Senin, Desember 20, 2010

Pengurus PPA Lubangsa Optimalkan Belajar Santri

Fandrik HS Putra, PPA Lubangsa

Guluk-Guluk—Untuk mengoptimalkan santri dalam menempuh ujian semester ganjil yang baru saja mulai dilaksanakan di sekolah formal Annuqayah, pengurus PPA Lubangsa perketat pengawasan belajar santri.

Imam Abdurrahman, pengurus seksi Pendidikan, Pengajaran dan Pengembangan Keilmuan (P2PK), malam sabtu kemarin (17/12) seusai shalat Isya’ berjama’ah di Masjid Jamik Annuqayah menyampaikan beberapa poin penting terkait hal tersebut kepada santri Lubangsa.

Di antara upaya yang dilakukan adalah menonaktifkan bunyi-bunyian (musik), kegiatan rutin organisasi daerah, dan jam olahraga selama ujian semester ganjil berlangsung. Madrasah Diniyah yang biasanya dilaksanakan setelah shalat jama’ah Isya’ juga diliburkan.

Kegiatan yang masih tetap diaktifkan adalah pengajian al-Qur’an usai jama’ah shalat Maghrib dan pengajian kitab turats usai jama’ah shalat Subuh dan shalat ‘Ashar. “Tahun ini kedua kegiatan itu tidak kami nonaktifkan. Tahun kemarin kami telah mencoba menonaktifkan keduanya, tetapi santri kurang mengoptimalkan kesempatan itu untuk belajar. Misal, usai shalat Subuh santri banyak yang tidur, tidak belajar,” ucap Imam Abdurrahman.

Selain itu, pengurus P2PK juga telah membuat jadwal piket pengawasan santri setiap jam belajar berlangsung. Masing-masing blok ada 5 pengurus yang menjaga. Pengawasan itu diperketat karena dibandingkan pada tahun kemarin prestasi santri Lubangsa mengalami penurunan.

“Ketika saya masih siswa, Lubangsa menjadi yang terbaik di antara daerah yang lain. Banyak yang berprestasi, seperti juara kelas. Tapi saat ini prestasinya sudah kalah dengan santri Latee,” kata pengurus yang kini sudah semester VII itu.

Rabu, Desember 15, 2010

Markaz Bahasa Arab Annuqayah Adakan Pelatihan Mengelola Media Massa

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Ahad siang (12/12), pengurus Markaz Bahasa Arab Annuqayah (selanjutnya disebut Markaz) menggelar pelatihan mengelola media massa yang bertempat di lantai II kantor Sekretariat Bersama PP Annuqayah. Fasilitator pelatihan tersebut ialah ketua Lembaga Pers Mahasiswa Instika.

Pelatihan itu merupakan bagian dari program kerja Departemen Penerbitan dan Pers (Qismu Isdar wa Asshohafi) yang dikomandani Ahmad Nafi’uddin. Periode kepengurusan sebelumnya, pelatihan itu diprogramkan tapi tidak terlaksana karena ada kendala.

Menurut mahasiswa Instika fakultas Syari’ah jurusan Mu’amalah semester lima itu, pelatihan tersebut bertujuan mengenalkan pengelolaan media massa yang baik kepada pengurus Markaz. Selama ini, Markaz telah menerbitkan media massa berupa buletin. Tapi, lanjut Nafi’uddin, hasilnya banyak dikritik karena dipandang tidak selaras dengan aturan dalam jurnalistik.

“Markaz memiliki buletin bernama Ad-Dirasah. Buletin ini telah terbit empat kali. Hanya saja, penanganannya belum maksimal karena keterbatasan pengalaman redaksi dalam bidang penerbitan,” ujarnya kepada fasilitator sebelum pelatihan diakhiri.

Dalam kesempatan itu, struktur keredaksian dirampungkan. Secara aklamasi, pemimpin redaksi dipercayakan kepada Nafi’uddin.

Malam harinya, redaksi langsung mengadakan musyawarah persiapan penerbitan. Tema yang disetujui sementara ialah kebebasan berpikir (hurriyyatul afkar). Pemastian tema akan ditindaklanjuti pada Senin malam (13/12).

“Tema tersebut belum disetujui secara penuh karena ada beberapa redaksi yang berhalangan hadir ketika rapat penentuan tema. Besok malam (Senin malam, red) insya Allah akan siap dengan out line-nya,” paparnya saat ditemui di kantor Markaz.

Selasa, Desember 14, 2010

Nirmala Buka Pekan Kepramukaan dan Monitoring

Sumarwi, PPA Nirmala

GULUK-GULUK—Ahad (12/12) sore kemarin, Pengurus Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Nirmala membuka kegiatan rutin tengah tahun yaitu Pekan Kepramukaan dan Monitoring yang biasa dilaksanakan menjelang waktu ujian semester ganjil di sekolah formal. Pembukaan kegiatan ini dilaksanakan di Mushalla Lantai II PP Annuqayah Daerah Nirmala dan diikuti oleh seluruh santri.

Semula pembukaan akan dilangsungkan di halaman MTs 1 Annuqayah Putra dengan format pembukaan berbentuk upacara tapi kemudian dialihkan ke Mushalla Lantai II Nirmala. Pemindahan tempat pembukaan tersebut bukan tanpa alasan melainkan karena terkendala hujan.

A. Wahid, ketua panitia kegiatan ini, mengatakan bahwa PP Annuqayah Nirmala mempunyai tiga kegiatan pekan yakni Pekan Orientasi, Pekan Kepramukaan dan Monitoring, dan Pekan Evaluasi dan Haflah Akhir Sanah.

“Kegiatan Pekan Kepramukaan dan Monitoring ini dilaksanakan agar para santri sekalian lebih aktif dan efektif dalam belajar untuk menghadapi ujian semester pertama,” kata pengurus asal Desa Bakiong ini.

“Oleh karena itu saya dan teman-teman panitia berharap agar para santri berpartisipasi aktif dalam mengikuti kegiatan ini,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus PP Annuqayah Nirmala, Lutfi Imam, S.Pd.I, mengungkapkan bahwa kegiatan pekan monitoring ini akan lebih ditekankan pada proses belajar. Diharapkan santri bisa belajar dengan tenang dan nyaman karena beberapa kegiatan akan diliburkan, seperti kegiatan Madrasah Diniyah.

Sebelum mengakhiri sambutannya Lutfi Imam membuka kegiatan ini dengan pembacaan Al-Fatihah dan disambut dengan meriah oleh para santri.

Kamis, Desember 09, 2010

Dari Sekolah Tinggi ke Institut

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Pada hari Selasa, 7 Desember yang lalu, bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1432 H, Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) resmi beralih status menjadi Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Peresmian tersebut digelar di Aula II Instika.

Acara ini dihadiri oleh para pimpinan Perguruan Tinggi se-Sumenep, kepala sekolah SLTA se-Sumenep, beberapa kepala sekolah satuan pendidikan yang berada di bawah naungan PP Annuqayah, masyayikh PP Annuqayah, dan seluruh ketua Keluarga Besar Mahasiswa Instika.

Sekretaris Kopertais wilayah IV Surabaya, Hj Zamratul Mukaffa’, M.Ag menjadi tamu istimewa dalam acara itu. Beliaulah yang meresmikan INSTIKA mewakili koordinator kopertais wilayah IV Surabaya, Prof Dr Nur Syam, M.Si yang berhalangan hadir.

Surat Keputusan dari Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia diperoleh oleh pihak Instika tertanggal 6 Oktober 2010. Karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal, peresmiannya baru dilaksanakan pada awal bulan Muharram ini.

Rektor Instika, KH. Abbadi Ishomuddin, M.A. menegaskan bahwa perubahan status dari sekolah tinggi ke institut bukanlah sekadar ikut-ikutan. Melainkan, itu dimaksudkan untuk mendorong perkembangan keilmuan di lingkungan PP Annuqayah secara umum dan di Instika pada khususnya.

“Kami sangat optimis mampu mengemban amanah ini. Di Kampus Putih ini sudah terdapat tiga doktor yang siap mengabdi di Instika. Apalagi, kami pikir perubahan status dari sekolah tinggi ke institut selaras dengan iklim keilmuan di lingkungan PP Annuqayah,” ujar rektor Instika itu saat sambutan.

Iklim keilmuan yang dimaksud, lanjutnya, berdasarkan pada sejarah nama PP Annuqayah yang diambil dari kitab Annuqayah karangan Syaikh As-Suyuthi. Kitab tersebut memuat dasar disiplin ilmu yang bisa memperluas wawasan siapa pun yang mengkajinya. Inilah yang menjadi landasan Instika selama ini sehingga tidak memandang ilmu secara dikotomis (terpetak-petak).

“Makanya kami mencanangkan akan membuka jurusan matematika dan bahasa Inggris. Hanya saja usaha tersebut kandas di tengah jalan karena tidak diterima oleh orang-orang di Jakarta. Mereka beralasan, dua jurusan itu atau yang sepadan dengannya adalah wewenang Mendiknas,” paparnya detail.

Pada kesempatan itu juga, Hj Zamratul Mukaffa’, M.Ag menjelaskan bahwa langkah yang ditempuh pihak Instika untuk mendapatkan SK peralihan status dari ST ke Institut hanyalah pemanasan saja. Selanjutnya, pihak Instika dituntut untuk bekerja ekstra mempertahankan SK tersebut.

SK itu diiringi dengan beberapa syarat yang mesti dipenuhi oleh pihak Instika agar proses peralihan ke institut tidak sia-sia. Pasalnya, dalam waktu dua tahun ke depan, pihak Instika harus melakukan beberapa langkah sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Syarat yang paling utama menurut Hj Zamratul Mukaffa’, M.Ag ialah mengembangkan program studi (prodi). Kalau sudah berubah status, sekurang-kurangnya terdapat enam prodi dan tiap prodi minimal ada dua jurusan. Target maksimal dari proses tersebut ialah dua tahun.

“Jika dalam waktu dua tahun prodi tersebut tidak terpenuhi, SK peralihan status dari sekolah tinggi ke institut terpaksa dicabut,” tegas alumnus PP Jombang itu sambil membetulkan kerudungnya.

Selain itu, tambahnya, Instika juga harus memiliki minimal enam dosen tetap yang memiliki kualifikasi tertentu. Adanya dosen ini menjadi prioritas kedua setelah pengembangan prodi.

“Keberadaan dosen ini penting diperhatikan. Meskipun tidak ada gedung, masih bisa disiasati dengan belajar di bawah pohon,” katanya tersenyum.

Tidak hanya itu, delapan standar pendidikan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 2005, juga wajib dipenuhi oleh pihak Instika. Standar pendidikan tersebut meliputi standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar sarana dan prasarana, standar sistem evalusasi, standar penilaian, standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, dan standar proses. Semuanya mesti tercover dalam manual mutu yang dibuat oleh pihak Instika.

Dari data yang diberikan pihak Instika, terdapat enam prodi yang sudah dipastikan bakal terlaksana tahun depan. Yakni, prodi bahasa Arab (fakultas tarbiyah), ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, manajemen perbankan syari’ah (fakultas syari’ah), prodi tasawuf dan psikoterapi (fakultas ushuluddin).

Saat ini masih terdapat tiga fakultas yang tiap-tiap fakultas terdiri dari satu jurusan. Yaitu, jurusan Pendidikan Agama Islam (Fakultas Tarbiyah), Tafsir Hadis (Fakultas Ushuluddin), dan Mu’amalat (Fakultas Syari’ah).

Acara peresmian ini ditutup dengan penyerahan cendera mata dari Rektor Instika kepada Hj Zamratul Mukaffa’, M.Ag sebagai perwakilan dari kopertais dan Drs KH A Warits Ilyas mewakili masyaikh PP Annuqayah.

Selasa, Desember 07, 2010

Genjot Potensi Santri dalam Bidang Kepustakaan


Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Selama dua hari, perpustakaan PP Annuqayah Latee menggelar diklat kepustakaan yang bertempat di Auditorium Lantai II MI Annuqayah. Acara yang dilaksanakan pada 2-3 Deseber tersebut diikuti oleh 27 santri dan 21 kru buletin Hijrah.

Menurut ketua perpustakaan, M Mahrus Bushthami, acara itu dilaksanakan dalam rangka menggenjot potensi para santri dalam bidang kepustakaan.

“Ini penting diselenggarakan mengingat peran perpustakaan pesantren selama ini mampu memberikan kontribusi tinggi dalam pengembangan keilmuan santri,” ujarnya saat memberikan sambutan ketika pembukaan, Kamis siang (2/12).

Dari tahun ke tahun, minat baca santri PP Annuqayah Latee cukup tinggi. Mereka berdesakan menekuni lembaran-lembaran kertas tiap kali jam buka; menelusuri lorong keilmuan tak bertepi.

Dari itulah M Mahrus Bushthami beserta pustakawan lainnya sadar betapa pentingnya membekali keilmuan para santri dalam hal kepustakaan.

“Salah satu tujuan dari pelaksanaan diklat kepustakaan ini ialah menjaring kader Pustakawan baru yang nantinya dimagangkan di perpustakaan yang kami kelola,” kata ketua panitia, M Farhan QR.

Proses dari magang itu muaranya akan diseleksi untuk ditetapkan sebagai pustakawan di awal pergantian kepengurusan nanti.

Terdapat empat materi yang disajikan dalam acara tersebut: manajemen kepustakaan, strategi membangun relasi dengan penerbit, strategi kaderisasi, dan teknik klasifikasi, inventarisasi, dan katalogisasi.

Manajemen kepustakaan difasilitatori oleh kepala perpustakaan SMA Annuqayah, Muhammad Lutfi. Sedangkan materi strategi membangun relasi dengan penerbit diisi oleh Administrator Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) PP Annuqayah, Ahmad Sunandar. Dan penyaji materi strategi kaderisasi ialah ketua LPM INSTIKA. Adapun teknik klasifikasi, inventarisasi, dan katalogisasi difasilitatori oleh kepala perpustakaan BPM, Abdul Khaliq.

Dari awal hingga acara berakhir, peserta tampak antusias mengikuti materi yang diberikan oleh para penyaji. Alhasil, acara yang diparipurnai pada Jumat sore itu bejalan sesuai dengan rencana panitia.

Senin, Desember 06, 2010

Dialog Bahasa Arab Bersama Syaikh dari Mesir


Ach. Fannani Fudlaly R., Sekretariat PPA

Guluk-Guluk—Dalam rangka meningkatkan minat-bakat dan melahirkan santri yang ahli berbahasa Arab, Markaz al-Lughah al-Arabiyah PP. Annuqayah Ahad kemarin (05/11) menggelar dialog terbuka bersama Syaikh Shalah Muhammad Abdul Aziz Wahbah dari Mesir.

Agenda utama kegiatan ini adalah Pelantikan Pengurus Markaz al-Lughah al-Arabiyah Masa Bakti 1431/1432 yang kemudian diisi dengan dialog dengan tema “Al-Lughah al-Arabiyah Dauruha fi Takwiri Syakhshiatin Mutafaqqihina fi al-Din fi ‘Ashri al-Aulamah (Peran Bahasa Arab dalam Mewujudkan Insan Mutafaqqih fi al-Din di Era Globalisasi)”.

Acara yang diikuti oleh 1074 santri putra-putri se-Annuqayah bertempat di Aula As-Syarqawi INSTIK Annuqayah itu adalah langkah awal pengurus Markaz al-Lughah al-Arabiyah untuk mengembangkan potensi santri di bidang Bahasa Arab.

“Acara ini adalah salah satu upaya awal kami dalam memperluas wawasan kebahasaan santri Annuqayah, dari itu kami menghadirkan langsung Syaikh Abdul Aziz Wahbah dari Mesir, yang sudah 2 bulan menjadi guru bantu di PP. Al-Amien Prenduan,” ungkap Ibnu Hajar, Ketua Panitia Acara tersebut.

Di sela-sela dialognya, Syaikh Abdul Aziz Wahbah sempat mengutarakan tentang ketertarikannya dengan Indonesia. Dia juga mengatakan takjub dengan Islam di Indonesia.

“Sewaktu di kuliah di Fakultas Bahasa Al-Azhar, Mesir. Ada pelajaran tentang Tarikh Islamiyah (sejarah Islam), dan salah satu yang dibahas adalah Islam di Indonesia. Sejak itulah saya tertarik datang ke Indonesia. Dan alhamdulillah, saya diberi kesempatan oleh Allah untuk berada di Indonesia,” ungkapnya.

Dari acara ini, pengurus Markaz berharap para santri bisa mempunyai kemampuan berbahasa Arab, “Harapan saya cuma satu, yaitu bagaimana santri yang ikut bisa berpraktik sendiri, apalagi mereka sudah mengetahui langsung bagaimana orang Mesir berbahasa Arab,” papar Ketua Pengurus Markaz al-Lughah al-Arabiyah.

Sabtu, Desember 04, 2010

Tanamkan Cinta di Tahun Baru Hijriyah

Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Pergantian tahun baru Hijriyah sudah di ambang mata. Selasa mendatang (7/12), kita bakal dihadapkan pada perubahan kalender umat Islam: 1432 H. Tentu perubahan ini akan terkesan biasa-biasa saja dan kurang bermakna bila umat Islam kurang menghayatinya dengan cinta.

Demikian dawuh pengasuh PP Annuqayah, KH Ahmad Basyir AS saat memberikan tausyiyah kepada para santrinya usai salat Magrib di masjid pesantren, Kamis malam (2/12).

Beliau memaparkan, cinta yang dimaksud ialah yang mengarah pada tiga hal: cinta kepada Allah (hablum minallah), cinta kepada manusia (hablum minannas), dan cinta kepada alam (hablum minal ‘alam).

“Ketiganya merupakan sublimasi (saripati) dari nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja. Dan cinta kepada Allah haruslah diutamakan dengan mengamalkan segala perintahNya serta menjauhi laranganNya,” ujar kiai yang sudah berumur 80 tahun itu.

Sedangkan cinta kepada manusia, tambahnya, minimal ditampakkan dengan menghormati dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Beliau sangat menyayangkan menyaksikan fenomena kekinian yang tak jarang manusia mengganggu ketenangan manusia lainnya.

“Kita bisa lihat sendiri betapa menjamurnya perilaku memiriskan yang ditunjukkan orang-orang tak bertanggung jawab di negeri ini, seperti budaya korupsi yang imbasnya menyengsarakan bangsa,” keluhnya.

Oleh karena itu, beliau sangat mengharap kepada para santrinya agar hati-hati dalam menapaki kehidupan ini. Salah satu bentuk kehati-hatian tersebut dapat ditunjukkan dengan upaya menanamkan rasa peduli terhadap sesama.

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa hal itu masih belum cukup. Cinta kepada Allah dan sesama manusia harus diimbangi dengan cinta kepada alam. Beliau sempat menyinggung adanya pemanasan global yang pangkal utamanya ialah kurang pedulinya manusia terhadap alam (lingkungan).

“Ketiga cinta yang saya paparkan tadi tak ubahnya pelangi yang diharapkan mewarnai berbagai ruang kehidupan,” pungkasnya.

Jumat, Desember 03, 2010

Dari Nirmala hingga Columbia

Bernando J. Sujibto, alumnus PP Annuqayah daerah Nirmala (1998-2005), kini mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Suasana pagi di hari pertama, dari ketinggian lantai 9 kamar Cliff Apartment, salah satu apartemen terkenal untuk mahasiswa asing (international students) di lingkungan University of South Carolina, saya menabur pandang ke hamparan gedung-gedung universitas yang megah dan rapih ditumbuhi pohon-pohon oak, magnolia, crepe myrtle dan dogwood. Maklum jika hari pertama ini serasa dalam mimpi bagi saya sebagai orang kampung yang bahkan tak kenal listrik selama masa kecilnya. Saya membatin, bahwa sebentar lagi saya akan segera merasakan iklim intelektual dan akademik dari sebuah perguruan tinggi negeri yang terkenal di negara bagian selatan (southern) Amerika Serikat, South Carolina. Saya akan menghapuskan semua rasa penasaran tentang Amerika dan orang-orangnya yang terlanjur menggaung nyaring di tanah airku.

Saya sekarang sudah benar-benar menginjakkan kaki di sebuah negeri adidaya yang selalu mengusik sejak saya masih di bangku MTs (sederajat SMP), terutama ketika saya membaca karya sastra orang-orang besar seperti novel Uncle Tom's Cabin karya masterpiece Harriet Beecher Stowe, buku-buku petualangan Mark Twain, hingga cerpen-cerpen terjemahan karya Ernest Hemingway. Program beasiswa IELSP (Indonesian English Language Study Program) dari IIEF (The Indonesian International Education Foundation) untuk belajar bahasa dan budaya (culture programs) selama dua bulan—Juni sampai Juli 2010—ternyata telah mengabulkan mimpi saya ke Amerika.

Pagi menjelang musim panas, tapi sisa-sisa musim semi awal bulan Juni 2010 masih sedikit terasa yang bisa disaksikan melalui rekahan bunga-bunga dogwood yang berjejer sepanjang jalan dan bunga-bunga semak myrtle yang menghampar manis dalam pandangan mata. Kombinasi panas yang mulai menyengat dan indahnya warna bunga membuat saya betah belajar dan bergaul dengan teman-teman internasional di sini. Dari balik kaca jendela di kamar 313, saya menatap rinai cahaya matahari yang merembes ke dinding ungu dari julur daun-daun pohon oak yang tumbuh subur di belakang apartemen. Ingatan saya mengulur mundur jauh ke belakang, di saat-saat mimpi ini baru diucapkan!

***

Pada awalnya adalah mimpi dan imajinasi. Itulah yang saya alami ketika tempo dulu saya tinggal dan belajar di sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Annuqayah daerah Nirmala, salah satu pesantren terbesar di Sumenep, Madura. Di lembaga ini saya belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, sekaligus bermimpi banyak tentang masa depan. Mimpi-mimpi itu lahir dari kamar pondokan yang kumuh dan berantakan. Kamar pondok berukuran sekitar 3x2,5 meter terasa sangat sesak. Kamar kecil dan sempit itu harus menampung 4-6 orang santri. Namun meski begitu, saya dan tentu juga teman-teman, sangat menikmati suasana seperti ini—sebagai jalan proses pematangan menuju masa depan yang lebih baik.

Saya belajar di pondok pesantren bersama seorang kakak bernama Hermanto Junaidi, yang telah menjadi sosok inspirator bagi saya. Dia hanya menemani proses belajar saya di pondok selama 2 tahun, dan selebihnya dia harus pulang ke rumah dan bolak-balik rumah sakit karena menderita sakit komplikasi. Akhirnya dia berpulang dengan tenang lebih awal di pertengahan bulan Agustus tahun 2002 setelah didera sakit lama. Sewaktu bersama di pondok, ada satu kalimat yang tidak mungkin saya lupakan dari seorang kakak ini.

“Suatu kelak nanti, namumu juga akan termuat di sini. Dan semua orang akan membaca karyamu.” Dia menunjukkan sebuah puisi di majalah Sahabat Pena, majalah korespondensi milik PT. Pos Indonesia yang beralamat di Bandung waktu itu. Sehari-hari sebagai santri baru saya mengikuti kebiasaan seorang kakak: menulis catatan harian, puisi, dan cerita pendek, di sela-sela mengaji kitab kuning.

Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin dengan pendapatan tidak menentu dari ladang sawah petani desa, saya harus “mengencangkan tali sarung” demi mengatur budget yang sangat pas-pasan dan bahkan kurang. Uang Rp. 30.000-40.000 dan segantang beras untuk satu bulan harus saya atur sedemikian hati-hati agar bisa mencukupi dan menyisihkan sebagian untuk menabung. Tak ada kata selain menabung walaupun sedikit untuk membeli buku pelajaran dan menambah koleksi bahan pustaka kesukaan. Saya tidak pernah membayangkan bagaimana bisa merampungkan pendidikan dalam kondisi seperti itu. Antara doa dan ikhtiar harus dipasangkan secara bersamaan dalam hidup seperti itu. Dan semangat ini pula yang telah melecutkan saya menerobos tajam demi masa depan!

Di tengah kondisi seperti itu, kesukaan saya membaca semakin tinggi dan menggila. Perpustakaan daerah hingga perpustakaan pusat di Pesantren Annuqayah menjadi tempat kedua setelah kamar pondok. Koleksi pustaka berupa cerita pendek klasik dan petualangan dari seluruh dunia, ditambah dengan bendelan majalah DeTik, Tempo, dan Forum tahun 70-80an menjadi bacaan favorit saya. Bahan pustaka yang tidak ada di perpustakaan, terutama majalah-majalah terbaru, harus saya beli sendiri dari tabungan. Majalah Sahabat Pena, Annida, dan Majalah Sastra Horison adalah kesukaan saya. Kegilaan membaca karya-karya sastra terus meningkat hingga memaksa saya melakukan segala cara demi mendapatkan buku-buku sastra dan majalah yang tidak tersedia di perpustakaan pesantren.

Demi selembar buku dan majalah, saya mulai keras memutar otak. Waktu itu baru kelas 2 MTs, saya menemui seorang penjual nasi bungkus keliling yang datang ke pondok setiap pagi. Saya menawarkan jasa kepada wanita paruh baya itu agar saya menjualkan nasi bungkusnya ke semua santri. Alhamdulilah, saya diterima menjadi pegawai penjual nasi bungkus dengan kontrak: saya mendapatkan Rp. 100 per bungkus dan mendapatkan bonos satu bungkus nasi gratis setiap hari. Lumayan, setiap hari saya bisa dapat nasi gratis dan menabung uang dari Rp. 1500 hingga 2000. Dari hasil ini, saya pun bisa menabung untuk membeli buku dan majalah kesukaan. Satu per satu buku-buku dan majalah malai menghiasi rak lemari buku. Saya sangat bangga dengan proses ini!

Dari hasil itu saya bisa membeli sebagian buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Seno Gumira Adjidarma, Najib Mahfouz, Anton Chekhov, O. Henry dan Ernest Hemingway. Majalah Sahabat Pena dan Horison pun menjadi menjadi bacaan wajib setiap bulannya.

Di akhir kelar 3 MTs, awal tahun 2001, ada sebuah pengalaman yang terus menusuk dalam ingatan hingga saat ini. Pagi itu hari Kamis saat Ibu datang membawa kiriman beras untuk keperluan saya semasak sehari-hari. Saya melihat Ibu datang dengan perbedaan yang sangat mencolok; sangat menggugah nurani saya sebagai anaknya. Kali ini Ibu membawa kotak kayu berukuran sekitar 50 cm persegi. Ibu memanggulnya sendiri di atas kepalanya dalam kondisi sedang hamil tua, usia sekitar 7 bulan. Deg! Jantung saya seperti terdiam derdetak melihat Ibu datang dari arah barat menuju kamar pondok. Mukanya yang mulai berkurut dalam usia 47, terlihat sangat capai dengan balutan keringat yang deras merembes di mukanya.

Saya langsung sungkem di pangkuannya dengan derai air mata yang tak bisa tertahan lagi. Saya menemukan kehangatan dan cinta terdalam seorang Ibu kepada anaknya, sebuah ketulusan yang tak ternilai demi kesuksesan seorang anak yang tengah berada dalam jenjang pendidikan. Demi itu semua, seorang Ibu mengorbankan semuanya untuk sang anak. Di balik keikhlasan dan kebesaran hati seoarang Ibu, saya semakin mengokohkan keyakinan tentang mimpi-mimpi masa depan yang saya pegang erat demi kesuksesan, kebanggaan dan kebahagiaan Ibu di hari nanti. Saya semakin dewasa dan siap menata hidup meski di tengah keterbatasan dan kesulitan demi kesulitan.

“Ini kotak kayu untuk menyimpan beras dan lauk, biar tidak terkena hujan di dapur,” titah Ibu dengan muka yang masih terlihat kecapaian. “Ini Ayahmu yang bikin semalaman,” tambah Ibu meski tanpa diminta. Ibu membenarkan letak kotak balok kayu seberat sekitar 10 kg itu, sembari mengeluarkan segantang beras dan nasi telor dari dalamnya.

Mata saya bercaka-kaca terbayang sebuah kampung kecil di rumah, juga sosok seorang Ayah tiri yang seperti Ayah saya sendiri. Ayah tiri saya benar-benar mencurahkan kasih sayang seperti Ayah asli yang sudah meninggal waktu saya berusia 8 tahun. Tapi mereka semua sekarang sudah berpulang ke haribaan Ilahi. Dua sosok Ayah yang berjiwa besar dalam hati anak-anaknya.

Saya tidak bisa bergerak banyak selain menatap mukanya dengan sangat dalam karena Ibu begitu paham ihwal kondisi dapur pondok meski belum pernah melihatnya. Ruangan dapur di pondok saya seadanya. Hanya dipagari setengah batu bata dan setengah atasnya dianggitkan anyaman bambu yang jika ada air hujan sudah pasti merembes ke lantai dapur yang beralas tanah itu. Seperti biasa, saya hanya berdiam diri sembari mendengarkan cerita-cerita tentang suasana kampung teranyar dan petuah-petuah yang keluar dari seorang Ibu. Di saat itu pula, spirit baru terus tumbuh menggelora di dada.

Proses belajar di pondok pun terus berjalan semakin keras bagi saya. Saya pegang kuat-kuat sebuah prinsip bahwa tak ada komproni demi perubahan masa depan saya sendiri. Hampir tak ada waktu tanpa buku, sembari diselengi diskusi kecil yang menjadi kesukaan saya. Di tengah proses seperti itu, aktivitas membaca, diskusi, dan menulis telah menjadi lingkaran hobby yang paling menyenangkan. Tak ayal jika saya kemudian terpanggil pula untuk menulis baik berupa puisi, cerpen, dan esai. Tahun 2001 adalah fase pertama tulisan saya diterima majalah Sastra Horison, dan selanjutnya majalah-majalah seperti Annida, Sahabat Pena, dan Kuntum menyambut baik tulisan-tulisan saya. Dalam kondisi seperti ini, saya semakin yakin bahwa hidup harus diperjuangkan demi kemenangan!

Tak terasa, seperti terbangun dari tidur panjang, waktu enam tahun sudah dilalui dengan kenangan manis dan pahit; sayup dan riang. Saya sudah berada di penghujung waktu di Pondok Pesantren Annuqayah.

“Ibu, setelah dari Nirmala, saya ingin melanjutkan kuliah.”

“Ya terserah kamu, Nak. Tapi Ibu tidak punya apa-apa lagi untuk membantu biayamu.”

“Tidak apa, Ibu. Yang penting diizinin melanjutkan kuliah. Soal biaya biar saya sendiri yang mencari.”

Ibu hanya mengangguk, Dari bola matanya memancarkan seribu keyakinan sembari mengusap ubun-ubun sang anak. Percapakan ini terjadi awal tahun 2004 di sebuah dapur sempit di rumah, saat saya sudah di kelas akhir Madrasah Aliyah. Sambil mengangkat singkong bakar yang sudah matang, sebagai santapan kesukaan kami, Ibu seperti biasa bercerita hal-hal ringan ihwal cocok tanam dan sawah. Sambal petis dan cabe di atas ulekan cobek membuat suasana begitu akrab. Dan semangat pun terus berkobar.

Saya kembali ke pondok pesantren dengan niat yang sudah sangat mantap. Keyakinan kepada masa depan pun semakin terkonsep dengan rapih. Seperti biasa, teman-teman santri yang sudah menjelang kelas akhir di Madrasah Aliyah akan saling bertanya tentang masa petualangan selanjutnya. Melanjutkan kemana setelah ini? Pertanyaan yang pasti terlempar dari satu teman ke teman lainnya. Alasan mereka pun beragam: ada yang langsung pulang, bertani lalu menikah; ada pula yang merantau jauh untuk kerja di kota; ada yang tetap mengabdi di pondok pesantren memperdalam ilmu agama; dan ada pula yang nekat melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar Madura. Saya termasuk yang terakhir: melanjutkan kuliah dengan tekat dan nekat!

Dalam setiap kesempatan diskusi bersama teman-teman santri, saya kerap mengatakan bahwa pertarungan hidup yang sebenarnya itu bukanlah di sini (di pesantren), tapi ada di luar sana, berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan kasar, hidup dengan orientasi materi an sich, kompetisi tiada henti, dan bertahan di tengah kondisi seperti itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya. Dengan keyakinan itu pula, saya tancapkan mimpi besar dalam hidup saya, bahwa saya akan memulai petualangan yang sebenarnya, di luar sana, hingga pun ke luar negeri sana. Dan, saya yakin bisa! Saya pun melanjutkan petualangan berikutnya…

“Saya ingin merasakan pengalaman belajar di luar negeri!”

Inilah gumam terakhir sebelum akhirnya saya melangkahkan kaki dari penjara suci Annuqayah Daerah Nirmala. Saya cukup berkeyakinan bahwa bekal bahasa Inggris yang saya pelajari langsung dari seorang guru volunteer dari Australia, Margaret Rolling dan John Rolling, yang datang ke pondok pesantren akan memudahkan saya dalam proses pembelajaran demi petualangan berikutnya. Alhamdulilah, saya diberikan kesempatan menemani banyak waktu mereka berdua selama masih di Annuqayah. Bekal ini pun semakin memantapkan saya menatap masa depan, melangkah menuju petualangan antah berantah.

Yogyakarta menjadi kota dengan kekuatan misteri tersendiri yang telah menyedot arah petualangan saya berikutnya. Kota gudeg itu memang sudah merangsang pikiran sejak saya suka dunia membaca dan menulis di pondok pesantren. Bagi penggila buku, sungguh pembohong jika tidak kenal nama Yogyakarta sebagai rumah penerbit yang seabreg itu! Kota gudeg ini seperti sudah terbayang di depan mata sebagai arena perualangan yang menakjubkan, melanjutkan proses belajar, memperkaya pengalaman, dan manata masa depan hidup yang lebih bermartabat. Jika Anda suka dunia intelektual, datanglah ke Yogya. Dan sakarang saya merasakan itu.

Proses pun dimulai di Yogyakarta sejak awal tahun 2006. Proses hidup yang tak kalah kerasnya, dan bahkan lebih keras dari yang saya bayangkan. Hingga pun tidak makan berhari-hari, jadi pekerja serabutan, penerjemah amatiran, jualan buku, jualan koran, dan jadi pengamen di alun-alun adalah serangkaian realitas hidup yang keras itu. Saya melaluinya dengan tegar, hingga akhirnya bisa kuliah, dan diberikan kesempatan mendapatkan beasiswa belajar bahasa dan budaya ke Amerika. Kesempatan belajar ke negeri Paman Sam menjadi pijakan pertama menatap dunia masa depan yang sungguh beragam dan menakjubkan itu; masa depan seorang anak desa miskin yang kini berada di tengah pusaran peradaban dunia.

***
Ya, ternyata saya bisa menggapai mimpi itu; mimpi yang terasa jauh dan sangat sulit terwujud bagi orang tidak mampu seperti saya; mimpi berpetualang ke antah berantah yang sudah saya lalui hingga ke negara bagian South Carolina, Amerika. Tapi benar, nothing is impossible! Semua akan menjadi mungkin ketika kita meyakininya dan melakukannya dengan tekun, doa, ikhtiar, dan kesabaran yang mendalam. Setelah itu, yakinlah bahwa Allah yang akan menentukan arah hidup kita sesuai dengan ridhaNya.

Sebelum matahari pagi musim panas di Columbia beranjak meninggi, dengan tatapan mata yang terus menabur pandang ke pohon-pohon oak dan crepe myrtle yang tumbuh subur di belakang apartemen, saya terngiang sebuah buku penting yang menjadi tongggak estafet motivasi berjudul Zero to Hero karya Solihin Abu Izzudin. Buku ini ibarat kamus hidup yang terus membangkitkan saya sejak saya membacanya di Yogyakarta pada akhir tahun 2006. Buku ini pula yang telah meyakinkan saya bahwa seorang hero atau somebody pada awalnya adalah zero dan nobody. Ya, buku ini benar-benar menjadi buku hidup dalam diri saya.

Yogyakarta, 02 Desember 2010

Tulisan ini semula dipublikasikan di sini. Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010.

Rabu, Desember 01, 2010

Pustakawan Latee Persiapkan Diklat Kepustakaan

Hairul Anam al-Yumna, PPA Latee

Guluk-Guluk—Jumat malam yang lalu (26/11) pustakawan Latee mengadakan rapat persiapan diklat kepustakaan di mushalla pesantren. Hadir pada kesempatan tersebut koordinator departemen publikasi dan organisasi PPA Latee dan lima kader perpustakaan yang magang di buletin Hijrah.

Rapat dipimpin langsung oleh ketua panitia yang dipilih beberapa hari sebelumnya, Moh. Farhan QR. Dia memberikan gambaran bagaimana format kegiatan yang pesertanya dibatasi 30 orang tersebut.

Menurutnya, diklat yang disepakati pelaksanaannya selama dua hari itu (2-3/12) bakal dibuka dengan bedah buletin Hijrah edisi 26 yang terbit bulan November ini.

“Baru setelah itu kita masuk pada sesi pelatihan,” katanya.

Pemimpin redaksi buletin Hijrah, Romaiki Hafni menyetujui ide tersebut. Begitu pula dengan yang lainnya.

“Dengan begitu, kru Hijrah tidak perlu memikirkan kapan waktu pelaksanaan bedah buletin. Kegiatan ini ibarat naik kuda sambil pakai payung, kita akan untung dua kali sekaligus,” ujarnya sambil tertawa.

Pembicaraan selanjutnya difokuskan pada kalender kerja dan perincian kebutuhan. Dari upaya itu diketahui bahwa dana yang dibutuhkan dalam kegiatan ini berjumlah Rp.513.000,-.

“Semoga saja ketua pengurus bisa memaklumi kebutuhan diklat ini. Sebab, suntikan dana memang murni dari pesantren. Kita tidak bisa mengajukan proposal bantuan dana ke luar karena pengasuh sangat tidak mengizinkannya,” harap sekretaris Diklat, Yusnizar Islami.

“Kita tidak usah khawatir terkait persoalan dana. Terpenting ialah rincian kebutuhannya serta orientasi dari acara ini jelas. Itulah tugas kita saat ini,” tegas ketua perpustakaan Latee, M. Mahrus Busthami.

Kegiatan ini diagendakan akan dibuka pukul 13.00 WIB pada hari Kamis mendatang (2/12). Materinya meliputi manajemen kepustakaan, strategi kaderisasi, langkah-langkah inventarisasi dan klasifikasi, dan strategi membangun relasi dengan penerbit.