Sabtu, Desember 31, 2011

Pengurus Lubangsa Bangun Perpustakaan

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Kesadaran santri terhadap pentingnya membaca merupakan suatu keharusan. Kalau santri hanya fokus membaca kitab tanpa ditopang dengan upaya mengonsumsi buku, tentu kurang baik terhadap pengembangan wawasan keilmuan mereka. Inilah yang menjadi salah satu pijakan pengurus Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep, sehingga kini membangun perpustakaan pesantren.

Demikian disampaikan koordinator departemen Kepustakaan, Penerbitan, dan Pers (KP2) Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Fitratus Solihin, saat diwawancarai di kamar pondoknya blok D/11, Kamis (29/12) siang.

Fitrah, panggilan akrab Fitratus Solihin, memaparkan bahwa karena pertimbangan dana, pengurus pesantren tidak lantas membangun utuh gedung perpustakaan tersebut.

“Kami memanfaatkan salah satu dari 4 dapur milik pesantren yang luasnya sekitar 6 x 4 meter,” katanya.

Masih menurut Fitrah, selain yang diubah jadi perpustakaan, 1 dari 3 dapur tersebut diperluas dari yang semula hanya 4 x 3 meter diperpanjang menjadi 7 x 3 meter. Sedangkan ukuran 2 dapur lainnya tetap seperti semula, 4 x 3 meter. Hal ini dilakukan demi keleluasaan santri menanak nasi setiap harinya.

Terhitung sejak Sabtu (24/12) kemarin, dapur yang disulap menjadi perpustakaan itu diperbaiki sedemikian rupa. Lantainya dikeramik dan dinding-dindingnya diperputih. Hingga berita ini ditulis, terdapat beberapa pengurus bekerja keras untuk mempercantiknya. Salah satunya adalah anggota departemen KP2 yang dicanangkan akan menjadi ketua perpustakaan, Roziq Aminullah.

Saat ditemui, santri yang bermukim di blok C/8 ini mengutarakan bahwa dana yang dibutuhkan untuk pendirian perpustakaan ini belum diketahui secara pasti.

“Yang jelas, melalui restu pengasuh Lubangsa, semenjak periode kepengurusan saat ini, dicetuskanlah kebijakan untuk menaikkan SPP santri. SPP santri baru dari yang awalnya Rp 150 ribu naik Rp 310 ribu per tahun, SPP santri lama dari Rp 130 ribu naik Rp 286 ribu per tahun. Dan dari SPP itulah dialokasikan dan buat perpustakaan sebesar Rp 15 ribu untuk tiap-tiap santri setiap tahunnya,” ungkapnya detail.

Dana tersebut, tambah Roziq, sudah dialokasikan untuk bahan-bahan pengubahan dapur menjadi perpustakaan, pembelian lemari perpustakaan seharga Rp 1.750.000,- dan sekitar 700 buku yang sementara ini masih ditaruh di kantor redaksi majalah Muara Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa. Lemari tersebut terdiri dari 24 rak dan masing-masing rak memuat sekitar 25 buku.

Ubah Nama, Awal Perintisan

Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa merupakan salah satu pesantren daerah dari belasan pesantren daerah di Annuqayah yang tidak memiliki perpustakaan. Padahal, santri yang mengenyam pendidikan di dalamnya lumayan banyak, lebih dari 900 orang.

“Sebenarnya, pendirian perpustakaan pesantren ini dirintis sejak tahun 2006,” ujar Fitrah. “Kala itu ketua pengurusnya ialah Muhammad Ali, S.Pd.I.

Santri asal Sukorejo, Sukowono, Jember tersebut menambahkan bahwa perintisan perpustakaan bermula dari kebijakan perubahan nama departemen di struktur kepengurusan pada masa kepemimpinan Moju, S.Pd.I (2005).

“KP2 ini mulanya ialah departemen Penerangan dan Pembinaan Organisasi (P2O). Kemudian P2O dipecah lagi menjadi dua. Salah satu pecahannya ialah departemen Penerbitan dan Pers (P2). Ini masih pada masa Moju,” ungkap pemuda yang lahir pada 6 Juni 1989 M atau 6 Syawal 1410 H itu.

Setelah Moju digantikan oleh Muhammad Ali, departemen P2 diperluas lagi wilayah kerjanya pada kepustakaan.

“Dari situlah berubah nama lagi menjadi departemen Kepustakaan, Penerbitan, dan Pers. Departemen inilah yang bertanggung jawab sekaligus merintis adanya perpustakaan,” ujar Fitrah yang kini tercatat sebagai mahasiswa semester 7 Tafsir Hadits Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika).

“Koordinator KP2 saat itu ialah Moh Shobri yang kini sudah menjadi ketua pengurus,” tambah alumnus MA Tahfidh Annuqayah 2008 itu.

Tantangan

Fitrah menyadari bahwa dari masa perintisan perpustakaan hingga saat ini, banyak santri bertanya-tanya.

“Sudah lama dirintis, kok belum juga ada perpustakaannya,” ujar Fitrah menirukan nada-nada sindirin dari santri yang sering disematkan kepadanya.

“Pertanyaan tersebut tak jarang dilontarkan para santri kepada saya. Dan itu baru agak berkurang semenjak pesantren ini diketuai oleh Abdul Wahid, S.Pd.I. Beliau menjabat ketua pengurus masa bakti 2010-2011,” tegasnya.

Ketika Wahid menakhodai pesantren yang diasuh oleh Drs. KH A Warits Ilyas itu, ada beberapa langkah yang ditempuhnya berkaitan dengan kepustakaan.

“Karena dana menjadi tantangan utama dalam kepustakaan ini, maka Wahid menggerakkan kami untuk membuat proposal pengajuan dana kepustakaan kepada alumni yang mampu dari segi ekonomi,” ujar Fitrah. “Kami juga mengajukan permohonan bantuan buku kepada penerbit”.

Semua pengurus kala itu boleh berbangga atas jerih payahnya. Sebab, dari alumni mereka dapat sokongan dana kepustakaan lebih dari Rp 4 juta. Sedangkan dari penerbit, tak ada satu pun buku yang didapatkan.

Untuk saat ini, pada masa kepemimpinan Moh. Shobri, tantangan utamanya bukan lagi berupa dana. Melainkan, sumber daya manusia (SDM) yang bakal mengelola perpustakaan.

“SDM kami masih kurang, lemah. Saya sendiri juga belum banyak tahu tentang kepustakaan,” kata Fitrah dengan polosnya.

“Akan tetapi, kami sudah siap untuk belajar dan menambah wawasan pengetahuan tentang bagaimana mengelola perpustakaan secara baik,” tandasnya.

Rabu, Desember 28, 2011

Pengurus Lubangsa Berhentikan Kru Majalah Muara

Fandrik HS Putra, PPA Lubangsa

Guluk-GulukMasalah seputar penerbitan Harian Bhindhara berlanjut. Hal itu dipicu oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh pengurus Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) PPA Lubangsa kepada salah satu kru Majalah Muara. Ujungnya, seluruh kru Majalah Muara diberhentikan dari jabatannya pada Kamis pagi (22/12) kemarin.

Pemberhentian itu dilakukan setelah ketua pengurus PPA Lubangsa didampingi oleh pengurus Kepustakaan Pers dan Penerbitan (KP2) melakukan rapat mendadak bersama kru Majalah Muara pada hari yang sama. Rapat dilaksanakan di kantor redaksi di kompleks blok F, pukul 05.30 WIB.

Agenda rapat yang dibahas adalah persoalan pengaduan Aziz Suwarno, salah satu kru Majalah Muara kepada K. Muhammad ‘Ali Fikri, S.Ag. selaku dewan penasihat pengurus PPA Lubangsa. Ia mengadukan perjalanan penerbitan Bhindhara sampai pada tindak kekerasan yang dilakukan oleh pengurus Kamtib kepada Riyadi Kafa, salah seorang rekannya yang menjabat sebagai redaksi Majalah Muara.

Sabri Salim, ketua pengurus, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Aziz melanggar MoU (Memorandun of Understanding) yang telah disepakati oleh ketua pengurus dengan pengurus KP2, kru Majalah Muara, Buletin Kompak, dan Bhindhara pada tanggal 11 Desember 2012. Mereka telah melanggar MoU pasal 2 tentang “Bentuk Kerjasama”, item ketiga, yang menyatakan bahwa “Setiap kebijakan mesti melalui musyawarah mufakat bersama para pihak.

“Salah satu kesepakatan dalam musyawarah dulu itu (9/12) adalah segala kebijakan mengenai pers harus dimusyawarahkan dulu kepada kami. Kalau langsung melapor kepada dewan pengurus tanpa bermusyawarah dulu dengan kami, berarti kan Aziz telah melangkahi kami,” ungkapnya.

Atas kesepakatan pengurus harian, ia memberhentikan semua kru Majalah Muara. Sedangkan kru Buletin Kompak tetap. Alasan hanya memberhentikan kru Majalah Muara karena, menurutnya, yang menjadi kreator atas masalah tersebut adalah kru Majalah Muara.

Fitrotussalihin, ketua seksi KP2, mengungkapkan dalam waktu dekat pengurus KP2 akan mengangkat kru yang baru. Namun ia tidak bisa menjanjikan realisasi penerbitan Majalah Muara untuk tahun ini.

“Kita tunggu saja. Apabila penggantinya nanti baik, maka Muara akan segera terbit,” paparnya.

Melihat "Langsung" Kaum Muslim di Norwegia

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Era globalisasi menuntut kecakapan menyikapinya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa manusia pada ragam kemudahan. Setidaknya, hal ini disadari oleh pengurus OSIS SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Setelah hujan turun deras mengguyur Desa Guluk-Guluk, Sumenep, Sabtu (24/12) siang kemarin, dengan memanfaatkan jaringan internet mereka menggelar Diskusi Video Conference Lintas-Benua di laboratorium IPA SMA 3 Annuqayah. Acara yang mengangkat tema “Geliat Dakwah Islam di Eropa” dengan pembicara langsung dari Norwegia, Abdillah Suyuthi, ini merupakan seri yang kelima.

“Dalam acara diskusi seperti ini, saya selalu berusaha mengangkat tema yang tak biasa. Unik. Semisal dakwah Islam di Eropa yang tentu anak-anak didik kami tidak banyak tahu secara pasti dari sumber utamanya. Paling-paling hanya melalui media massa,” ujarnya.

“Seri pertama Diskusi Lintas-Benua ini dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober tahun ini. Tema yang diangkat kalau tak salah ialah Generasi Muda dan Tantangan Global. Pembicaranya Mauritz Panggabean, mahasiswa Indonesia yang sedang PhD di NTNU, Trondheim, Norwegia. Selanjutnya, disusul dengan seri-seri diskusi yang juga mengangkat tema-tema menarik dan unik,” tutur M Mushthafa.

M Mushthafa pernah menetap di Norwegia selama 5 bulan, tahun 2009 lalu. Dia belajar di Eropa atas prestasinya mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus dari Uni Eropa. Selama di Eropa, tentu M Mushthafa memiliki banyak teman dari ragam disiplin keilmuan.

“Jauh-jauh hari sebelum model acara diskusi seperti ini dilakukan, saya memang mengontak teman-teman saya itu. Salah satunya ialah Bapak Suyuthi yang sekarang menempuh program PhD di jurusan Teknologi Kelautan, NTNU, Trondheim, Norwegia. Riset beliau fokus pada kapal-kapal laut di daerah bersalju,” tutur M Mushthafa saat dihubungi via handphone, Minggu (25/12) malam.

Melalui Skype, Abdillah Suyuthi memberikan pencerahan kepada sekitar 50 peserta. M Mushthafa berperan sebagai moderator pada acara itu.

“Saya ucapkan banyak terima kasih. Tak sedikit informasi baru yang kami peroleh dari Bapak Suyuthi tentang perkembangan Islam di Norwegia. Seperti adanya tambahan bangunan masjid yang sewaktu saya di Trondheim, Norwegia, masih hanya ada satu masjid,” ujar M Mushthafa kepada Suyuthi di depan laptop yang dioperasikannya, usai presentasi Suyuthi yang bergulir sekitar 2  jam dan diikuti secara khidmat oleh para peserta.

Tantangan Islam di Norwegia

Dalam penjelasannya, Suyuthi, yang mengenyam pendidikan di Norwegia semenjak 2006 lalu, memberikan uraian gamblang tentang potret umat Islam di Eropa, khususnya di Norwegia.

“Jatuhnya Khilafah Usmani di Turki pada 1921, perang 6 hari pada 1967 yang melibatkan Mesir, Israel, Suriah, dan Yordania, serta perang di Irak dan di Afganistan pada 2000 hingga sekarang, berdampak pada munculnya pengungsian besar-besaran dari umat Islam di wilayah tersebut. Mereka mengungsi untuk bertahan hidup atau mencari pekerjaan, sehingga mereka punya karakter keras,” papar Suyuthi detail.

“Para umat Islam yang ditimpa perang itu banyak yang mengungsi dan menetap di Eropa, termasuk di Norwegia sendiri. Selanjutnya, mereka membentuk komunitas Islam di Norwegia,” ungkap Suyuthi.

Suyuthi juga menambahkan bahwa di Norwegia, tak sedikit penduduknya masuk Islam karena didasarkan hanya pada cinta atau alasan untuk menikah dengan orang Islam.

“Para gadis muslim tidak mau dinikahi pemuda non-muslim sebelum pemuda itu mengikrarkan diri masuk Islam dengan membaca syahadat,” jelas Suyuthi sembari tersenyum.

Dalam pandangan aktivis Kajian Muslim Indonesia Trondheim (KMIT) itu, komitmen perempuan-perempuan muslim tersebut patut dibanggakan meskipun tidak menjadi jaminan kualitas keberislaman seseorang. Dan ini menjadi salah satu tantangan bagi Suyuthi yang sudah banyak memahami ajaran Islam.

Pada wilayah itu, tantangan lainnya ialah berkenaan dengan jadwal shalat di Norwegia yang setiap hari mengalami perubahan. Persoalan ini sebenarnya sudah teratasi melalui website islamicfinder.com. Namun secara lebih mendalam, ada masalah-masalah yang perlu didiskusikan dan diteliti secara lebih mendalam, seperti soal waktu shalat Isya’ di musim panas, ketika waktu malam di Trondheim begitu singkat.

Tantangan yang lainnya, lanjut alumnus ITS Surabaya itu, ialah kristenisasi.

Ada sejumlah orang yang melakukan kristenisasi ke rumah-rumah,” ungkapnya dengan nada serius, agak ditekan. “Saya bahkan pernah diberi kitab injil. Untuk sekadar menghargai, saya ambil saja.”

Gencarnya gerakan kristenisasi tersebut, tambah pria yang juga tercatat sebagai dosen ITS Surabaya itu, berbanding terbalik dengan perkembangan islamisasi.

“Berita yang mengabarkan bahwa laju islamisasi di Eropa begitu deras hingga puluhan ribu tiap tahunnya itu bohong. Ini hanya propaganda agar Islam ditakuti,” ungkapnya.

Di Eropa, tambahnya, umat Islam cenderung hanya berjuang demi survive (bertahan hidup), dalam arti bagaimana mereka menjaga keimanan mereka. Mereka belum sampai melangkah pada gerakan islamisasi, hanya mempertahankan agar anak dan keluarga tetap beragama Islam.

“Umat Islam belum melakukan langkah-langkah universal untuk menduniakan Islam secara serius,” tegasnya.

“Di KMIT, kami melakukan dakwah Islam semampu kami dengan cara mendiskusikan ajaran Islam. Kami juga membuat selebaran yang berisikan ajaran-ajaran Islam,” tambahnya.

Tradisi Islami

Masih menurut Suyuthi, di Norwegia, terdapat banyak tradisi islami. Dengan kata lain, sekalipun di Norwegia banyak masyarakatnya yang tidak beragama Islam, tapi perilaku kesehariannya tak sedikit yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.

Ambil contoh, ujar Suyuthi, tentang kebersihan dan sikap toleransi yang memang terkandung dalam ajaran Islam. “Di Norwegia sering terjadi macet hanya gara-gara menghargai pejalan kaki,” katanya.

“Ketika ada pejalan kaki yang mau melintas di jalan, dari jarak jauh kendaraan sudah mengerem untuk kemudian berhenti. Para sopir baru menjalankan kendaraannya kembali sesudah pejalan kaki tersebut selesai menyeberangi jalan,” papar Suyuthi.

“Pernah suatu ketika ada kakek yang menyeberang jalan secara pelan, maka mobil yang semestinya melaju dengan cepat berhenti seketika,” ungkapnya.

Dan hebatnya, tegas Suyuthi, tak ada satu pun kendaraan yang membunyikan klaksonnya.

“Bandingkan saja dengan di Madura yang penduduknya mayoritas Islam,” kata Suyuthi sembari tersenyum tanggung. Para peserta pun banyak yang tertawa menimpali senyuman Suyuthi tersebut.

Demikian pula berkaitan dengan kebersihan. Di Norwegia bisa dipastikan sulit ditemui sampah berserakan dan parit-parit yang digenangi air busuk kebiruan. Di Indonesia, mudah sekali ditemukan air tak bersih kebiruan di parit-parit sekitar jalan serta banyaknya sampah yang berserakan di sekitar tempat sampah.

Selain kebersihan dan sikap toleransi, Suyuthi juga mengungkap tentang penanganan kesehatan di Norwegia.

“Di Norwegia, orang sakit langsung ditangani. Di Indonesia, keluarga si sakit masih ditanyai uang dulu, cukup biaya pengobatan atau tidak. Kerap kali di Indonesia orang sakit justru menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit karena tidak tertangani secara baik. Hanya gara-gara tidak punya uang yang mencukupi,” jelas pria yang pernah menjadi khotib di masjid Trondheim itu.

Respon Positif Peserta

Penjelasan Suyuthi tentang potret Islam dan umat Islam di Norwegia mendapat respons positif dari para peserta diskusi. Ketika M Mushthafa memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta, banyak peserta yang ingin bertanya.

Maimunah, salah satu siswi kelas XII Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri, mengomentari penjelasan Suyuthi tentang banyaknya pemeluk Islam yang bermula dari adanya cinta.

“Mereka yang masuk Islam karena cinta, tentu pemahaman tentang Islam terbilang minim. Aplikasi terhadap ajaran Islam secara utuh jelas dalam tanda tanya besar. Ini sungguh memprihatinkan di tengah komunitas Islam di Norwegia yang bergerak tidak secara aktif. Hanya survive kata pak Suyuthi tadi,” ujar Maimunah.

Mencermati pernyataan gadis imut yang tingginya sekitar 155 cm itu, Suyuthi menyatakan bahwa dakwah Islam di Eropa khususnya di Norwegia tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Memang saya akui, orang-orang Eropa termasuk masyarakat Norwegia itu punya kebiasaan negatif yang bertolak belakang dari ajaran Islam. Jangankan berbicara ritual Islam, untuk mengubah kebiasaan itu amat sulit,” keluh Suyuthi.

“Orang-orang Norwegia terkenal sebagai masyarakat yang tekun belajar. Dari hari Senin sampai Jumat, mereka belajar secara sungguh-sungguh. Sayangnya, hal itu berjalan seiring dengan tradisi yang kurang baik,” ujar Suyuthi.

Dari hari Sabtu sampai malam Minggu, lanjutnya, mereka mabuk hingga dini hari. “Mereka memiliki prinsip: belajar dan kerja serius, main juga harus serius, ungkap Suyuthi. “Oleh mereka, main selalu diterjemahkan ke dalam minum minuman keras”.

Anisah, siswi kelas XI IPA SMA 3 Annuqayah, mempertanyakan sistem pembelajaran dan materi kajian di KMIT.

“Apakah menggunakan sistem pengajian sebagaimana diterapkan di pesantren-pesantren, atau punya metode tersendiri?” tanya gadis yang cukup manis itu.

Suyuthi menjawab pertanyaan Anisah kurang begitu jelas karena koneksi internet yang sedikit terganggu. Tapi, ada satu poin penjelasan yang dapat ditangkap bahwa KMIT, sewaktu-waktu mendatangkan salah satu syekh alumnus Makkah dan Madinah yang konsentrasinya di bidang mushthalah hadis. Mereka juga belajar bahasa Arab dan mengkaji buku tafsir karangan Hamka.

Bersamaan dengan itu, Suyuthi mengungkap tentang tujuan dibentuknya KMIT.

“Salah satu tujuannya ialah agar kami tidak terbawa oleh lingkungan tak Islami,” tutur Suyhuti tanpa menggambarkan KMIT secara detail.

Salah satu siswi kelas akhir dari MA 1 Annuqayah Putri yang tidak jelas mengenalkan namanya bertanya tentang langkah-langkah umat Islam di Norwegia untuk mengantisipasi agar anak-anaknya tidak terpengaruh oleh perilaku yang tidak islami.

“Anak saya sendiri, alhamdulillah hingga kini tetap kukuh mempertahankan jilbabnya. Ini tak lepas dari upaya membentengi diri dengan ajaran Islam sejak dalam keluarga,” kata Suyuthi mengisahkan kehidupan keluarganya.

“Kalau anak sudah ditanami ajaran-ajaran Islam sejak dini dalam keluarga, maka dia akan mampu membentengi dirinya sendiri dengan ajaran Islam di luar rumah,” tegasnya. “Dan saya sangat bersyukur karena di Norwegia menghargai perbedaan dalam beragama.”

Gema tepuk tangan peserta mengakhiri acara diskusi yang berlangsung 2 jam lebih itu. Sebagai bonus, M Mushthafa menyempatkan diri mengenalkan letak-letak kota di Trondheim melalui internet dan foto-foto Norwegia miliknya sewaktu mengenyam pendidikan di sana.

Usai acara, peserta diskusi tidak langsung pulang. Mereka tergoda oleh deretan buku yang dipajang di dekat pintu keluar. Buku-buku anyar tersebut dijual oleh pengurus OSIS SMA 3 Annuqayah kepada para pesera diskusi.

Salah satu staf pengurus pondok pesantren Annuqayah yang hadir dalam acara tersebut, Sumarwi, menyampaikan kesannya.

“Saya memang selalu mengikuti diskusi semacam ini semenjak seri pertama. Sangat menarik. Acara seperti ini bisa menambah banyak wawasan yang sulit didapatkan di Indonesia,” kata Sumarwi.

Hanya saja, tambah Sumarwi, dirinya kurang maksimal mengikuti diskusi lintas-benua seri kelima ini.

“Saya hadir agak terlambat. Berhubung suara Pak Suyuthi kadang agak terputus-putus, maka saya mengikuti kurang maksimal,” ujarnya polos.

Dalam prediksi M Mushthafa, gangguan tersebut belum diketahu secara pasti.

“Saya jadi penasaran. Sudah dua kali acara seperti ini terganggu oleh koneksi yang kurang optimal. Untuk saat ini, besar kemungkinan karena jaringan internetnya terganggu. Bisa juga disebabkan oleh cuaca dingin karena hujan deras tadi,” kata M Mushthafa.

Dihubungi secara terpisah, M Mushthafa menyatakan bahwa diskusi lintas-benua tersebut bukanlah yang terakhir.

“Pasti ada seri berikutnya, tinggal menunggu waktu. Dalam waktu dekat ini, berkisar satu bulan dari sekarang, insya Allah akan ada lagi,” ujar pria yang masih lajang itu.

Selasa, Desember 27, 2011

Pers Pesantren Bergolak: Bhindhara vs Bismillah

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

Guluk-Guluk—Pers pesantren bergolak! Ya, begitulah mungkin gambaran awal mengenai kondisi pers di Pondok Pesanten Annuqayah (PPA) daerah Lubangsa saat ini.

Pergolakan tersebut disebabkan oleh terbitnya harian Bhindhara yang sarat kontroversi. Pasalnya, media yang dikelola oleh kru majalah Muara dan buletin Kompak serta berada di bahwa naungan pengurus seksi Kepustakaan, Pers, dan Penerbitan (KP2) PPA Lubangsa ini cenderung mengkritik kinerja atau kebijakan-kebijakan pengurus pesantren.

Karena merasa terusik dengan isi pemberitaan media yang terbit empat halaman dalam setiap edisi, Jumat sore (9/12) yang lalu di kantor pesantren Lubangsa, ketua pengurus mengadakan musyawarah dengan kru Majalah Muara, buletin Kompak dan pengurus KP2 selaku penanggungjawab atas penerbitan media-media PPA Lubangsa.

Bhindhara, sebagai Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari kegiatan diklat jurnalistik pada bulan November lalu, mendapat respons baik dari kami (pengurus PPA Lubangsa). Akan tetapi, setelah beberapa hari, seakan-akan media ini cenderung memojokkan kami. Mereka (santri) hanya memberi kritik tanpa memberi solusi,” papar Sabri Salim, ketua pengurus ketika ditemui di kantor pesantren pada Jumat malam (9/12).

Ia menilai bahwa harian Bhindhara yang terbit sampai edisi ke-24 itu jauh dari kode etik jurnalistik. Misalkan tidak adanya struktur dan personalia kru yang jelas dan beberapa nama penulis juga tidak jelas.

Ia mengusulkan bahwa konsep Bhindhara perlu diubah, bukan lagi terbit setiap hari, melainkan terbit setiap bulan. Di samping itu, Bhindhara tidak usah disebarkan pada santri. Cukup ditaruh di perpustakaan sebagai bahan bacaan.

Beberapa kru majalah Muara dan buletin Kompak kurang setuju. Mereka sangat menyayangkan bila konsep seperti itu dilaksanakan.

Ah Fawaid, pemimpin redaksi majalah Muara menuturkan, Bhindhara sebagai ruang aktualisasi pengembangan kreativitas menulis santri memiliki andil yang cukup besar dalam membangkitkan spirit menulis santri.

“Setiap hari banyak santri yang menyetor tulisan kepada kami untuk dimuat di Bhindhara. Jadi, kurang bijak kalau Bhindhara terbit sebulan sekali. Kita sudah memiliki Buletin Kompak yang durasi terbitannya sebulan sekali,” pungkasnya.

Hasil musyawarah tersebut memutuskan untuk sementara waktu pengurus akan memberhentikan penerbitan media tersebut selama pemberitaannya selalu menyinggung kinerja atau kebijakan pengurus pesantren.

Sementara, pada hari itu juga (9/12), terbit media lain bernama Bismillah untuk kedua kalinya. Kali pertama media itu terbit ketika harian Bhindhara edisi ke-2 beredar. Bismillah dikenal oleh santri sebagai tandingan Bhindhara. Isinya cenderung pro-pengurus. Banyak yang mengatakan bahwa yang menerbitkan media itu adalah pihak pengurus. Namun, setelah diklarifikasi, tak ada pengakuan dari pengurus.

“Pengurus tidak tahu soal itu (Bismillah). Saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan kami yang menerbitkan media itu,” jelas ketua pengurus asal Batuputih itu.  

Di terbitan Bismillah pun juga tidak tercantum struktur dan personalia pengelolanya.