Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan
GULUK-GULUK—Ruangan berukuran kira-kira 7x5 m² pagi menjelang siang itu tampak lengang. Tak ada aktivitas sama sekali. Suasana sepi, sangat mendukung bilamana siapapun ingin menjalari rentetan kata dalam segebuk buku. Namun sayangnya, Perpustakaan Lubangsa Selatan tidak melayani peminjaman pada siang hari. Sepi yang biasanya diimpikan para pecandu buku malah tidak ada yang memanfaatkannya sama sekali. Hanya orang-orang tertentu yang bisa berkunjung ke perpustakaan pada waktu-waktu tersebut. Misalnya, pengurus pesantren, pustakawan sendiri, dan mantan pustakawan.
Ahad, 10 Mei 2009, saya berkunjung ke sana. Jam menunjukkan pukul 10:26 WIB. Saya mencoba mengambil sebuah koran yang ada di rak bagian utara dan mulai membuka-bukanya. Selain ingin memungut informasi dari koran yang dibaca, saya berharap bisa menjumpai seseorang yang telah beberapa hari dikonfirmasi untuk berbagi pengalaman. Sudah beberapa kali dihubungi, namun belum juga ada waktu yang pas untuk bincang-bincang yang banyak. Katanya, ia masih disibukkan dengan Ujian Nasional (UN). Baru kemudian pada pagi menjelang siang itulah ia bisa menyanggupi. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, ia menghampiri saya. Dengan senyum khasnya ia mulai bertutur banyak hal.
Tidak banyak yang tahu tentang sosok dan apa yang ada di dalam benak lelaki kelahiran Kaduara Barat, Larangan, Pamekasan ini. Ia memang tergolong orang yang tidak banyak memiliki teman, alias tidak terlalu suka bergaul. Penampilannya sangat sederhana dan, yang terpenting, dia rendah hati. Bahkan, saat saya mengutarakan maksud saya untuk menulis tentang dirinya, ia tidak begitu yakin itu akan bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun, saya berusaha meyakinkan. Akhirnya ia bisa maklum dan mengiyakan dengan senyuman.
Teman-temannya biasa memanggil dia Zainal. Nama panjangnya adalah Zainal Arifin Ali. Lahir pada 30 Desember 1990, ia masuk di PPA Lubangsa Selatan kira-kira tiga tahunan yang lalu. Dia mondok untuk menempuh pendidikan menengah atas di MA 1 Annuqayah Putra. Saat ini ia mendiami kelas XII. Rencananya kalau lulus ia mau berhenti tahun ini juga untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pamekasan, atas biaya salah satu gurunya. Kalau betul-betul ia keluar tahun ini, berarti Lubangsa Selatan akan kehilangan seseorang yang sangat mencintai lingkungan.
Inilah yang menjadikan dirinya dikenal sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kebersihan. Tiap lepas dzikir usai shalat Subuh ia mulai aktivitasnya dengan menenteng sapu lidi dan gerobak sampah. Sampah-sampah yang berserakan di halaman-halaman pondok ia kais dan dikumpulkannya untuk kemudian diletakkan dalam gerobak dan berakhir di Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Bahkan, pada waktu-waktu tertentu, ia tak luput menguras kamar mandi dan WC saat dirasa lumut-lumut mulai bertimbulan di dalam bak air.
Yang sangat ironis, ia menjalankan aktivitas tersebut sering hanya seorang diri. Memang tidak tiap hari ia sendirian. Pada saat-saat tertentu ia juga dibantu oleh beberapa pengurus Kebersihan Lingkungan Hidup (KLH) dan sebagian santri yang lain. Namun, ia lebih sering sendiri tanpa ada yang membantu. Terutama ketika cuaca sangat mendukung orang untuk tidur, rintik-rintik hujan misalnya. Praktis ia bekerja sendirian. Akan tetapi, meski ia bekerja seorang diri ia tak pernah menggerutu sama sekali. Berkat kegigihannya membersihkan lingkungan inilah, pada perayaan Maulid Nabi Muhammad saw beberapa bulan lalu ia mendapat penghargaan dari pengurus PPA Lubangsa Selatan.
Saat saya mencoba menelisik, kira-kira apakah yang membuatnya begitu peduli terhadap kebersihan, ia menjawab dengan beberapa alasan. Pertama, ia memang sudah terbiasa melakukan itu di rumahnya. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia membantu orang tuanya membersihkan rumah. Kebiasaan itu tak bisa ia lepas begitu saja sampai ia berada di PPA Lubangsa Selatan. Kedua, ia pernah mendengar wanti-wanti salah satu gurunya bahwa kalau membersihkan sampah niatkan membersihkan hati. Kata-kata itu membekas dalam benaknya. Ia begitu meyakini bahwa kata-kata itu bisa bermanfaat kepada dirinya. Maka, tiap kali ia menyapu sampah, tiap itu pula tak lupa ia teguhkan niat untuk membersihkan hati dari sifat-sifat buruk. Ketiga, ia ingin mendapat barokah. Menurutnya, pengalaman santri-santri terdahulu yang sukses hidupnya yang hanya menjalani kehidupan sebagai pelayan kiai sudah mencukupi untuk dijadikan bukti bahwa pekerjaan apa pun, asalkan baik, kalau diniatkan yang baik akan mendapat barokah. Keempat, ia juga merasa begitu prihatin karena sangat sedikit santri PPA Lubangsa Selatan yang peduli dengan lingkungan. Kalau dulu, katanya, santri yang membuang sampah sembarangan masih ada yang menegur, tapi sekarang tidak ada yang mau berbuat seperti itu lagi.
Zainal juga mengkritik kinerja pengurus KLH yang tidak kompak dalam membersihkan lingkungan PPA Lubangsa Selatan. Ia menyayangkan perekrutan pengurus KLH yang banyak tidak cocok dengan bidang yang mereka tekuni. Akibatnya, tugas-tugas yang seharusnya mereka selesaikan malah nunggak, sehingga sampah di PPA Lubangsa Selatan berserakan di mana-mana. Padahal dulu-dulunya KLH sangat kompak dalam melaksanakan tugasnya. Sebagian besar program-program yang dicanangkan bisa terealisasi dengan maksimal.
“Kalau sekarang, dari sekian program KLH yang dicanangkan awal periode, tingkat realisasinya paling hanya satu persen saja,” kata Bendahara Perpustakaan Lubangsa Selatan ini. Dia mencontohkan, program harian yang sampai mendekati akhir periode masih belum juga dilaksanakan. Dalam program tersebut KLH membuat rencana mewajibkan santri untuk membersihkan halaman pondoknya masing-masing, disesuaikan dengan jadwal yang dibuat oleh departemen ini. Selain itu, pada tiap hari Rabu biasanya diadakan kebersihan massal. Namun, hingga kini program ini juga mandeg. Belum lagi jadwal menguras kamar mandi. “Yang sering melaksanakan tugas ini adalah santri sendiri tanpa komando pengurus KLH,” katanya.
Ada banyak rencana setrategis menurut Zainal yang perlu diaplikasikan oleh departemen KLH pada periode berikutnya. Di antaranya adalah perekrutan anggota. Zainal mengatakan, pengurus yang direkrut harus mereka yang betul-betul memiliki rasa cinta akan kebersihan, bukan mereka yang hanya ingin menjadi pengurus. Sebab, setelah jadi mereka hanya memanfaatkan jabatannya untuk sesuatu yang kurang perlu. Dia juga menyarankan dihidupkannya kembali komunitas Pecinta Alam (PA). Dulu PA dengan nama Aliansi Pecinta Lingkungan (Ampel) memang pernah ada, namun karena anggotanya banyak yang berhenti maka, akhirnya komunitas ini bubar.
Zainal memang belum memastikan dirinya kuliah di luar atau menetap di Annuqayah. Namun, jika ia benar-benar hengkang, siapakah yang akan menggantikannya sebagai pahlawan lingkungan di Lubangsa Selatan?
GULUK-GULUK—Ruangan berukuran kira-kira 7x5 m² pagi menjelang siang itu tampak lengang. Tak ada aktivitas sama sekali. Suasana sepi, sangat mendukung bilamana siapapun ingin menjalari rentetan kata dalam segebuk buku. Namun sayangnya, Perpustakaan Lubangsa Selatan tidak melayani peminjaman pada siang hari. Sepi yang biasanya diimpikan para pecandu buku malah tidak ada yang memanfaatkannya sama sekali. Hanya orang-orang tertentu yang bisa berkunjung ke perpustakaan pada waktu-waktu tersebut. Misalnya, pengurus pesantren, pustakawan sendiri, dan mantan pustakawan.
Ahad, 10 Mei 2009, saya berkunjung ke sana. Jam menunjukkan pukul 10:26 WIB. Saya mencoba mengambil sebuah koran yang ada di rak bagian utara dan mulai membuka-bukanya. Selain ingin memungut informasi dari koran yang dibaca, saya berharap bisa menjumpai seseorang yang telah beberapa hari dikonfirmasi untuk berbagi pengalaman. Sudah beberapa kali dihubungi, namun belum juga ada waktu yang pas untuk bincang-bincang yang banyak. Katanya, ia masih disibukkan dengan Ujian Nasional (UN). Baru kemudian pada pagi menjelang siang itulah ia bisa menyanggupi. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, ia menghampiri saya. Dengan senyum khasnya ia mulai bertutur banyak hal.
Tidak banyak yang tahu tentang sosok dan apa yang ada di dalam benak lelaki kelahiran Kaduara Barat, Larangan, Pamekasan ini. Ia memang tergolong orang yang tidak banyak memiliki teman, alias tidak terlalu suka bergaul. Penampilannya sangat sederhana dan, yang terpenting, dia rendah hati. Bahkan, saat saya mengutarakan maksud saya untuk menulis tentang dirinya, ia tidak begitu yakin itu akan bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun, saya berusaha meyakinkan. Akhirnya ia bisa maklum dan mengiyakan dengan senyuman.
Teman-temannya biasa memanggil dia Zainal. Nama panjangnya adalah Zainal Arifin Ali. Lahir pada 30 Desember 1990, ia masuk di PPA Lubangsa Selatan kira-kira tiga tahunan yang lalu. Dia mondok untuk menempuh pendidikan menengah atas di MA 1 Annuqayah Putra. Saat ini ia mendiami kelas XII. Rencananya kalau lulus ia mau berhenti tahun ini juga untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pamekasan, atas biaya salah satu gurunya. Kalau betul-betul ia keluar tahun ini, berarti Lubangsa Selatan akan kehilangan seseorang yang sangat mencintai lingkungan.
Inilah yang menjadikan dirinya dikenal sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kebersihan. Tiap lepas dzikir usai shalat Subuh ia mulai aktivitasnya dengan menenteng sapu lidi dan gerobak sampah. Sampah-sampah yang berserakan di halaman-halaman pondok ia kais dan dikumpulkannya untuk kemudian diletakkan dalam gerobak dan berakhir di Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Bahkan, pada waktu-waktu tertentu, ia tak luput menguras kamar mandi dan WC saat dirasa lumut-lumut mulai bertimbulan di dalam bak air.
Yang sangat ironis, ia menjalankan aktivitas tersebut sering hanya seorang diri. Memang tidak tiap hari ia sendirian. Pada saat-saat tertentu ia juga dibantu oleh beberapa pengurus Kebersihan Lingkungan Hidup (KLH) dan sebagian santri yang lain. Namun, ia lebih sering sendiri tanpa ada yang membantu. Terutama ketika cuaca sangat mendukung orang untuk tidur, rintik-rintik hujan misalnya. Praktis ia bekerja sendirian. Akan tetapi, meski ia bekerja seorang diri ia tak pernah menggerutu sama sekali. Berkat kegigihannya membersihkan lingkungan inilah, pada perayaan Maulid Nabi Muhammad saw beberapa bulan lalu ia mendapat penghargaan dari pengurus PPA Lubangsa Selatan.
Saat saya mencoba menelisik, kira-kira apakah yang membuatnya begitu peduli terhadap kebersihan, ia menjawab dengan beberapa alasan. Pertama, ia memang sudah terbiasa melakukan itu di rumahnya. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia membantu orang tuanya membersihkan rumah. Kebiasaan itu tak bisa ia lepas begitu saja sampai ia berada di PPA Lubangsa Selatan. Kedua, ia pernah mendengar wanti-wanti salah satu gurunya bahwa kalau membersihkan sampah niatkan membersihkan hati. Kata-kata itu membekas dalam benaknya. Ia begitu meyakini bahwa kata-kata itu bisa bermanfaat kepada dirinya. Maka, tiap kali ia menyapu sampah, tiap itu pula tak lupa ia teguhkan niat untuk membersihkan hati dari sifat-sifat buruk. Ketiga, ia ingin mendapat barokah. Menurutnya, pengalaman santri-santri terdahulu yang sukses hidupnya yang hanya menjalani kehidupan sebagai pelayan kiai sudah mencukupi untuk dijadikan bukti bahwa pekerjaan apa pun, asalkan baik, kalau diniatkan yang baik akan mendapat barokah. Keempat, ia juga merasa begitu prihatin karena sangat sedikit santri PPA Lubangsa Selatan yang peduli dengan lingkungan. Kalau dulu, katanya, santri yang membuang sampah sembarangan masih ada yang menegur, tapi sekarang tidak ada yang mau berbuat seperti itu lagi.
Zainal juga mengkritik kinerja pengurus KLH yang tidak kompak dalam membersihkan lingkungan PPA Lubangsa Selatan. Ia menyayangkan perekrutan pengurus KLH yang banyak tidak cocok dengan bidang yang mereka tekuni. Akibatnya, tugas-tugas yang seharusnya mereka selesaikan malah nunggak, sehingga sampah di PPA Lubangsa Selatan berserakan di mana-mana. Padahal dulu-dulunya KLH sangat kompak dalam melaksanakan tugasnya. Sebagian besar program-program yang dicanangkan bisa terealisasi dengan maksimal.
“Kalau sekarang, dari sekian program KLH yang dicanangkan awal periode, tingkat realisasinya paling hanya satu persen saja,” kata Bendahara Perpustakaan Lubangsa Selatan ini. Dia mencontohkan, program harian yang sampai mendekati akhir periode masih belum juga dilaksanakan. Dalam program tersebut KLH membuat rencana mewajibkan santri untuk membersihkan halaman pondoknya masing-masing, disesuaikan dengan jadwal yang dibuat oleh departemen ini. Selain itu, pada tiap hari Rabu biasanya diadakan kebersihan massal. Namun, hingga kini program ini juga mandeg. Belum lagi jadwal menguras kamar mandi. “Yang sering melaksanakan tugas ini adalah santri sendiri tanpa komando pengurus KLH,” katanya.
Ada banyak rencana setrategis menurut Zainal yang perlu diaplikasikan oleh departemen KLH pada periode berikutnya. Di antaranya adalah perekrutan anggota. Zainal mengatakan, pengurus yang direkrut harus mereka yang betul-betul memiliki rasa cinta akan kebersihan, bukan mereka yang hanya ingin menjadi pengurus. Sebab, setelah jadi mereka hanya memanfaatkan jabatannya untuk sesuatu yang kurang perlu. Dia juga menyarankan dihidupkannya kembali komunitas Pecinta Alam (PA). Dulu PA dengan nama Aliansi Pecinta Lingkungan (Ampel) memang pernah ada, namun karena anggotanya banyak yang berhenti maka, akhirnya komunitas ini bubar.
Zainal memang belum memastikan dirinya kuliah di luar atau menetap di Annuqayah. Namun, jika ia benar-benar hengkang, siapakah yang akan menggantikannya sebagai pahlawan lingkungan di Lubangsa Selatan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar