Membuat Kliping Koran Jadi Mirip Buku
Fahrur Rozi, PPA. Lubangsa Selatan
Menjadi Pustakawan perpustakaan pesantren memang menjadi tantangan tersendiri bagi santri yang menggeluti bidang ini. Mereka harus betul-betul mempertahankan idelismenya jika memang ingin menjadi pustakwan sejati. Selain mereka tidak dibayar, mereka pun harus rela kerja keras untuk memenuhi tugas-tugasnya yang sering menumpuk.
Malam itu, Sabtu, 15 Mei 2009, jarum jam kira-kira menunjuk angka 21:35 WIB. Lalu-lalang santri melintas silih berganti di samping gerombolan kami. Mereka hendak memasuki ruang Perpustakaan Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep. Beberapa dari mereka terlihat menenteng buku dan kartu peminjaman. Mereka yang berniat mengembalikan buku diterima oleh Departemen Pelayanan untuk kemudian berkahir di meja petugas jaga.. Malam itu tak hanya santri Lubangsa Selatan yang memadati ruangan berukuran 7x5 m² tersebut. Dari tanda pengenal kartu pepustakaan yang mereka miliki, tertera idenstitas bahwa mereka juga berasal dari daerah Latee, Lubangsa, dan Nirmala.
Kami menunggu ruangan ini kembali melompong seperti sebelum tadi dibuka oleh petugas jaga, karena saya bersepakat dengan salah satu dari Pustakawan untuk membincang sesuatu di dalam ruangan saja. Setidaknya, 30 menit lagi pengunjung sudah beranjak dari sana. Petugas perpustakaan akan mengakhiri dengan kata yang sudah mereka cukup kenal, “waktu sudah habis.” Dan saat itulah kami akan berbincang-bincang lebih detail.
Menghabiskan waktu dalam masa penungguan itu, saya dan beberapa pustakawan yang lain di teras perpustakaan ngobrol ngalor-ngidul mengenai kenangan lama tentang perpustakaan. Termasuk mengeruk kembali ingatan akan masa kejayaan perpustkaan beberapa tahun silam. Perbincangan menjadi menarik karena salah satu dari mereka ada seorang yang sudah dianggap senior dengan beberapa alasan. Pertama, karena ia sudah menjabat selama tiga periode. Kedua, karena prestasinya. Ketiga, karena sumbangsihnya yang besar terhadap laju perkembangan Perpustakaan Lubangsa Selatan. Kehadiran sang senior ini membantu pengurus yunior yang belum tahu banyak tentang perpustakaan pada masa dulu.
30 menit kami lalui. Benar saja, ruangan itu menjadi melompong, kecuali satu-dua petugas yang masih berjibaku merapikan buku yang berantakan. Kami melanjutkan perbincangan di dalam ruangan. Kali ini lain tema, yaitu tentang kiprah dan kontribusi dari salah seorang senior tadi. Saya memang telah menghubunginya beberapa hari sebelumnya untuk keperluan berita, namun beberapa kali dibenturkan dengan acara. Baru kali itu kami bisa ngobrol panjang lebar.
Namanya Abd. Wahid Muslim. Lahir 13 April 1990 di Bindung II, Lenteng Barat, Sumenep. Ia masuk di kepengurusan Perpustakaan Lubangsa Selatan periode 2006-2007, dengan jabatan sebagai koordinator Inventaris. Berkat perjalanannya yang panjang, ada banyak hal yang sudah ia sumbangkan untuk lembaga yang membesarkannya itu. Bahkan, Februari lalu ia memperoleh penghargaan dari departemen Perpustakaan dan Pengembangan Wawasan (Puspenwas), karena inovasi dan kreatifitasnya.
Ada beberapa kriteria yang ditetapkan Puspenwas sebagai alasan menjadikan Muslim, sapaannya, sebagai orang yang berhak mendapatkan penghargaan tersebut. Kriteria itu misalnya, inovasi dalam peletakan nomor Inventaris di luar cover buku. Sistem sebelumnya memang terkesan merepotkan dengan peletakan nomer inventaris yang berada di dalam. “Masih harus buka-buka buku dulu sebelum mencatatnya, padahal anggota lain banyak yang menunggu untuk dilayani. Ditambah lagi kadang tulisannya tidak dapat dibaca. Sangat merepotkan petugas jaga jadinya,” katanya. Selain itu, kata Muslim, tujuannya juga untuk mendata ulang katalog buku yang sebelumnya sangat amburadul.
Kriteria lainnya, menurut Puspenwas, Muslim berhasil dalam mendokumentasi majalah-majalah kuno, sehingga menjadi lebih menarik untuk dilihat. Dalam hal ini, untuk mengkongkritkan idenya itu, Muslim harus merelakan waktunya untuk berlama-lama duduk menekuri bertumpuk-tumpuk majalah bekas untuk membendelnya dan mendesain covernya yang sudah usang tersebut. Namun berkat ketelatenannya, kini majalah-majalah lawas itu kembali kinclong dengan cover bagus.. Alasan Muslim berbuat begitu, karena terkadang ada pengunjung yang tergiur membaca karena melihat covernya yang menarik. Selain itu, ada juga majalah yang sulit dikenali kalau dilihat dari jauh karena covernya memang tidak ada. Kebanyakan mereka emoh melihat apalagi membaca majalah yang demikian. Nah, dengan format baru yang ditawarkannya terbukti ada saja pengunjung yang tertarik membacanya meski isinya sudah lawas.
Muslim juga dianggap berhasil dalam inovasi format klipingan koran. Sebelumnya, format klipingan yang ada dibentuk dengan sangat sederhana. Hanya untuk dokumentasi belaka. Namun ditangan Muslim, semua itu menemukan wajah baru yang lebih elegan. Muslim membuat klipingan koran menjadi mirip sebuah buku.. Hanya yang membedakan adalah tempelan-tempelan koran pada dinding kertasnya. “Akan tetapi, kalau di fotocopy hasilnya akan mirip sebuah buku,” lanjut penggemar novel silat ini.
Masih banyak yang menjadi pertimbangan Depertemen Puspenwas dalam pemberian penghargaan kepada lelaki yang juga menggemari novel-novel relijius ini. Diantaranya, kembali dikampanyekannya bonus meminjam buku bagi mereka yang rajin ke perpustakaan, serta usahanya memilah katalog antara komik, novel bergambar, dan bacaan anak-anak.
Dari mana kreativitas Muslim itu timbul? Menurut Muslim, untuk format bendel majalah dirinya belajar dari Sunandar Elmas, Sang Kakak yang kini menjadi pengurus salah satu organisasi di Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Ketika belum mondok, Kakaknya itu sering membuat bendelan majalah-majalah bekas yang sudah usang hingga menjadi satu bundelan yang sangat menarik. Muslim melihat itu dan mulai menirunya. “Ternyata cukup asyik,” katanya. Setelah mondok dia makin intens melalukan kerja-kerja seperti itu. Puncaknya, ketika ia menjadi seorang pustakawan.
Di perpustakaan, kebiasaannya memperbaiki buku yang rusak kian digelutinya. Awalnya, ia memperbaiki buku komik yang memang sering sekali mengalami kerusakan karena paling banyak pembacanya. Setelah menyelesaikan buku komik ia beranjak ke majalah-majalah. Ia mengaku sering bekerja sendirian waktu awal-awal ia masuk di perpustakaan. Teman-teman sedepartemennya banyak yang acuh melihat ide-idenya itu. Mereka merasa tidak mungkin menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk tersebut. Akan tetapi, meski sendirian, Muslim tetap memancang niatnya sedalam mungkin.
Begitupun juga saat ia harus berjibaku membuat nomor inventaris di bagian depan cover buku. Melihat apa yang dikerjakannya tidak sedikit, hampir saja ia putus asa. Terutama saat membuat nomor inventaris untuk klasifikasi buku-buku agama. Muslim merasa kerjaannya akan memakan waktu yang cukup lama. Bayangkan, jumlah buku agama yang ada di Perpustakaan Lubangsa Selatan berkisar 1.700-an eksemplar. Ia harus banting tulang untuk menyelesaikan semua itu. Namun, lagi-lagi berkat kerja kerasnya semua itu bisa dilakukannya dengan maksimal. Kini, semua buku nyaris memiliki nomor inventaris di bagian depan covernya.
Saat ini Muslim menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Lubangsa Selatan setelah periode sebelumnya menjadi Bendahara. Ia sudah tidak banyak lagi bergelut dengan tetek-bengek inventarisasi buku, bendel-membendel majalah, klipingan, dan semacamnya. Ia fokus mengurusi administarasi perpustakaan. Menurutnya, masih banyak tugas-tugas yang belum ia lakukan sampai akhir periode kini.
Muslim sebentar lagi memang harus hengkang dari Perpustakaan Lubangsa Selatan, kecuali ada pertimbangan lain. Itu karena statusnya sudah berubah, dari siswa menjadi mahasiswa. Dalam peraturan Perpustakaan Lubangsa Selatan, santri yang sudah menjadi mahasiswa tidak diperbolehkan lagi menjabat sebagai pustakawan.
Oleh karena itu, jika dirinya sudah benar-benar berhenti dari perpustakaan, ia berharap agar generasi selanjutnya bisa menjadi lebih baik dari masa dia menjabat. Muslim mengakui bahwa, eksistensi Perpustakaan Lubangsa Selatan kian hari makin memudar saja auranya. Itu ditandai dengan mengaburnya pandangan orang-orang terhadap keberadaan pustakwan akhir-akhir ini. Ia mencontohkan kejayaan pendahulunya. “Kalau dulu pustakwan Lubangsa Selatan itu terkenal dengan kecerdasannya, tapi belakangan pandangan yang demikian sudah makin berkurang. Hanya segelintir orang saja yang masih mereka perhitungkan.”
Agenda mendesak yang harus segera dilakukan oleh Pustakawan periode selanjutnya, menurut Muslim, adalah membenahi Administrasi perpustakaan yang kini sedang amburadul. “Administrasi itu harus ditata ulang agar data-data penting tidak hilang dan lebih mudah mencarinya bila diperlukan,” katanya. Selanjutnya adalah pembenahan katalog buku yang lebih lengkap dari sebelumnya. Dalam hal ini dia memang memiliki ide yang belum terealisasi hingga kini, yaitu melengkapi data buku, dari tanggal sampai penerbitnya. Katalog sebelumnya memang tidak begitu lengkap, hanya dicatat bagian data terpenting saja, seperti judul dan pengarangnya. “Kadang ada santri yang butuh buku untuk keperluan referensi, tapi bukunya dipinjam orang lain. Nah, untuk meringankan beban mereka, kami bisa memberikan data-data dalam katalog tersebut. Mungkin cukup kalau untuk data footnote saja, misalnya,” katanya mengakhiri perbincangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar