Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee
Guluk-Guluk—Dari waktu ke waktu, geliat santri
belajar sastra terbilang tinggi. Hanya saja mereka belum terwadahi secara
maksimal. Belajar sastra tanpa gesekan pemikiran dari orang lain tentu kurang
baik. Dan hal tersebut cukup terlihat di Pondok Pesantren Annuqayah,
Guluk-Guluk, Sumenep. Tak sedikit santri di Annuqayah menyukai sastra, tetapi
rata-rata dari mereka masih belum mampu menyatukan sastra ke dalam
dirinya secara utuh.
Kurang lebih, begitulah intisari pernyataan
ketua Atap Bahasa Sastra (Abas), Moh Mahfud, saat diwawancarai di Perpustakaan
Annuqayah Latee Sabtu (31/12) sore tentang latar belakang pendirian Abas.
Tujuan dari didirikannya Abas ialah untuk
menaungi santri yang suka dan ingin mendalami sastra secara lebih serius.
Inilah yang menjadi alasan Mahfud dan kawan-kawannya menggunakan istilah “atap”
dalam pemberian nama pada organisasinya tersebut.
“Berawal dari desakan santri terhadap saya
untuk mendirikan komunitas sastra, akhirnya saya menindaklanjutinya bersama teman-teman
sastra saya yang lain,” tutur Mahfud yang memiliki nama pena Mahfudz A Yoga
Darmora.
Tepat pada Sabtu malam, 5 November 2011,
bertempat di salah satu kelas MI 1 Annuqayah, Mahfud dan 3 teman sastranya
berkumpul untuk mendirikan Abas.
“Ketiga teman sastra saya itu ialah Zainal Arifin,
Barrud Darofi, dan Sholihin. Ketiganya memang sudah lama suka sastra dan
belajar mendalami sastra bersama saya,” tambah santri yang kini tercatat sebagai
redaktur pelaksana majalah Hijrah Perpustakaan Annuqayah Latee.
Sejak berdirinya, kini terdapat 21 santri yang
berproses serius di dalam Abas. Mereka berasal dari beberapa pesantren daerah
yang ada di Annuqayah. Sebut saja misalnya Latee, Lubsel, dan Lubangsa.
“Sekalipun para pendirinya dari daerah Latee,
bukan berarti kami menutup diri dari pesantren-pesantren daerah lainnya yang
dinaungi Annuqayah,” ungkap Mahfud sembari tersenyum.
Bentuk Kegiatan
“Kami sudah melakukan 17 kali pertemuan,” ujar
Mahfud. “Pertemuan tersebut dilangsungkan 2 kali dalam seminggu, yaitu tiap
Jumat malam dan Minggu malam”.
Sementara ini, terdapat 2 kegiatan dalam setiap
pertemuan yang dilangsungkan dari pukul 21.00 sampai 23.00 tersebut.
Jumat malam, kegiatannya berupa baca puisi
sekaligus menyetor naskah puisi kepada ketua Abas. Khusus Minggu malam,
dijadwalkan bedah puisi dari karya semua peserta Abas. Dalam kegiatan terakhir
ini, sesekali mendatangkan penyaji.
“Bedah puisi ini menggunakan sistem lotre.
Jadi, pada kesempatan itu, hanya 1 puisi yang dibedah berdasarkan urutan hasil
lotre sebelumnya,” tambah siswa kelas akhir MA 1 Annuqayah itu.
Penting pula diketahui, di Abas juga digelar
hafalan bahasa sastra untuk kemudian dikumpulkan, ditulis dalam satu buku
khusus.
“Bahasa sastra tersebut harus berupa kata-kata
yang tidak klise, jarang dipakai orang dalam kesehariannya. Contoh: kata pualam
dan sebagainya,” beber Mahfud.
Sebagai rencana panjang, Abas memprogramkan
bakal menerbitkan antologi puisi dan kamus bahasa sastra tiap bulan sekali.
Naskah-naskah tersebut berlandaskan pada hasil seleksi terhadap karya-karya
peserta Abas.
“Mohon doanya, insya Allah pada bulan April
mendatang, antologi puisi dan kamus bahasa sastra karya anak-anak Abas tersebut
bisa dipastikan bakal diluncurkan,” kata Mahfud penuh harap.
Dananya dari mana?
“Kami selalu berusaha mandiri. Dana penerbitan
tersebut bersumber dari iuran peserta sebesar Rp 1 ribu tiap minggunya,” tambah
Mahfud.
Kegiatan bedah puisi yang selama ini
dilaksanakan dipandang mampu menghidupkan forum. Sebab, kegiatan tersebut
memantik semangat kritik sekaligus otokritik antarpeserta dan bahkan dengan
penyaji sendiri.
“Daya nalar kritis terhadap sastra benar-benar
teruji dalam bedah puisi ini,” tegas Mahfud dengan mata berbinar.
Disiplin
Hal menarik lainnya berkenaan dengan Abas ialah
kedisiplinan.
“Peserta yang tidak disiplin berkarya sekaligus
nakal hadir mengikuti segala kegiatan Abas, jangan harap bisa berdiam lama di Abas,”
kata Mahfud serius. “Kedisiplinan dan keseriusan memang kami tekankan sedari
awal kepada semua peserta”.
Kesadaran akan kedisiplinan tersebut berpangkal
pada kenyataan tradisi kurang disiplinnya santri. Kebiasaan ‘jam karet’ yang
tercermin dari penguluran terhadap waktu masih saja mewarnai kehidupan mereka.
Untuk mendukung kedisiplinan peserta, absensi
diberlakukan di Abas.
“Jika ada peserta absen 4 kali sampai terbitnya
antologi puisi dan bahasa sastra nanti, bisa dipastikan ia dikeluarkan dari Abas,”
tegas Mahfud.
Menariknya juga, tempat pelaksanaan segala
kegiatan Abas terbilang dinamis, tidak hanya terfokus pada satu tempat.
“Mengenai tempat, saya memang memberikan
kebebasan kepada seluruh teman-teman Abas,” kata Mahfud. “Sebelum berangkat,
kami berkumpul terlebih dahulu di depan Perpustakaan Annuqayah Latee”.
Di depan perpustakaan tersebut, para peserta Abas
berembuk tentang tempat pelaksanaan kegiatan pada malam itu juga.
“Kadang di bukit Lancaran (sebelah tenggara
Annuqayah,red.), di Asta (kuburan), di halaman kampus Instika, dan
tempat-tempat inspiratif lainnya,” ungkap Mahfud.
“Biar tidak jenuh,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar