Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan
GULUK-GULUK—Untuk membuktikan eksistensinya, Komunitas Cinta Nulis (KCN) PP Annuqayah Lubangsa Selatan kembali meluncurkan antologi cerpennya yang ke-5. Antologi kali ini, yang diproyeksikan terbit tiap dua bulan sekali, masih diisi oleh wajah-wajah lama—masih orang dalam sendiri. Namun ada satu penulis yang diundang untuk juga turut meramaikan karya-karya dalam antologi tersebut, yaitu Ana FM.
Antologi yang mereka beri judul Lembaran yang Hilang ini menampung sedikitnya enam buah judul cerpen dengan ketebalan 25 halaman. Di antaranya berjudul “Tragedi Cempaka” (Moh. Warid ), “Lembaran yang Hilang” (Fandrick HS Putra), “Hujan Senja Terakhir: (Ana FM), “Persidangan Sore Sebuah Keluarga” (Muktirrahman Syaf), “Mahkota Khatulistiwa” (karya Moh. Riski), dan “Perempuan Pilihan Ibu” (karya Badrus Syamsi).
Tiap cerpen dalam kumpulan ini membawa ragam warna yang berbeda-beda, tak seperti tema pada cerpen-cerpen terdahulu yang setia dengan tema cinta. Dalam kumpulan ini hanya satu yang bertema cinta, “Perempuan Pilihan Ibu” karya Badrus Syamsi. Muktir, sapaan Muktirrahman, juga mengulas masalah cinta namun dengan pendekatan yang lebih luas. Cerpen-cerpen yang lain berkisah tentang tema sosial. Misalnya cerpen Moh. Warid yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang dicerca dan dihina oleh para tetangga oleh karena mengidap penyakit yang mengerikan, wajahnya kena borok akut. Sehingga Paka (nama pendek dari Cempaka, tokoh cerita itu) dipinggirkan dari kehidupan sosial. Mereka menganggap Paka telah melakukan sesuatu yang melanggar agama, sehingga dilaknat Tuhan dan kena azab. Namun, anggapan orang perlahan berubah tatkala Paka meninggal dunia setelah mereka membakar rumahnya tanpa ampun. Beberapa hari berselang tercium aroma harum cempaka dari kuburan Paka dan tempat di mana Paka menghembuskan napas terakhirnya.
Novelis Ana FM berkisah tentang kenangan bersama kakeknya. Ceritanya mengalir merepresentasikan bagaimana kenangan tentang kehidupan kakeknya begitu melekat dalam memori otak sang tokoh “aku”. Saking dekatnya sehingga sang cucu harus menemaninya saat sang kakek mau tidur. Dari kakek itu sang cucu bisa mendapatkan kisah masa lalu tentang jalan panjang negeri ini menggapai kemerdekaan. Kakek pun sering memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkisar seputar permasalahan yang terjadi dalam tubuh negara kita. Namun, di akhir cerita sang tokoh utama tak bisa menemani kepergian sang Kakek karena saat itu ia berada dalam angkot yang mengantarnya ke kantor.
Fandrick HS Putra bercerita tentang seorang pengarang cerpen yang karena tidak ada media yang mau memuatnya lalu memberikan secara cuma-cuma kepada para pengendara yang ia sambangi di jalan raya. Nahasnya, ia tertabrak mobil saat membagi-bagikan cerpen tersebut.
Antologi cerpen yang ke-5 kali ini memiliki kelebihan. Sampulnya lebih cemerlang dibanding terbitan-terbitan sebelumnya yang hanya di fotokopi. Meski dengan pertaruhan modal yang agak mahal anggota KCN merasa membutuhkan suasana baru.
KCN didirikan pada September 2007 oleh Zaiturrahiem, santri Lubangsa Selatan yang kini menjadi wartawan sebuah koran lokal. Rentang waktu tiga tahun itu memang cukup panjang bila dibandingkan dengan karya-karya yang dihasilkan komunitas ini—selama 3 tahun hanya menghasilkan 5 kumpulan cerpen. Bukan harapan dari anggota KCN untuk hanya menghasilkan karya yang sedikit itu. Tapi, ada banyak kendala yang membelit proses penerbitan karya-karya mereka. Di antaranya, sulitnya dana. Komunitas ini memang sedari awal membiayai ongkos penerbitannya sendiri. Mereka menarik sumbangan dari anggota yang hanya tidak sampai sepuluh orang. Karya-karya dari edisi 1-4 dicetak dalam bentuk stensilan. Hal itu sesuai kemampuan para pengelola komunitas tersebut.
Di samping itu komunitas ini sempat vakum karena ditinggal pergi oleh pengelolanya, Zaiturrahiem, yang hengkang dari PP Annuqayah Lubangsa Selatan hampir setahun yang lalu untuk memulai suasana hidup baru sebagai wartawan. Praktis semenjak itu koordinasi menjadi terabaikan dan rutinitas menjadi mandeg.
Namun, beberapa bulan terakhir inisiatif muncul untuk menggairahkan kembali komunitas ini. Beberapa anggota yang masih tersisa berhasrat menerbitkan antologi baru. Meski anggota yang tersisa sekarang hanya tinggal empat orang namun keinginan itu tetap terpacak dalam hati mereka. Terbukti kini mereka meluncurkan Lembaran yang Hilang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Selamat dan sukses, semoga kian kreatif...
yang berminat untuk memiliki, silahkan hubungi:
Badrus Syamsi/Riski di PPA Lubangsa Selatan.
Posting Komentar