Farihah Zurni, PPA Latee II
Aku baru datang dari kantor OSIS MA 1 Annuqayah Putri saat sebagian anggota-anggota pramuka duduk bertumpu pada kedua kakinya di depan perpustakaan Pondok Pesantren Annuqayah Latee II. Di dekatnya gelas dan botol plastik bekas air minum berserakan. Sarang laba-laba menghiasi baju mereka. Tangan mereka sibuk menyusun gelas-gelas plastik bekas air minum. Satu persatu gelas itu disusun membentuk menara, memanjang seukuran lengan. Lalu mereka menjejernya sebelum dimasukkan ke dalam kantong plastik.
“Kami sudah lama mengumpulkan gelas dan botol-botol ini. Makanya penuh dengan debu. Dan sekarang kami akan menjualnya,” kata Faizah menjawab pertanyaanku.
Aku duduk di serambi perpustakaan. Kulihat Eva, panggilan akrab Binti Ifadah Saifi, berdiri menegakkan tubuhnya. Dengan cepat tangannya meraih kantong plastik yang sudah penuh, menentengnya, dan meletakkannya di tumpukan yang sudah menggunung. Faizah berdiri di sampingnya. Jari-jemarinya sibuk memutar tutup botol plastik itu, mencoba membukanya. Setelah tutup botol terbuka, dia melepas botol itu. Botol terempas ke tanah. Dengan cepat kakinya menginjak-nginjak botol itu, menjadikannya tak lagi berbentuk. Lalu dia membungkuk, tangannya meraih botol yang sudah gepeng itu dan menutupnya kembali. Lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar di sampingnya.
Kualihkan pandanganku ke Eva. Tangannya semakin sibuk memasukkan gelas-gelas yang sudah tersusun ke dalam kantong plastik berukuran besar. Lalu dia berdiri, menegakkan tubuhnya. Tangannya kembali meraih kantong plastik itu, dan melangkah untuk meletakkannya di tumpukan.
Tiba-tiba Uyun, nama panggilan Qurratul Uyun, muncul dari gang di samping perpustakaan dengan kardus berukuran besar di tangannya. Gang itulah yang mereka jadikan sebagai tempat untuk menyimpan gelas-gelas dan botol tersebut. Uyun meletakkan kardus tersebut di hadapan Eva, mengeluarkan isinya. Lalu membantu Eva menyusunnya.
“Ini mau dijual kepada H. Zahir. Uangnya akan kami jadikan sebagai pendapatan kas Pramuka,” kata Uyun saat aku bertanya padanya. Tangannya semakin cepat meraih gelas-gelas itu, menyusunnya, kemudian memasukkannya ke dalam plastik. ”Kalau dulu harganya tiga ribu rupiah per kilo, entah sekarang berapa,” lanjutnya.
Matahari beranjak turun menuju pembaringannya, menyemburkan semburat merah keemasan saat Uyun beranjak meraih sapu lidi yang tersandar di sampingku. Dengan lincah tangannya mengayunkan sapu itu pada sampah yang berserakan. Mengumpulkan sampah itu jadi satu, lalu memasukkannya ke dalam tempat sampah. ”Nanti setelah shalat Isya’ kita ke sini lagi ya, buat nyelesain ini, mengumpulkan sampah yang tersisa,” katanya pada yang lain.
Aku baru datang dari kantor OSIS MA 1 Annuqayah Putri saat sebagian anggota-anggota pramuka duduk bertumpu pada kedua kakinya di depan perpustakaan Pondok Pesantren Annuqayah Latee II. Di dekatnya gelas dan botol plastik bekas air minum berserakan. Sarang laba-laba menghiasi baju mereka. Tangan mereka sibuk menyusun gelas-gelas plastik bekas air minum. Satu persatu gelas itu disusun membentuk menara, memanjang seukuran lengan. Lalu mereka menjejernya sebelum dimasukkan ke dalam kantong plastik.
“Kami sudah lama mengumpulkan gelas dan botol-botol ini. Makanya penuh dengan debu. Dan sekarang kami akan menjualnya,” kata Faizah menjawab pertanyaanku.
Aku duduk di serambi perpustakaan. Kulihat Eva, panggilan akrab Binti Ifadah Saifi, berdiri menegakkan tubuhnya. Dengan cepat tangannya meraih kantong plastik yang sudah penuh, menentengnya, dan meletakkannya di tumpukan yang sudah menggunung. Faizah berdiri di sampingnya. Jari-jemarinya sibuk memutar tutup botol plastik itu, mencoba membukanya. Setelah tutup botol terbuka, dia melepas botol itu. Botol terempas ke tanah. Dengan cepat kakinya menginjak-nginjak botol itu, menjadikannya tak lagi berbentuk. Lalu dia membungkuk, tangannya meraih botol yang sudah gepeng itu dan menutupnya kembali. Lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar di sampingnya.
Kualihkan pandanganku ke Eva. Tangannya semakin sibuk memasukkan gelas-gelas yang sudah tersusun ke dalam kantong plastik berukuran besar. Lalu dia berdiri, menegakkan tubuhnya. Tangannya kembali meraih kantong plastik itu, dan melangkah untuk meletakkannya di tumpukan.
Tiba-tiba Uyun, nama panggilan Qurratul Uyun, muncul dari gang di samping perpustakaan dengan kardus berukuran besar di tangannya. Gang itulah yang mereka jadikan sebagai tempat untuk menyimpan gelas-gelas dan botol tersebut. Uyun meletakkan kardus tersebut di hadapan Eva, mengeluarkan isinya. Lalu membantu Eva menyusunnya.
“Ini mau dijual kepada H. Zahir. Uangnya akan kami jadikan sebagai pendapatan kas Pramuka,” kata Uyun saat aku bertanya padanya. Tangannya semakin cepat meraih gelas-gelas itu, menyusunnya, kemudian memasukkannya ke dalam plastik. ”Kalau dulu harganya tiga ribu rupiah per kilo, entah sekarang berapa,” lanjutnya.
Matahari beranjak turun menuju pembaringannya, menyemburkan semburat merah keemasan saat Uyun beranjak meraih sapu lidi yang tersandar di sampingku. Dengan lincah tangannya mengayunkan sapu itu pada sampah yang berserakan. Mengumpulkan sampah itu jadi satu, lalu memasukkannya ke dalam tempat sampah. ”Nanti setelah shalat Isya’ kita ke sini lagi ya, buat nyelesain ini, mengumpulkan sampah yang tersisa,” katanya pada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar