Tim LPM Dinamika
Menjadi istri yang disayang suami dan ibu yang dicintai putra-putrinya adalah harapan setiap
perempuan. Tapi, untuk membentuk karakter yang demikian bukan perkara mudah.
Seorang istri yang juga berstatus seorang ibu punya banyak tanggung jawab yang
diemban untuk menjadikan perjalanan
bahtera rumah tangganya sakinah dan diliputi kebahagiaan. Peran seorang ibu
sangat menentukan terhadap kesuksesan anak-anaknya kelak. Keteladan dalam hal
kemandirian, ketekunan, kesabaran, dan keuletan seorang ibu menjadi cerminan
kesuksesan putra-putrinya. Sosok ibu seperti inilah yang akan kru liput pada
diri Nyai Syifa Ilyas, salah satu pengasuh PP. Annuqayah daerah Nirmala.
Berikut profil dan sepak terjangnya.
Nyai Syifa Remaja
Nyai Syifa adalah putri dari salah satu pengasuh Annuqayah, K.
Ilyas. Beliau adalah anak ke-enam dari tujuh bersaudara. K. Fauzin, Nyai
Mahfudah, K. Amir, K. Ashim, Nyai Badi’ah, dan Nyai Nadiratun adalah
saudara-saudaranya. Sejak kecil, beliau tinggal di daerah lubangsa bersama orang tuanya, kemudian pindah ke daerah
Nirmala pada tahun 1963. Sejak kecil beliau berteman akrab dengan Nyai Umamah
Makkiyah, pengasuh PP. Annuqayah daerah Latee II dan Nyai Rafi’ah (almh),
pengasuh PP. Annuqayah daerah Sawajarin.
Nyai Syifa termasuk orang yang senang membaca. Membaca apa saja.
Majalah, buku, dan koran seringkali menjadi teman duduknya di waktu senggang.
Belajar bahasa Inggris di tahu 40-an barangkali merupakan hal yang tabu. Tapi,
di tahun tersebut beliau mahir dalam bahasa Inggris. Itu terbukti dengan
catatan-catatannya yang berbahasa Inggris. Dalam hal pendidikan agama, beliau
banyak belajar pada abah dan kakak-kakaknya.
Yang lebih unik, beliau gemar mencatat hari, tanggal, bulan dan tahun moment bersejarah, katakanlah
misalnya hari kelahiran dan meninggalnya tokoh Indonesia, para masyayikh dan
tokoh masyarakat. Kebiasaan menulis menjadikan beliau selalu mencatatat do’a
dan wiridan yang dibaca oleh abahnya tiap kali selesai shalat. Beliau melakukan
itu agar catatan tersebut bisa dibaca ulang dan dihafal. Masa remajanya diisi
dengan kegiatan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah sampai beliau
menikah. Kegiatan mengajarnya berhenti sampai tahun 90-an.
Nyai Syifa Ilyas ke Pelaminan Bersama K. Hasan
Nyai Syifa Ilyas menikah dengan saudara sepupunya, K. Hasan putra
dari pasangan suami istri KH. Moh. Khalil dan Nyai Taqiyah di usia 19 tahun.
Nyai Syifa adalah sosok istri yang sangat disayang suami, K. Hasan. Baktinya
kepada suami menjadi cerminan dari keshalehannya. Bersama K. Hasan, beliau
memiliki delapan buah hati. Tujuh laki-laki dan satu perempuan; yaitu Muhammad
(alm), M. Afif Hasan, A. Hanif Hasan, A. Farid Hasan, M. Hamidi Hasan, A. Bashri
Hasan, Fathaturrahmah dan Naqib Hasan.
Nasib malangnya mulai muncul ketika beliau melahirkan putra
sulungnya yang diberi nama Muhammad. Anak tersebut diberi nama Muhammad, karena
ia lahir di hari, tanggal dan bulan yang sama persis dengan kelahiran nabi
Muhammad Saw. Yaitu hari senin, 12 Rabi’ul Awal. Namun sayang, sebelum abah dan
umminya melihat senyum Muhammad, Allah terlebih dahulu memanggilnya dan memeluk
erat dalam pangkuanNya.
Keluarga Ny. Syifa adalah potret keluarga yang sederhana. Itu
terbukti dengan gubuk yang ditempatinya dan bekal hidup yang diberikan untuk
putra-putrinya. Pendapatan keluarganya bisa dibilang masih relatif rendah dan
di bawah standard. Baginya, ketentuan hidup tak harus disesali, tapi mesti
disyukuri. Karena beliau yakin apapun garis kehidupan yang ditentukan Tuhan
pasti akan memberikannya kenyamanan dan kebahagiaan. Hidup yang tak
berkecukupan tak mampu menjadikannya menyerah dan patah arang untuk membiayai
pendidikan putra-putrinya.
Nyai Syifa adalah pribadi yang tekun beribadah. Beliau tidak pernah
meninggalkan shalat Tahajjud dan Dhuha
kecuali jika ada halangan. Setelah selesai shalat Shubuh, beliau mengaji
al-Quran sampai waktu Dhuha datang. Selesai Dhuha beliau masih menyempatkan
diri untuk mengaji kembali walau hanya beberapa ayat. Setelah mengaji,
aktifitas rutinnya adalah mendatangi dapur untuk memasak sampai waktu siang
tiba. Aktifitas ini menjadi rutinitasnya sehari-hari. Keshalehannya juga
terlihat dari sifatnya yang pendiam. Beliau jarang sekali bertandang ke rumah
tetangga hanya untuk ngerasani. Dengan sifat pendiam tersebut, beliau
juga tak pernah mencampuri urusan keluarga putra-putrinya. Kemandirian hidup
sudah beliau tanamkan pada putra-putrinya mulai sejak kecil. Sehingga, ketika
mereka berkeluarga, mereka mampu hidup dewasa.
Nyai Syifa dan Kalung Emas
Kehidupan Nyai Syifa tampak begitu terjal dan tajam ketika Suami
tercinta di panggil Tuhan. Semenjak hidup bersama K. Hasan, kehidupan Nyai
Syifa dan putra-putrinya masih sangat memilukan dalam hal biaya hidup. Bisa
dibayangkan, bagaimana nasib selanjutnya Nyai Syifa dan tujuh putra-putrinya
ketika ditinggal suaminya? Dari mana mereka harus mengais bekal hidup? Disinilah peran sosok ibu yang kuat dan
penyabar dimulai. Beliau tak pernah takut untuk melangkahkan kaki di atas kerikil
tajam kehidupan meski dunia tak memberinya harapan untuk sekedar tersenyum.
Walaupun hidup sebagai orang tua yang berstatus single parent di
tahun 1986, Nyai Syifa terus berupaya agar putra-putrinya tidak memiliki nasib
yang sama. Beliau menginginkan ketujuh putra-putrinya dapat hidup layak dan
sukses kelak. Kala itu, semua putra-putrinya masih berada di jenjang pendidikan
rendah, yaitu setingkat MI, Mts, dan MA.
Dengan bekal kesabaran dan harapan yang begitu kokoh, Nyai Syifa
mulai mencari cara bagaimana semua putra-putrinya bisa menyelesaikan
pendidikannya. Pekerjaan halal yang bisa dilakukan biasa beliau kerjakan. Jika ada pisang,
beliau menjadikannya goreng pisang untuk dijual pada santri atau apapun adanya
beliau jadikan bahan berjualan untuk menghidupi keluarganya. Selain berjualan,
beliau juga terampil menjahit. Dari pekerjaan itu, beliau membiayai kehidupan
keluarganya.
Ada kisah menarik yang sempat menjadikan kru mengelus dada dan
berdecak kagum pada sosok Nyai Syifa Ilyas. Cerita ini patut dijadikan
pelajaran bagi semua ibu dan calon ibu. Kronologinya, dahulu Nyai Syifa
memiliki kalung emas berantai. Setiap
kali beliau akan membiayai pendidikan putra-putrinya, emas berantai itu diambil
satu persatu untuk dijual. Sampai saat ini, sisa emas berantai tersebut masih
tetap ada sebagai saksi bisu bahwa beliau benar-benar sosok ibu yang memiliki
kesabaran sekuat karang.
Sumber:
1. Dr. KH. Afif
Hasan, M. Pd. I (putra Nyai Syifa)
2. Drs. K. Hanif
Hasan (putra Nyai Syifa)
3. K. Naqib Hasan,
S. Sos (putra Nyai Syifa)
4. Nyai
Fathaturrahmah, S. Ag (putri Nyai Syifa)
5. K. Muhajir
Bahruddin (menantu Nyai Syifa)
Tulisan ini dikutip dari Majalah Dinamika
(terbitan LPM Putri Instika), Edisi VI, November-Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar