Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa
GULUK-GULUK—Rabu (4/3) kemarin, matahari seakan lagi cuti menyinari bumi, seperti juga beberapa hari sebelumnya. Dari pagi hingga sore hari, matahari tak sedikit pun menampakkan cahayanya. Langit terlihat kelabu. Sebentar mendung, sebentar gerimis, dan sebentar hujan. Awan tak mau beranjak pergi, selalu menaungi wilayah Annuqayah dan Guluk-Guluk pada umumnya.
Siang itu, gerimis turun lagi. Tak ada satu pun aktivitas santri yang terlihat. Biasanya, usai jam sekolah mereka ramai menanak—bagi yang memang menanak. Mungkin mereka enggan berbecek-becek di dapur. Lagi pula, gerimis kemarin siang itu seakan ingin menjelma menjadi hujan—tinggal menunggu waktu saja.
Namun, di siang itu, beberapa menit kemudian, tampak seorang santri dari arah selatan menenteng kastol menuju waduk besar di kawasan blok F PPA Lubangsa. Mungkin ia baru saja pulang dari sekolah, sebab ia masih mengenakan seragam, yakni seragam MA 1 Annuqayah Putra. Dengan khusyuk, ia mencuci beras yang sudah ada di dalam kastol itu tanpa menghiraukan tubuhnya yang tersiram gerimis hingga lumayan basah kuyup.
Nama santri itu Hamid. Ia berasal dari Karduluk. Sehari-hari ia memang menanak. Ia jarang sekali membeli nasi, demi menghindari defisit keuangan. Dengan kata lain, agar ia bisa bernapas hingga jadwal kiriman selanjutnya. “Ya, gini dah.. Kalau tidak nanak, ujung-ujungnya pasti akan ngutang,” ungkapnya saat berada di ruang dapur.
Ia juga mengatakan bahwa setiap kali kiriman, ia hanya diberi jatah uang sebesar Rp 25.000,- per dua minggu untuk semua kebutuhannya. Ia juga menambahkan bahwa menanak dalam situasi seperti itu, yakni di antara gerimis atau hujan, sudah sering dilakukannya akhir-akhir ini. Bahkan, menurut pengakuannya, pernah dulu ketika minyak tanah di Lubangsa sangat langka, ia menanak menggunakan tungku yang dibuat olehnya sendiri dari susunan bata dan menggunakan kayu bakar. “Memang sih, ada nuansa yang berbeda ketika menanak sendiri di hari-hari yang penuh hujan atau gerimis. Namun jika sudah kondisinya seperti ini apa mau dikata,” ungkap pria yang terkenal kalem tersebut.
Dengan keadaan yang berbeda dengan teman di sekitarnya, Hamid merasa wajib bersyukur karena dapat tenang hidup di pondok dengan keadaan seperti itu. Bahkan ia membandingkan dengan kawannya yang setiap bulan dikirim Rp 300.000,- oleh orang tuanya tetapi masih ngutang kepadanya, meski tidak terlalu besar.
Ia selalu termotivasi untuk belajar lebih giat dengan mengingat kondisi ekonomi keluarga di kampungnya. “Hikmahnya, kondisi seperti ini juga dapat mendorong saya untuk hidup sederhana,” tambahnya, sambil mengaduk nasi yang sudah hampir masak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar