pribadi bersilaturahim dengan kyai telah menebalkan keyakinan saya bahwa kyai telah mengajarkan tentang makna kesetiaan. Ketika bergiat di Asosiasi Mahasiswa Sumenep Yogyakarta (AMSY) pada tahun 2000, saya sowan untuk meminta pandangan kyai tentang calon pemimpin nomor satu kota Sumekar. Siapa pun yang memimpin mesti berpegang teguh pada nilai-nilai Ahlussunnah waljamaah. Pernyataan ini tentu ingin meyakinkan semua warga Annuqayah bahwa pegangan akidah mereka mesti kokoh dan berpijak pada ajaran yang ada di dalamnya terkait kehidupan sosial, kultural dan politik.

Catatan sekilas di atas tentu tidak mencatat semua pesona kyai mengingat keterbatasan penulis. Namun, siapa pun akan menemukan keteguhan sikap yang ditunjukkan sang guru yang mengilhamkan ini pada siapa pun. Di tengah godaan untuk meraih apa sehingga membuat iman goyah, kyai telah mewariskan teladan bahwa kesetiaan itu bukan pemanis mulut belaka, tetapi juga tindakan nyata. Menyambut perayaan 40 hari kepergian KH A Warits Ilyas, kita ingin mengenang kembali bahwa sang guru boleh pergi, tetapi sosoknya tetap di hati.

Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 3 April 2014.

5 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Akhirnya saya bisa membaca tulisan Pak Cik Ahmad ini.

Elton Cena mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Elton Cena mengatakan...

Alhamdulillah saya sudah membaca. Adakah ulasan khusus tentang Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang beliau maksud?

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Kalau ingin mengetahui secara mendalam tentang sejarah lahirnya dan perkembangan Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA), disarankan untuk membaca sebuah kitab kecil yang disusun oleh KH. Hasyim Asy'ari berjudul Arrisalah fi Ahlissunnah wal Jama'ah atau kitab Tauhid yang disusun oleh KH. Moh. Ilyas bin Moh. Assyarqowi berjudul Arrisalah al Baijuriyah yang telah di syarahi oleh cucunya Drs. KH. Muhammad Muhsin bin Amir bin Ilyas berjudul Lubbul Aqidah dan telah dibca dihadapan santri oleh pamannya alm. KH. A. warits ilyas di Masjid Jami' Annuqayah kl. dua tahun yang lalu. Silakan baca dan amalkan, Insya Allah barokah.