Farihah Zurni, PPA Latee II
Matahari tergelincir. Panasnya tak lagi menyehatkan. Aku baru pulang dari sekolah. Kulihat Nurul Qamariyah, yang akrab disapa Kam, sedang duduk di depan kamar Al-Qudusi 01. Tangannya sibak menggaruk-garuk betisnya. Kuletakkan buku yang kudekap di sampingnya. Kubuka sepatuku, dan meletakkannya di rak. Kemudian aku kembali duduk di sampingnya.
”Rasanya gatal sekali Fan!” katanya saat sudah duduk di sampingnya. Kulihat betisnya. Bintik-bintik hitam menghiasi kulitnya yang putih. ”Oh iya, kamu kan juga ’kena’, apa sudah sembuh?” tanyanya padaku.
”Kalo yang bintik-bintik hitam sudah sembuh, tinggal bekasnya aja. Tapi sekarang tumbuh bintik-bintik merah. Rasanya gatal banget,” ucapku sambil menyingsingkan lengan bajuku. Kam melongok, mencoba melihat lenganku lebih dekat. Matanya lekat menatap bintik-bintik merah yang hampir memenuhi lenganku.
Aku menggaruk lenganku. Berusaha mengurangi rasa gatal bercampur panas yang kurasa. Namun rasa itu tak kunjung berkurang. Malah semakin perih. Malah bintik-bintik merah itu mulai mengeluarkan air yang bercampur darah. Karena kulit yang melapisinya mulai mengelupas, menjadikan darah segar itu mengalir bebas tanpa penghambat. Aku meringis menahan rasa perih dan gatal yang menyerangku. Namun tanganku tak mampu tuk menghentikan gerakku. Rasa gatal telah menguasaiku, seolah menuntut tanganku untuk selalu menggaruk lenganku.
”Sebenarnya walau digaruk sampai luka kek gitu, tetap aja gatal. Tapi setidaknya kita merasa puas,” ucap Kam mengagetkanku. Rupanya dari tadi dia memperhatikanku.
Aku alihkan pandanganku pada sebagian santri yang sedang duduk di serambi mushalla. Rupanya mereka sedang asyik ’main gitar’ alias garuk-garuk. Mereka juga terkena penyakit gatal-gatal seperti aku dan Kam. Memang hampir dapat dipastikan 75% santri Pondok Pesantren Annuqayah Putri terkena penyakit gatal-gatal. Tapi sampai sekarang belum ada tindakan lebih lanjut untuk mengetahui apa penyebabnya.
”Apa mungkin penyebab penyakit ini karena alergi air atau karena kita nggak cocok dengan air di sini ya Fan? Soalnya kalau aku pulang ke rumah penyakit sembuh total. Tapi kalo sudah balik ke sini, pasti deh kambuh lagi,” kata Kam kembali mengagetkanku. Aku menggeleng. Kualihkan pandanganku padanya. Ternyata dia sedang menggaruk lengan kirinya yang terasa gatal. Gayanya sudah kayak gitaris yang sering nongol di layar kaca.
”Kalo dipikir-pikir asik juga ya. Kapan lagi kita main gitar kek gini,” ucapnya tersenyum mengedipkan mata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
secara umum penanganan kesehatan di annuqayah harus diakui memang masih sangat minim
jreng....jrengn...jreng.....
ngamen, Pak...
bayarannya ndak perlu uang, diutamakan sabun mandi berbasis belerang!
Posting Komentar