Sabtu, Januari 31, 2009

Darullughah PPA Latee Adakan Haflatuddawrah al-Ula

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Kemeriahan bahasa Arab di PP Annuqayah Latee kembali bergemuruh. Jum’at (30/1) kemarin, Darullughah PP Annuqayah Latee mengadakan Haflatuddawrah al-Ula (Haflah Semester Pertama) yang diisi dengan pemberian raport dan penyajian seputar Darullughah. Acara ini merupakan rangkaian dari ujian semester pertama yang diadakan pada Kamis (22/1) lalu.
Acara yang berlangsung sejak pukul 05.30 WIB dan berakhir pada 07.10 WIB ini dihadiri oleh Ustadz Arief Rahman Hakim S.Pd.I., salah satu alumni Darullughah, sebagai penyaji dan seluruh jajaran asatidz Darullughah.
“Dengan adanya acara ini kami mengharap agar seluruh santri Darullughah bisa memperbaiki diri dan menambah semangat belajar bahasa Arab di semester selanjutnya,” ungkap Suryadi Aziz selaku Ketua Darullughah.
Senada dengan Suryadi, Faishal Khair, Direktur Darullughah mengungkapkan dengan adanya acara tersebut berharap seluruh santri Darullughah baik pengurus maupun santri secara umum agar bisa memperbaiki diri. “Saya mengharap dengan adanya acara ini seluruh santri Darullughah baik pengurus maupun santri secara umum bisa memperbaiki diri dan lebih bersemangat lagi membawa Darullughah ke masa depan yang lebih cerah,” ungkap Faishal.
Di sela-sela acara ini, Darullughah juga menobatkan santri terbaik selama semester pertama ini. Predikat santri terbaik diraih oleh Ahmad Zairi, 19 tahun, karena nilai ujiannya tertinggi dan mempunyai perilaku yang baik dalam pergaulannya sehari-hari.

Jumat, Januari 30, 2009

Orientasi Anggota Baru Sanggar Saksi Diguyur Hujan

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Geliat sastra di Annuqayah masih terasa. Hal ini terbukti dengan diadakannya Orientasi Anggota Baru Sanggar Saksi Annuqayah. Orientasi yang dimulai sejak kamis (29/01) kemarin pada pukul 13.00 WIB ini diikuti oleh 13 orang peserta baru. Selain diisi dengan penyajian pengenalan Saksi dan tentang kesusastraan, secara keseluruhan orientasi ini juga diisi dengan eksplorasi (pejelajahan) sekitar Annuqayah yang dimulai sejak pukul 20.00 WIB dan berakhir pada tengah malam.
Namun, eksplorasi yang diikuti dengan cukup antusias tersebut terpaksa harus terganggu lantaran hujan mengguyur bumi Annuqayah. “Alhamdulillah orientasi ini berjalan dengan lancar meskipun eksplorasinya harus terganggu hujan. Tapi bagi kami hal itu tidaklah terlalu mengganggu karena kami masih bisa melanjutkan acara,” tutur Faizi Roziki selaku ketua panitia. Dengan adanya orientasi ini, Sanggar Saksi seperti ingin menegaskan maraknya aktivitas beberapa sanggar kesenian dan kesusastraan di Annuqayah yang bisa dibilang semakin eksis.

Kamis, Januari 29, 2009

Lubangsa: Setelah Operasi Sandal Jepit, Kini Pakaian Santri

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Gema teriakan santri kembali bergemuruh setelah jamaah shalat Maghrib di Masjid Jamik Annuqayah Rabu (28/01/09) kemarin, tepatnya ketika Lukman Mahbubi, ketua pengurus PPA Lubangsa, mengumumkan Undang-Undang Dasar Susulan (UUDS) kepada seluruh santri. Senter pengurus kamtib (Keamanan dan Ketertiban) pun langsung berseliweran ke mana-mana bagai lampu disko bar di kota metopolitan. Tujuannya tak lain sebagaimana tugas kamtib itu sendiri: menertibkan santri.
Setelah dirasa cukup sukses meredam maraknya praktik ghasab sandal jepit, dari pengumumannya (24/01/09), operasionalnya (25/01/09), sampai ketentuan pembagian tempat sandal yang dipilah antar blok di depan masjid (26/01/09), malam Kamis kemarin pengurus PPA Lubangsa mengumumkan peraturan baru yang melarang seluruh santri memakai pakaian yang di belakangnya terpampang tulisan atau gambar pada saat mengikuti shalat berjamaah. Hal ini dimaksudkan untuk menambah kekhusyukan santri dalam melakukan solat berjamaah.
“Terkadang santri masih sempat membaca tulisan yang terpampang di pakaian temannya yang shalat di saf depannya, meski hanya dalam hati saja. Itu termasuk ‘illat shalat,” tutur Lukman Mahbubi saat menjelaskan peraturan baru tersebut.
Di samping melarang menghadiri shalat jamaaah dengan menggunakan pakaian yang memampang tulisan atau gambar, pengurus juga melarang santri memakai celana pensil yang memang sedang ngetren di Lubangsa pada khususnya. Pengurus melarang memakainya di mana saja, baik di lingkungan pondok maupun di luar pondok. Celana pensil dinilai kurang pantas dipakai santri. “Tidak enak dipandang, kene’ ka bebe (mengecil di bagian bawah, red),” ungkap ketua pengurus asal Ra’as itu.
Terhadap peraturan baru ini, ada beragam tanggapan santri. Ada yang mendukung. Tapi ada pula yang merasa keberatan, khususnya dengan larangan memakai celana pensil tersebut karena menurut mereka santri juga punya hak untuk mengikuti trend masa kini. “Saya tidak mengerti mau digimanakan Lubangsa ke depan dengan peraturan ini,” ungkap seorang santri asal Jember yang punya celana pensil.

Rabu, Januari 28, 2009

Siswa SMA 3 Annuqayah Menyaksikan Gerhana Matahari Cincin


Siti Nujaimatur Ruqayyah & Ummul Karimah, PPA Karang Jati Putri (Assaudah)

SUMENEP—Sepuluh siswa SMA 3 Annuqayah hadir pada acara Pesta Sains Gai' Bintang Astronomi Club Sumenep untuk menyaksikan gerhana matahari cincin dengan menggunakan teropong di Labang Mesem Sumenep, Senin (26/01/09) kemarin. SMA 3 Annuqayah diundang secara khusus oleh panitia. Sepuluh siswa yang dipilih oleh sekolah untuk hadir adalah mereka yang memiliki nilai prestasi istimewa untuk bidang studi Fisika dan atau Geografi.
Gerhana matahari cincin yang tergolong langka itu adalah kejadian luar biasa yang telah membuat para siswa heboh dan menggebu-gebu ingin menyaksikannya. Sayangnya mereka tidak bisa melihat gerhana matahari dengan mata telanjang. Menurut informasi yang didapatkan, gerhana matahari dapat membuat mata seseorang buta. Jika ingin melihat gerhana matahari harus menggunakan alat khusus. Selain dengan teropong, di sana juga disediakan alat berbentuk kacamata yang terbuat dari klise dan dilapisi alumunium. Alat ini juga bisa digunakan untuk melihat gerhana matahari secara lebih jelas dan langsung.
Maka alangkah senangnya para siswa SMA 3 Annuqayah yang terpilih untuk dapat menghadiri undangan Gai’ Bintang Astronomi Club tersebut. Mereka berangkat dari SMA 3 Annuqayah pada pukul 14.00 WIB dengan didampingi Syaiful Bahri, S.Ag. dan Mus’idah, S.Pd.I, guru di SMA 3 Annuqayah. Kira-kira menjelang 15.00 WIB mereka telah tiba di tempat acara.
Suasana masih sepi. Rupanya rombongan SMA 3 Annuqayah adalah peserta yang datang paling awal. Panitia langsung memberikan alat yang berbentuk kaca mata kepada mereka. Senangnya bukan main saat mereka mendapatkan alat itu dan langsung memakainya. Namun saat itu matahari masih dalam keadaan normal.
Sekitar pukul 16.00 WIB hingga 16.30, gerhana matahari terjadi, meski tidak 100%, sehingga bentuk matahari tak lagi bulat sempurna. Rombongan dari SMA 3 Annuqayah menyaksikan baik dengan teropong maupun dengan kacamata khusus. Pada sekitar pukul 16.30 WIB, posisi gerhana mencapai 30 %.
“Sebenarnya kejadian ini adalah pertanda kebesaran Tuhan, yang juga pernah terjadi pada masa Rasulullah,” kata Januar Herwanto, pengundang sekaligus Direktur Lembaga Gai' Bintang Astronomi Club, memberikan penjelasan. “Dan karena itulah kami mengundang Anda semua untuk menyaksikan kebesaran Tuhan secara langsung,” tambahnya.
Mus'idah, guru pendamping dari SMA 3 Annuqayah, merasa sangat puas dengan keterlibatan anak-anak dalam acara ini. "Mereka sangat aktif bertanya dan berdiskusi dengan Tim dari Gai' Bintang, sehingga saya kira mereka tidak hanya mendapatkan pengalaman baru, tetapi juga informasi berharga lainnya yang sangat mendukung kepada pembelajaran di sekolah," ujarnya dengan bersemangat.
Tentunya rugi sekali bagi mereka yang tidak menyaksikan dan tidak merenungkan kejadian ini. Seperti yang terjadi di sekitar Taman Bunga, banyak orang yang tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi saat itu. Mereka lebih memilih duduk santai menikmati keindahan alam di sore hari.
Sementara itu…
Seperti tak ingin ketinggalan dengan rekan-rekannya yang menyaksikan gerhana matahari cincin dengan teropong, pada saat yang bersamaan siswa-siswa Madaris 3 Annuqayah lainnya juga mengadakan acara nonton bareng gerhana matahari cincin di sekolah. Meski menggunakan alat sederhana, acara tersebut cukup heboh karena siswa yang datang berbondong-bondong, mengantri giliran sambil berteriak-teriak girang tanda tak sabar ingin segera melihat citra gerhana matahari cincin. Walau begitu, siswa diatur untuk tertib.
Alat tersebut dibuat oleh siswa SMA 3 Annuqayah sendiri yang didampingi oleh guru SMA 3 Annuqayah. Alat sederhana yang terbuat dari kardus berukuran panjang 1 m, lebar 27 cm dengan lubang atas untuk mata lurus dengan lubang berdiameter sekitar 1 mm pada jarak dari tepi, dapat menampilkan citra matahari pada permukaan dalam di bidang bawah. Alat sederhana ini dibuat atas dasar panduan salah seorang dosen ITB yang ditemukan setelah mencari informasi di internet.
Sebelumnya siswa diberi penjelasan mengenai cara menggunakan alat tersebut. Zulhatus Sayyidah, yang memberi keterangan, menjelaskan di tengah halaman. “Cara pakainya yaitu membelakangi matahari dan dimiring-miringkan sampai citra matahari masuk dan membentuk bayangan di dasar kotak,” katanya.
Acara nonton bareng ini dimulai sekitar pukul 15.30. Beberapa saat setelah bentuk matahari mulai menyusut di salah satu sudutnya, tanpa sengaja salah satu siswa SMA 3 Annuqayah yang hadir, Thoyyibah kelas XII IPA, menemukan tampakan bulatan-bulatan terang cahaya berbentuk bulan sabit di bawah pohon. Dalam keadaan biasa, cahaya matahari yang menembus rimbun dedaunan itu berbentuk bulatan-bulatan sempurna. Akan tetapi, karena gerhana, bentuknya berubah menjadi bulan sabit. Bulatan-bulatan kecil itu tampak lucu dan menggemaskan saat angin meniup pepohonan. Bayangannya pun seolah menari dan bergoyang-goyang.
Thoyyibah langsung berkomentar mengenai kejadian ini, “Menakjubkan! dan ini menggambarkan kekuasaan Tuhan yang begitu indah.”
Cukup lama siswa menanti gerhana matahari cincin tampak secara sempurna, namun tanda-tanda bulatan hitam yang hampir menutup permukaan matahari semakin menggeser keluar dari lingkaran bulatan matahari.
Setelah siswa tak sabar menanti dan bertanya-tanya, akhirnya terjelaskan bahwa hanya daerah-daerah tertentu yang dapat menyaksikan gerhana cincin secara penuh. Yaitu: Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Adapun di wilayah-wilayah lainnya hanya akan dapat dilihat gerhana matahari sebagian dengan penutupan piringan matahari lebih dari 50 persen.

Selasa, Januari 27, 2009

Biografi KH. Moh. Mahfoudh Husaini

M Faizi, PPA Al-Furqaan Sabajarin


Masa Kecil KH. Moh. Mahfoudh Husaini

KH. Moh. Mahfoudh Husaini dilahirkan dan besar di kampung Sabajarin yang berada di wilayah administratif desa Guluk-Guluk, sebuah desa dataran tertinggi Madura, di wilayah kabupaten Sumenep, pada hari Selasa tanggal 16 Jumadil Akhir 1345 H atau bertepatan dengan tanggal 22 Desember 1926 M. Ayahnya, K. Husain, adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati, sementara ibunya adalah Nyai Aisyah, putri terakhir dari Kiai Syarqawi, pendiri Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-­Guluk, Sumenep.

Sejak berusia 7 tahun, beliau belajar mengaji al-­Qur’an kepada ibundanya. Hingga mencapai usia 12 tahun, barulah beliau nyantri pada Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi yang ketika itu membina santri-santri di dusun Latee, Pondok Pesantren Annuqayah, sebuah dusun yang letaknya tak jauh dari kampung Sabajarin. Pada masa antara tahun 1934 hingga 1941 itulah beliau mulai menekuni pelajaran agama di Annuqayah sambil belajar mengaji kitab secara sorogan dari ayahnya. Beliau mendalami ilmu-­ilmu fikih, nahwu, dan juga sharraf melalui kitab pengajian tingkat dasar yang diajarkan dalam bentuk kitab-­kitab ringkasan.

Sekitar tahun 1936, ketika beliau kanak-­kanak dan masih berusia 9 tahun, Kiai Mahfoudh nunut seorang khadam (santri kepercayaan) ayahnya mengantarkan bekal untuk kakaknya, Kiai Ja’far, yang kala itu nyantri di Pondok Pesantren Banyu Anyar, Pamekasan. Namun ternyata ia merasa betah dan kerasan di sana. Akhirnya, ia pun tinggal di Pesantren Banyu Anyar tersebut selama kurang lebih empat bulan. Kiai Mahfoudh akhirnya tinggal bersama kakaknya. Meskipun tidak menjadi ‘santri resmi’ di pesantren itu, namun selama kurang lebih dua bulan terakhir beliau juga menyempatkan diri untuk belajar mengaji al-Qur’an kepada Kiai Abdul Majid.

Pada tahun 1941, dari dusun Latee beliau pindah ke Lubangsa. Dusun Lubangsa sendiri adalah tetangga dusun Latee letaknya hanya dalam hitungan puluhan meter ke arah barat. Dusun Lubangsa sendiri merupakan bagian dari Pondok Pesantren Annuqayah yang pada waktu itu berada di bawah asuhan K.H.M. Ilyas Syarqawi. Di sana beliau masuk di Madrasah Salafiyah kelas 1 (yang kalau saat ini mata pelajarannya setara dengan kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah). Madrasah Ibtidaiyah sendiri didirikan oleh Kiai Khazin Ilyas pada tahun 1933 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah dengan menggunakan sistem nidhāmiyah a la pesantren Tebuireng, Jombang.

Kiprah dalam Dunia Pendidikan Pesantren

Hingga pada akhir dari tahun 1943 beliau telah keluar dari kelas 3 salāfiyah. Selang setengah tahun kemudian, jabatan kepala sekolah oleh Kiai Khazin dilimpahkan kepada beliau, karena saat itu Kiai Khazin bergabung dengan laskar Hizbullah untuk berjuang demi kemerdekaan. Kiai Khazin sendiri meninggal dunia pada tahun 1948 (Agresi Belanda II).

Kiai Mahfoudh, sekalipun diberi tugas untuk membina madrasah Ibtidaiyah, tetap mengaji kitab kepada Kiai Ilyas Syarqawi sambil belajar pengetahun umum secara otodidak, termasuk bahasa Inggris. Demikianlah, hari-harinya dilalui dengan aktivitas belajar-mengajar. Hal itu berlangsung hingga tahun 1947.

Kiai Mahfoudh bahkan sempat memimpin Latee selama kurang lebih setahun. Kursi kepemimpinan di Latee sempat vakum beberapa bulan lamanya dikarenakan pada tahun 1947 K. Abdullah Sajjad wafat di ujung senapan regu tembak tentara Belanda di lapangan Guluk-Guluk. Dan pada tahun 1951, Kiai Mahfoudh menikah dengan Nyai Arifah, putri dari K. Abdullah Sajjad yang membina santri-santri Annuqayah di daerah Latee.

Tahun 1950, dalam istilah Kiai Mahfoudh sendiri, adalah tahun ‘penyerahan kedaulatan’. Di tahun itu, Kiai Ashiem Ilyas yang turut mengelola madrasah berangkat menuntut ilmu ke Tebuireng lalu ke Jakarta guna mendapatkan pendidikan jurnalistik. Maka, sejak tahun 1951 Kiai Mahfoudh menggantikan perannya di bidang pengembangan madrasah. Beliau melakukan reformasi dengan melebur shifr awwal dan shifr tsani dengan kelas 1, 2, 3, dan 4 serta digabungkan dengan Madrasah Tsanawiyah. Itulah tahun-tahun pencerahan di mana beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dengan menggunakan sistem kelas seperti yang dikenal hingga sekarang ini. Perombakan dilakukan di sana-sini, baik dari segi materi maupun dari segi ketatausahaannya. Pada akhirnya, kelas 1 dengan sistem salafi kemudian dijadikan kelas 5. Sementara kelas 2 diubah menjadi kelas 6. Sedangkan kelas 3 diganti menjadi kelas 1 Tsanawiyah. Pada saat itulah dimasukkan beberapa disiplin pengetahuan umum ke dalam silabi madrasah sebagai materi tambahan. Dengan begitu, Kiai Mahfoudh harus menjabat rangkap yakni sebagai kepala Madrasah Ibtidaiyah sekaligus kepala Madrasah Tsanawiyah Annuqayah. Sistem kelas berlangsung hingga hampir sepuluh tahun, sampai akhirnya ada penambahan 1 kelas lagi untuk Tsanawiyah yakni kelas 3. Bahkan ditambah dengan kelas 4.

Pada waktu Kiai Ilyas Syarqawi tutup usia, yakni 1959, Madrasah Ibtidaiyah dipegang oleh Kiai Mahfoudh sementara Madrasah Tsanawiyah di bawah pimpinan Kiai Amir Ilyas. Selanjutnya, Kiai Amir melakukan reformasi dengan mengubah Madrasah Tsanawiyah menjadi ‘Madrasah Mu’allimin’ dengan jenjang studi 4 tahun. Mu’allimin sebenarnya merupakan cikal­-bakal daripada sistem kelas sebagaimana Tsanawiyah-­Aliyah yang ada saat ini. Dengan tetap mengedepankan pelajaran­-pelajaran agama, di dalamnya juga diajarkan beberapa materi pengetahuan umum dan bahasa.

Pada tahun 1965, di saat Madrasah Mu’allimin masih berada di bawah binaan Kiai Amir Ilyas, terjadi perubahan sistem untuk kedua kalinya. Masa studi 4 tahun kini diganti dengan masa studi 6 tahun. Menilik jenjang kelasnya, Mu’allimin tak ubahnya gabungan antara Tsnawiyah dan Aliyah. Dan demikianlah sistem tersebut berlangsung normal hingga beberapa tahun lamanya.

Baru di tahun 1979 turunlah peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa ijazah Mu’allimin tidak diakui. Tidak boleh tidak, Madrasah Mu’allimin harus direformasi dan hadir dalam wajah yang baru juga. Maka Mu’allimin pun dibagi menjadi Madrasah Tsanawiyah Annuqayah dengan kepala sekolah Kiai Amir Ilyas dan Madrasah Aliyah Annuqayah yang dikepalai Kiai Warits Ilyas, adik Kiai Amir. Sementara itu, Kiai Mahfoudh masih setia untuk tetap berkonsentrasi membina Madrasah Ibtidaiyah yang telah dirintisnya.

Pada waktu itu, Departemen Agama Pusat, atas bantuan UNICEF, menunjuk madrasah­madrasah untuk dijadikan sampel, semacam madrasah percontohan. Adapun lembaga yang dijadikan sampel berjumlah sepuluh lembaga dalam tiap setahun. Dan pada tahun 1981, Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah ditunjuk sebagai salah satu lembaga yang menjadi sampel di Madura. Dan status ini bertahan selama empat tahun. Dikarenakan Madrasah Ibtidaiyah yang ditunjuk tersebut adalah madrasah putri, padahal waktu itu status ketatausahaannya masih mendompleng kepada Madrasah Ibtidaiyah putra, maka Kiai Mahfoudh mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah untuk putri yang secara administratif kini telah terlepas dari Madrasah Ibtidaiyah putra. Baik sarana dan prasarananya kini dipusatkan daerah Sabajarin, tempat beliau bermukim. Oleh sebab itu, Madrasah Ibtidaiyah Putra yang sebelumnya dipegangnya diserahkan kepada KH. Abdul Basith Abdulah Sajjad untuk mengelolanya.

Pada awal 80-an itulah Madrasah Ibtidaiyah mengkuti Ujian Negara untuk pertama kalinya dengan jumlah siswi lulus 8 orang. Berkat spirit dan dorongan dari berbagai pihak dan tentunya melihat prospek yang baik bagi didirikannya sekolah lanjutan, maka Kiai Mahfoudh mendirikan Madrasah Tsanawiyah putri pada tahun 1982 dengan 13 orang siswi. Tapi, pada tahun 1984 jumlah siswi merosot hingga tinggal 8 orang saja. Kiai Mahfoudh dapat memaklumi hal itu di antaranya adalah kebiasaan wali murid yang segera menikahkan anaknya setamat kelas 6 Ibtidaiyah. Namun demikian, fenomena ini menurutnya tidak dapat disebut sebagai rendahnya kesadaran pendidikan dan tingginya kebiasaan menikahkan putrinya di waktu muda semata. Melainkan lebih karena lembaga yang menampung putri­-putri mereka itu hanya menyediakan tingkat pendidikan hingga kelas 6 ibtidaiyah saja. Terbukti sejak dibukanya Madrasah Tsanawiyah, tahun demi tahun jumlah murid Madrasah Ibtidayah Putri Annuqayah bertambah terus-­menerus. Pada tahun 2003, santri putri di Annuqayah berjumlah kurang lebih 2000­-an siswi yang belajar di berbagai madrasah di Annuqayah.

Pada tahun 1984, bersama dewan pengasuh Pondok Pesantrern Annuqayah, Kiai Mahfoudh berperan serta dalam membidani lahirnya perguruan yang kini bernama STIKA (Sekolah Tinggi Keislaman Annuqayah). Pada awalnya, sekolah tinggi ini dipimpin oleh Kiai Ashiem Ilyas.


Pengalaman Karir Politik dan Organisasi

Setelah negara Indonesia berdiri dengan berasaskan Pancasila, wakil Presiden Hatta mengumumkan tentang berdirinya partai-­partai. Salah satu dari sekian partai yang berdiri adalah Masyumi. Dan inilah partai tempat Kiai Mahfoudh mencurahkan ekspresi politiknya. Partai Masyumi memiliki beberapa anak partai dan Kiai Mahfoudh pun terlibat aktif menjadi ketua Ancab (Anak Cabang) kecamatan Guluk­Guluk. Pada masa antara 1945­1950 beliau aktif dalam kepengurusan Sabilillah.

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRDS) dibentuk pada tahun 1950, Kiai Mahfoudh bergabung menjadi anggotanya dan ia menjadi anggota dewan yang termuda karena pada waktu itu beliau berusia 24 tahun. Ketika itu, DPRDS terdiri dari orang­-orang Masyumi dan hanya 1 orang mewakili PSI, 1 orang dari PKI dan 2 orang mewakili PNI. Ketika Pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955 dilaksanakan, beliau terpilih lagi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga tahun 1959. Hingga akhirnya presiden Soekarno, seiring dengan terbentuknya poros Nasakom, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit dan meminta agar Masyumi membubarkan diri. Di antara partai­-partai besar lain seperti PNU, PNI, PKI, Masyumi bersikap tidak kompromi dengan keputusan itu. Partai Masyumi, yang ketika itu dibawah pimpinan M. Natsir, menolak untuk membubarkan diri karena menurutnya yang berhak membubarkan adalah kongres. Namun, pada akhirnya Masyumi tak lagi aktif di panggung politik. Bersamaan itu pula, Kiai Mahfoudh pun tidak aktif lagi bergabung dalam kancah perjuangan politik. Ia merasa tidak ‘nyaman’ untuk bergabung lagi dengan partai mana pun.

Mengisi kekosongan aktivitas yang sebelumnya ia kerahkan dalam partai politik, akhirnya beliau bergabung dengan ‘Jam’iyah al-Washliyah’ sebagai pimpinan daerah kabupaten Sumenep. ‘Jam’iyah al-Washliyah’ ketika itu berpusat di Medan, Sumatera Utara. Ketertarikan beliau dengan Jam’iyah al-Washliyah tersebut adalah karena organisasi ini banyak aktif dalam dunia pendidikan. Menurut beliau, struktur dan rancangan oraganisasi Jam’iyah al-Washliyah ini sangat mapan sehingga jam’iyah ini pun mempunyai penilik untuk sekolah-­sekolah di tingkat kecamatan, padahal pamerintah baru mengurus hal itu di tingkat kabupaten saja.
Namun, aktivitas beliau di organisasi ini berakhir pada tahun 1964 hingga datanglah Gestapu. Sejak saat itu beliau tidak aktif lagi di partai politik atau organisasi apa pun.

Baru pada tahun 1968, ketika Presiden Soeharto menggantikan Soekarno, para tokoh­ Masyumi dapat kembali berperan aktif dengan menggabungkan diri dalam Parmusi. Selama sepuluh tahun lamanya, terhitung sejak tahun 1974 sampai dengan tahun 1984, beliau menjadi anggota DPRD selama dua periode secara berturut­turut. Kali ini beliau bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan tahun 1984, Kiai Mahfoudh tidak aktif lagi dalam partai dan organisasi apa pun. Baliau mencurahkan konsentrasinya pada dunia pendidikan, khususnya Madrasah Ibtidaiyah dan Tsananwiyah Putri.

Proses belajar-mengajar itu pun terus berlangsung hingga pada tahun 2000. Hingga sekitar 2006, beliau masih aktif mengelola segala kegiatan pendidikan di pondok pesantren Annuqayah, terutama lembaga belajar yang dikhususkan untuk santri-santri putri yang bertempat di daerah Sabajarin. Kegiatan-kegiatan yang telah diprakarsainya antara lain adalah berupa pengadaan kursus bahasa Arab, bahasa Inggris, dan komputer. Sementara untuk kursus bahasa Jepang kini tengah dirintis.

Sejak awal tahun 90-an hingga kini, Kiai Mahfoudh masih aktif dalam Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASRA). Forum ini beranggotakan ulama-kiai pengasuh-pengasuh pesantren yang tersebar di empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) di pulau Madura. Misi dari forum silaturrahim ini adalah upaya untuk mempersatukan suara umat Islam, terutama di lingkungan masyarakat Madura.

Akan tetapi, BASRA bukanlah jam’iyah yang sifatnya full organisation. Ia, sesuai dengan namanya, hanyalah sebuah forum yang lebih mengedapankan silaturrahim. Oleh karena itu, kalangan yang karena mengusung kepentingan partai politik tertentu dan oleh karenanya berjarak dengan kelompok lainnya, dalam forum ini mereka bisa bersatu untuk turut ambil bagian dalam memikirkan masa depan masyarakat Madura. Pertemuan-pertemuannya pun bersifat insidentil, misalnya di acara pengajian. Pertemuan tokoh-tokoh BASRA mencapai puncak aktivitasnya saat isu Jembatan Suramadu mencuat ke permukaan.

Visi Pendidikan 

Menurut beliau, pendidikan dan pengajaran berada pada posisi sebagai suatu usaha untuk membina sumber
daya manusia (SDM), karena ia adalah faktor terpenting dalam pembangunan. Oleh karena itu, kita harus menjadikan diri kita sebagai manusia yang tidak saja mengenal urusan ukhrawi, tetapi juga urusan duiniawi. Pengenalan pada urusan ukhrawi harus didahulukan dan mendapat perhatian penting karena persoalan yang bersifat ukhrawi bersifat ghaib, tak dapat dilihat. Tidak demikian halnya dengan urusan dunia. Tanpa diperkenalkan pun, manusia telah mengenal problematika kehidupan duniawi dengan sendirinya, bahkan berpacu untuk mendekatinya. Sayangnya, kita masih terjebak pada pemburuan urusan duniawi dengan melupakan uruasan ukhrawi. Contoh sederhana yang yang diajukan beliau adalah, sekalipun seseorang tahu bahwa ganjaran shalat berjamaah adalah 27 kali lipat dibanding dengan shalat sendirian, tetapi kebanyakan dari kita memilih meninggalkan shalat berjamaah ketika pada saat yang bersamaan ia dihadapakan pada sebuah jamuan makan istimewa misalnya. Hal itu menurut beliau disebabkan pada persoalan percaya dan meyakini: bahwa pahala shalat berjamaah itu adalah maya. Sementara hidangan yang lezat itu nyata. Maka wajar bila seseorang akan lebih tertarik untuk memilih yang dapat dilihat oleh mata saja. Memang, tandas beliau, “Suatu amal ibadah yang kelihatannya enteng tetapi terasa berat bila hendak dipraktikkan.”

Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendidikan hendaknya dimulai dari komunitas terkecil yaitu keluarga. Sebab Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan yang harus kita turunkan kepada keturunan kita. Bahkan, pendidikan sudah dimulai sebelum anak dilahirkan ke dunia ini. Oleh karena itu, anak, sebagai anggota keluarga yang akan mewarisi orang tuanya, haruslah mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya. Anak ideal adalah anak yang dapat melakukan pengabdian dan dapat menjauhi segala larangan.

Konsep pendidikan menurut beliau tak bisa lepas dari paradgima al-Qur’an. Apabila dipetakan, visi pendidikan yang dimaksud Kiai Mahfoudh Husaini tersebut akan merangkum 8 poin penting, yaitu perihal ‘ketaatan dan pengabdian’. Ketaatan dan kepatuhan merupakan prinsip pertama yang memiliki 4 poin. Empat poin tersebut adalah:
1. Hubungan Horisontal, yakni bagaimana kita dapat membangun hubungan yang baik dengan sesama makhluk. Dalam bergaul dengan manusia, misalnya, kita harus bersifat hilm.
2. Hubungan Vertikal: hubungan ini diwujudkan dalam bentuk ibadah kita kepada Allah. Misalnya dengan melaksanakan shalat fardu dan memperbanyak shalat malam.
3. Baik hubungan hubungan horisontal maupun hubungan vertikal yang telah dilakoninya dengan tepat tidak membuatnya ‘terjebak dalam tipuan’. Artinya merasa telah beramal secara maksimal lalu kemudian melalaikan diri. Padahal semestinya ia selalu meragukan apakah ibadahnya bermakna atau tidak. Dengan selalu mempertanyakan kualitas ibadahnya ia akan semakin giat dan tekun karena merasa pengabdiannya belum maksimal.
4. Mengambil jalan tengah dalam menafkahkan hartanya. Artinya bersifat dermawan tetapi tidak boros, dan dalam membelanjakan harta kita dianjurkan untuk bersikap positif dan ekonomis.

Empat poin lainnya adalah hal-hal yang menyangkut perihal ‘menjauhi kemaksiatan’. Empat poin tersebut adalah:
1. Keteguhan hati untuk tidak melakukan tindakan angkara (maksiat). Poin ini dibagi lagi menjadi 3 butir yaitu: a) tidak menyekutukan Allah, b) tidak membunuh, dan c) tidak berzina.
2. Tidak menyaksikan hal atau kegiatan yang melanggar aturan agama. Bila kebetulan ia melihat ada kemaksiatan ia akan berpaling.
3. Ketika dibacakan ayat­-ayat suci untuknya, ia akan memperhatikan dan menyimaknya secara benar-benar sekalipun ia sudah tahu bahkan memahaminya. Tindakan ini merupakan cermin dari sikapnya suka berfikir.
4. Selalu memohon kepada Allah agar menjadi pimpinan bagi keluarga agar supaya mampu membina keluarga kita menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya (muttaqīn).

Mandhūmat al­-Nuqāyah

Nama Pondok Pesantren Annuqayah adalah nama yang diambil dari salah satu kitab bertajuk Al-Nuqāyah karya Jalāluddin ‘Abdurrahman al­-Suyūthī. Kitab Al-Nuqāyah ini kemudian diberi syarh sendiri oleh pengarangnya dengan judul: Itmām al-­Dirāyah Li Qurrā’i al-Nūqāyah. Kitab yang ditulis dalam bentuk natsar ini adalah semacam kitab pengantar yang meliputi 14 disiplin ilmu. Menurut penuturan Kiai Mahfoudh, visi pondok pesantren Annuqayah adalah sejalan dengan visi sebagaimana yang ada di dalam kitab tersebut. Namun, pada saat ini banyak santri yang sudah melupakan kitab tersebut, bahkan ada yang sama sekali tidak mengenalnya karena kitab tersebut memang sudah sejak lama tidak diajarkan di Pondok Pesantren Annuqayah. (Selama Ramadan 1428 H, bertepatan dengan September/Oktober 2007, Kiai Wadud Munir menggelar pengajian kitab tersebut di Annuqayah).

Oleh karena itulah, dengan alasan tersebut di atas dan tentunya dengan semangat revitalisasi, beliau menyusun sebuah kitab dengan acuan kitab Al-Nuqāyah karya al-Suyūthī itu. Bila kitab Al-Nuqāyah itu ditulis dalam bentuk prosa (natsar), Kiai Mahfoudh menggubahnya kembali dalam bentuk syair (nadham) dan memberinya nama Mandhūmat al-Nuqāyah yang berarti “Kitab Al-Nuqāyah dalam Bentuk Nadham”. Beliau berharap, kitab tersebut dapat kembali diajarkan dan dijadikan acuan oleh santri-santri di Pondok Pesantren Annuqayah khususnya.

Kitab Mandhūmat al-Nuqāyah ini, sebagaimana kitab rujukan dasarnya, mencakup empat belas fann (disiplin ilmu) yaitu: ‘Ilm Ushūlu al-Dīn, ‘Ilmu al-­Tafsīr, ‘Ilmu al-­Hadīts, ‘Ilm Ushūl al­-Fiqh, ‘Ilmu al-­Farā’idh (ilmu distribusi harta waris), ‘Ilmu al­-Nahwi (ilmu tata bahasa), ‘Ilmu al­Tashrīf (ilmu konjugasi), ‘Ilmu al-­Khath (ilmu kaligrafi), ‘Ilmu al­-Ma’ānī, ‘Ilmu al-­Bayān (keduanya adalah ilmu retorika), ‘Ilmu al-­Badī’ (ilmu tentang teori metafor), ‘Ilmu al­-Tasyrīh (ilmu anatomi; ilmu urai), ‘Ilmu al-­Thibb (ilmu kedokteran; pengobatan), dan ‘Ilmu al­Tashawwuf.

Kitab Mandhūmah al-Nuqāyah karya KH. Moh. Mahfoudh Husaini ini belum sepenuhnya selesai ditulis. Hingga 2003, Kiai Mahfoudh telah menadhamkan hampir 1400-an larik, sementara itu masih tinggal 3 disiplin ilmu (fann) lagi yang harus diselesaikan.

Kebanyakan materi kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren adalah kitab fikih. Sementara dalam kitab Al-Nuqāyah sendiri, fikih tidak dimasukkan ke dalam bab tersendiri. Yang ada justru Ushūl al-Fiqh yang berisi teori-teori pengambilan keputusan hukum. Menurut Kiai Mahfoudh, itu karena fikih adalah produk, dan apabila fikih dimasukkan ke dalam bab tersendiri di dalam kitab itu, maka pembahasannya tidak mungkin secara sepintas saja, tetapi harus rinci dan mendetail. Padahal disiplin-disiplin ilmu yang terdapat di dalam kitab Mandhūmah al-Nuqāyah ini adalah perangkat lunak untuk menghasilkan sebuah produk, hanya berupa pengantar saja. “Kitab Mandhūmah al-Nuqāyah adalah perangkat dasar untuk ijtihad,” tambahnya.

Mulai awal-pertengahan 2006, kondisi kesehatan Kiai Mahfoudh menurun sehingga beliau tak aktif lagi dalam kegiatan kependidikan dan kemasyarakatan, termasuk sebagai salah satu anggota Dewan Masyayikh Annuqayah.

Kiai Mahfoudh meninggal dunia pada hari Rabu pagi bakda Subuh, 24 Muharram 1430 H bertepatan dengan 21 Januari 2009 H.


Dikutip dari buku Mastuki HS, M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag, (ed.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Cetakan Pertama (2003), Penerbit Diva Pustaka, Jilid ke-3 Halaman (289-296), dengan beberapa perubahan.

Senin, Januari 26, 2009

Siswa MA Tahfidh Annuqayah Menjadi Juara Harapan II Lomba Menulis Esai Tingkat Nasional

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Prestasi pertama di tahun 2009 untuk MA Tahfidh Annuqayah diciptakan oleh Moh. Hauqil. Siswa Kelas Akhir MA Tahfidh Annuqayah itu kembali memberikan kosntribusi prestasi untuk MA Tahfidh pada Rabu (21/1) kemarin. Hauqil, sapaan akrabnya, menjadi salah satu finalis Lomba menulis Esai Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh HIMAFA (Himpunan Mahasiswa Fakultas Falsafah dan Agama) Universitas Paramadina Jakarta dalam rangka “Urban Sufism Days 2009”. Dalam lomba tersebut, dia menjadi Juara Harapan II.
Ketika diwawancarai, siswa yang kerap kali mengikuti Lomba Karya Tulis tingkat Nasional maupun lokal ini merasa kecewa karena dia dinobatkan sebagai Juara Harapan II tidak melalui tahapan presentasi terlebih dahulu disebabkan dia terlambat hadir pada acara yang diikuti oleh seratus lebih peserta tersebut. Keterlambatan Hauqil tersebut bukanlah hal yang disengaja, melainkan karena bus yang ditumpanginya macet di Semarang.
“Saya sangat kecewa karena dalam lomba ini predikat juara saya dapatkan tanpa presentasi yang seharusnya saya lakukan, dan itu sangat menyakitkan bagi saya, sebab untuk bisa mengikuti lomba ini saya harus berusaha mati-matian untuk menulis karya yang terbaik,” tutur Hauqil.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fahmi, pembimbing yang mendampingi Hauqil ke Jakarta. “Juara Harapan II bagi saya tidak apa-apa tapi yang mengecewakan adalah Hauqil tidak bisa mempresentasikan karyanya karena terlambatan kami. Memang pada dasarnya keterlambatan itu terjadi karena bus yang kami tumpangi macet di Semarang, sehingga kami yang seharusnya sampai di Jakarta pada jam 10.00 WIB harus molor sampai jam 18.00 WIB,” ungkap Fahmi dengan ekspresi penuh penyesalan.
Terkait dengan itu, pimpinan MA Tahfidh Annuqayah merasa bangga dengan prestasi Hauqil. Sebagai wujud dukungan, Madrasah memberikan suntikan dana untuk transportasi ke Jakarta. “Alhamdulillah untuk transportasi ke Jakarta kami mendapatkan suntikan dana dari Madrasah dan ini patut kami syukuri karena tidak biasanya pihak Madrasah memberikan suntikan dana untuk mengikuti Lomba dan mereka sangat bangga dengan prestasi ini meskipun hanya Juara Harapan II,” kata Hauqil di akhir wawancara.
Esai yang Hauqil ikutkan dalam lomba tersebut berjudul “Spiritualitas dan Metropolita-(isme); Krisis Kemanusiaan di Negeri Kaum Beragama”.

Lubangsa Gelar Operasi Sandal Jepit

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Seiring banyaknya santri di Lubangsa yang sering memakai sandal jepit yang bukan milik sendiri (ghasab) atau memakai sandal jepit jen-la’jen (bukan pasangannya) maka Pengurus Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) PPA Lubangsa pada hari Ahad (25/01/2009) malam turun langsung untuk menindaklanjuti semua santri yang tidak punya sandal jepit sendiri atau yang memakai sandal jepit jen-la’jen itu, sehingga diperoleh data siapa saja santri yang tidak punya sandal jepit.
Pada malam sebelumnya, Sabtu (24/01/2009) ketua pengurus PPA Lubangsa, Lukman Mahbubi, selepas jama’ah shalat Isya’ telah mempertegas beberapa peraturan di hadapan santri, yang salah satunya menegaskan bahwa santri wajib memiliki sandal jepit sendiri. Ini dilakukan karena bukan hanya santri yang menjadi korban kehilangan sandal. “Bukan hanya santri yang jadi korban kehilangan sandal, tamu pun sering pula jadi korban atas kelakuan santri yang sembarangan ini,” ungkapnya ketika berbicara kepada santri setelah jama’ah shalat Isya’.
“Pengurus bukannya bermaksud untuk memperketat peraturan, tapi ingin menjaga nama baik kalian sebagai santri. Jika tamu kehilangan sandal, coba pikir bagaimana anggapan mereka kepada kalian,” tambahnya.
Sebelum operasi digelar setelah shalat maghrib, Pengurus PPA Lubangsa mengumumkan kembali kepada santri bahwa semua santri wajib turun dari Masjid Jamik Annuqayah untuk didata siapa saja yang tidak mempunyai sandal jepit. Hasilnya cukup lumayan. Beberapa santri tertangkap basah oleh pengurus Kamtib kebingungan karena tak punya sandal sendiri. Mereka yang tak punya sandal itu tidak diizinkan untuk turun dari masjid. Mereka disidang di dalam masjid dan akan ditindaklanjuti kembali selepas bel jam belajar berbunyi.
Ada santri yang mengaku jujur bahwa ia memang tidak memiliki sandal jepit. Ada pula yang tidak mengaku, alasannya punya tapi sedang kena ghasab. Lukman Hakim, warga blok D/06 yang kena razia pengurus mengaku dengan jujur bahwa dia memang tidak punya sandal.
Lain halnya dengan Hainur Rizki yang mengaku punya sandal namun jadi korban ghasab temannya. “Saya punya sandal, tapi dipakai orang lain,” kata santri yang masih duduk di kelas 1 MTs 1Annuqayah.
Sementara itu, sebelumnya, setelah jama’ah shalat subuh Ahad pagi pengurus maupun santri dikejutkan oleh sekumpulan sandal jepit merah berjumlah tujuh pasang merk swallow yang bertuliskan: “NGABES UY MATANA”. Setiap sandal ditulis satu huruf, dan dijejer sedemikian rupa sehingga terbaca demikian. Setelah ditelusuri, mereka bukan satu gank ataupun satu bilik, melainkan kaum tanak (komunitas menanak) yang sengaja membeli sandal yang sama. “Kami bukan punya gank atau satu bilik. Tapi kami hanya kaum tanak,” ungkap Khaliq diketahui sebagai ketua komunitas tersebut.
Mereka adalah Khaliq sebagai ketua (E/7), Ahmad Yasir (A/7), Dafir (E/7), Moh Yanto Abdeean (E/9), Endang Supendi (E/7), Syaifullah (A/16), dan Hormayanto (E/13). Mereka yang mengaku membeli sandal tersebut di koperasi membantah jika selama ini tidak punya sandal. “Sebelumnya kami punya tapi kena ghasab,” ungkap Moh Yanto Abdeean yang biasa dipanggil Beckham. “Ini juga sebagai bukti bahwa sesungguhnya kami mampu untuk membeli sandal jepit,” tambahnya lagi. Mungkin ini adalah siasat mereka menghadapi perilaku santri yang suka mempergunakan barang milik pribadi tanpa izin.

Sabtu, Januari 24, 2009

Santri Nirmala Akhiri Pekan Monitoring dengan Cross Country

Sumarwi, PPA Nirmala

GULUK-GULUK—PPA Nirmala kemarin (23/09) melaksanakan agenda terakhir Pekan Kepramukaan dan Monitoring, yaitu Jelajah Alam atau santri biasa menyebut dengan Cross Country. Dalam Jelajah Alam kali ini para santri dibawa berkeliling dua kecamatan yaitu Guluk-Guluk dan Ganding.
Para santri melewati jalan raya dan jalan setapak, bahkan jalan yang terjal. Panitia membagikan peta rute perjalanan kepada masing-masing pimpinan regu (pinru). Peserta menggunakan seragam lengkap, membawa peralatan shalat Jum’at berikut juga bekal selama di perjalanan seperti nasi, minuman dan bahkan jamu. Panitia tidak menentukan kepada para peserta tentang bekal yang akan dibawa. Jadi bebas mau membawa apa saja Panitia hanya menentukan seragam dan peralatan shalat yang akan digunakan di perjalanan; santri wajib membawa baju warna putih, sajadah dan songkok/kopiah karena mereka akan menunaikan shalat jum’at di perjalanan.
Mulanya Panitia memperkirakan peserta akan shalat Jum’at di Pos III Masjid Duko. Akan tetapi karena masih terlalu pagi, maka panitia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan peserta ke Pos IV SMP I Ganding, Duwe’ Labuh. Di situlah para peserta dan panitia menunaikan shalat Jum’at, di masjid yang sangat sederhana sekali karena masih belum selesai direnovasi.
Mahmudi Abd. Halim S. Pd. I, pengurus keamanan dan ketertiban PPA Nirmala yang juga merancang rute perjalanan, mengatakan bahwa jarak tempuh rute Jelajah Alam kali tidaklah jauh berbeda denga tahun-tahun sebelumnya, karena dikhawatirkan para santri usia SLTP tidak mampu menuntaskannya.
Dari Pos I sampai Pos VII para peserta Jelajah Alam disuguhi dengan berbagai macam pertanyaan seputar kepramukaan, keagamaan, pengetahuan umum, dan sejarah PPA Nirmala yang disajikan dengan bentuk tulisan sandi, kemudian nanti para peserta menerjemahkan soalnya untuk dijawab dan diserahkan kepada panitia. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi materi-materi yang disajikan selama pekan monitoring berlangsung, yakni mulai 9-23 Januari.
Untuk mengantisipasi bila ada peserta Jelajah Alam yang kelelahan, maka panitia menyiagakan setidaknya tujuh sepeda motor di tiap-tiap pos. Tahun-tahun sebelumnya selalu saja ada santri yang kelelahan. A. Barry misalnya dari regu Black Eagle hanya bisa menuntaskan perjalanannya sampai di Pos VII, tidak sampai ke PPA Nirmala karena kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan.
M. Nuruzzaman, ketua panitia pekan kepramukaan dan monitoring, mengatakan pada waktu apel malam bahwa meskipun secara formal kegiatan Pekan Monitoring telah ditutup, namun jika aktivitas santri di dalam melaksanakan kegiatan pesantren tidak aktif, terutama shalat jama’ah dan kebersihan, maka pengurus pesantren akan memperpanjang masa Pekan Monitoring.

Jumat, Januari 23, 2009

Wakil Konsulat Amerika Berkunjung ke Annuqayah

M Mushthafa, Sekretariat PPA

GULUK-GULUK—Wakil Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jeffrey M. Loree, Kamis (22/1/2009) siang kemarin melakukan Kunjungan Kehormatan ke Pondok Pesantren Annuqayah. Dalam kunjungannya yang merupakan kunjungan pertama ke Madura ini, Jeffrey didampingi oleh salah satu asistennya, Ahmad Cholis Hamzah.
Jeffrey dan Cholis, yang tiba di Annuqayah pada pukul 09.00 WIB., diterima di kediaman K.H. Ahmad Basyir AS. Hadir dalam ramah tamah tersebut K.H. Ahmad Basyir AS, K.H. Moh. Ishomuddin AS, K.H. Abd. Muqsith Idris (ketiganya Dewan Masyayikh PP Annuqayah), K.H. A.Hanif Hasan, H. Panji Taufiq, K. A. Syauqi Ishom, dan M. Mushthafa.
Tidak ada acara khusus dalam kunjungan kehormatan ini. Jeffrey, yang sudah cukup sering berkunjung ke banyak pesantren yang lain di Indonesia, selepas ramah tamah berkeliling ke sebagian komplek Annuqayah. Dari kediaman K.H. Ahmad Basyir AS, Jeffrey dan Cholis didampingi berkeliling ke MA 1 Annuqayah Putri, STIKA Putri, komplek PPA Latee Putra, dan STIKA Putra. Rombongan sempat singgah di Perpustakaan dan Laboratorium Komputer MA Putri, Warnet Annuqayah Putri, Laboratorium Bahasa, dan juga sempat melihat-lihat komplek pondok yang masih menggunakan bangunan semi-permanen.
Saat sebelumnya ramah tamah berlangsung, muncul beberapa pertanyaan tentang peran Amerika Serikat dalam konteks perdamaian dunia, khususnya menyangkut kemelut Israel-Palestina yang sedang aktual. Jeffrey, yang tak lama lagi akan bertugas di Yordania, menjelaskan posisi Amerika dalam kemelut tersebut dan program bantuan sosial yang dilakukan ke wilayah konflik. “Memang, ada pandangan-pandangan yang kurang utuh tentang posisi Amerika dalam kemelut Israel-Palestina,” jelas Jeffrey. Di akhir perbincangan, H. A. Panji Taufiq menegaskan bahwa Amerika punya peran yang besar untuk menciptakan perdamaian dalam kasus pembantaian rakyat Palestina. “Kami berharap Amerika dapat menegaskan peranannya untuk memperjuangkan masa depan kemanusiaan yang lebih baik,” demikian H. A. Panji Taufiq menekankan.
Jeffrey dan Cholis meninggalkan Annuqayah sekitar pukul 10.30 WIB. Mengomentari kunjungan ini, H. A. Panji Taufiq secara umum menggarisbawahi bahwa ini adalah bentuk keterbukaan pesantren untuk menerima tamu siapa saja. “Dalam tradisinya, pesantren selalu terbuka dan siap untuk menerima siapa saja. Penghormatan terhadap tamu adalah salah satu ajaran agama yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren,” pungkasnya.

Darullughah Latee Adakan Ujian Semester Gasal

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Sederetan ujian baik formal ataupun Diniyah mungkin sudah berakhir, tapi untuk para santri Darullughah Latee tidak. Sebab pada hari Kamis (22/1) kemarin, Darullughah, sebuah kompleks bahasa Arab di PPA Latee, mengadakan ujian Semester 1. Ujian yang dimulai pada jam 13.00 WIB ini diikuti oleh seluruh santri Darullughah tanpa terkecuali.
"Ujian ini kami lakukan dalam rangka mengevaluasi perkembangan penguasaan bahasa arab para santri selama satu semester ini," tutur Umarul Faruq selaku penanggung jawab ujian ini.
Untuk diketahui, sejak tahun 2006 lalu Darullughah telah menjadi lembaga semi independen di PPA Latee baik secara kurikulum maupun secara peraturan kepesantrenan.
Faishal Khair, Direktur Darullughah, sangat berterima kasih pada seluruh pengurus Darullughah yang telah membantu terealisasinya ujian ini. "Saya sangat berterima kasih pada seluruh pengurus Darullughah karena berkat jerih payah mereka ujian ini bisa terlaksana dengan nyaris tanpa hambatan meskipun mereka harus meninggalkan tugas-tugas mereka yang mungkin sangat penting," ungkapnya.
Ujian ini pun disambut dengan penuh semangat oleh para santri karena menurut mereka dengan adanya ujian ini mereka bisa tahu seberapa jauh perkembangan kemampuan atau penguasaan mereka dalam berbahasa Arab.

Kamis, Januari 22, 2009

Tahlil untuk Sang Kiai dan Refleksi Bersama


Bernando J Sujibto & Imam Mahdi, IAA Yogyakarta

YOGYAKARTAHari Rabu (21/1/2009) habis Magrib, sekitar pukul 18.20, base camp Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta lain dari biasanya. Rumah berukuran 10x12 itu dipenuhi puluhan orang dengan banyak wajah baru. Mereka adalah alumni Annuqayah di Yogyakarta yang jarang bertemu dalam keseharian datang ke kontrakan rumah yang baru jalan satu tahun itu, sehingga satu sama lain seperti berkenalan lagi, apalagi banyak senior yang datang dalam acara itu.
Acara bertajuk "Tahlil untuk Sang Kiai dan Refleksi Bersama" itu dihelat untuk mengenang dan berdoa bersama mengiringi kepergian guru kami KH. M. Mahfoudz Khusaini, salah satu pengasuh tersepuh di almamater kami Annuqayah. Kepergian beliau adalah luka yang mendalam bagi kami, segenap alumni Annuqayah di Yogyakarta. Rasa kehilangan yang diemban oleh santri dan semua masyarakat Annqayah juga dirasakan di hati alumni Annuqayah di Yogyakarta, yang diwujudkan dalam acara doa dan refleksi bersama.
Di antara alumni yang hadir dalam kesempatan ini adalah Maulidi Al-Hasany dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai salah satu ahlil bait almarhum sehingga tahlil yang dipimpin oleh Salman Rusydie Anwar dan doa yang dipimpin oleh Maulidi lalu dilangsungkan dengan refleksi itu terasa menyentuh. Semua cerita tentang masa lalu beliau di hati murid dan santri-santrinya mengalir dari peserta yang hadir, terutama senior-senior yang mempunyai talian kisah langsung bersama almarhum.
Acara yang demikian hidmad itu memberikan ruang special dimana memori tentang masa lalu bersama para guru dan kiai datang bersambut di hati semua peserta. Suasana yang jarang sekali terlintas di benak teman-teman itu tiba-tiba seperti dibentuk makna kehilangan tentang seorang kiai dan guru paling disegani dan paling sepuh di Annuqayah. Kesempatan ini juga menjadi ajang refleksi di benak masing-masing peserta tentang peran sosok seorang besar yang telah secara tidak sengaja menciptakan karakter alumni secara umum, tentang ketabahan dan kesabaran yang kerap diajarkan beliau kepada santrinya.
Dari salah satu refleksi, seperti dituturkan Al-Fayyadl, almarhum merupakan cikal-bakal dunia kepenulisan di pesantren Annuqayah setelah Kiai Amir Ilyas. Karena almarhum telah merampungkan kitab kuning berjudul Manzhumah Annuqayah, yang menjadi salah satu rujukan nama Pondok Pesantren Annuqayah sendiri. Jadi maklum kalau kemudian ijazah beliau mengalir kepada semua santri-santrinya, seperti menjadi penulis alumni Annuqayah yang bertebaran dimana-mana terutama di Yogyakarta.
Maulidi juga mempertanyakan apakah kita semasih di pondok pernah mengaji kitab itu atau paling tidak mengenalnya? Peserta yang hadir tampak kelimpungan dengan sodokan pertanyaan itu. Ini pertanda bahwa kitab karya putra Annuqayah sendiri belum dihargai semestinya. "Kalau begitu, bagaimana jika kita ngaji kitab itu kapan-kapan di sini?" tanya Maulidi diangguki sekitar 26 peserta yang hadir.
Acara tahlil dan doa ini akan berlanjut hingga 7 hari. Jadi kesempatan refleksi tentang Annuqayah akan semakin mendewasakan para alumni di Yogyakarta.

Hilangkan Penat dengan Senam Kebugaran Jasmani (SKJ)


Sumarwi, PPA Nirmala

GULUK-GULUK—Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kira-kira slogan itulah yang menjadi salah satu latar dari dilaksanakannya Senam Kebugaran Jasmani (SKJ) kemarin (21/09) di PPA Nirmala. Senam Kebugaran Jasmani ini, yang merupakan salah satu kegiatan dalam Pekan Monitoring, diupayakan diselenggarakan agar agenda Pekan Monitoring berjalan seefektif mungkin.
Senam yang terdiri dari gerakan-gerakan teratur yang diiringi dengan alunan musik agresif-responsif ternyata mempunyai beberapa manfaat penting bagi kesehatan tubuh. Pertama, dapat mengencangkan otot-otot yang kaku; kedua, bisa menjaga badan agar tetap sehat, karena senam juga merupakan bagian dari olahraga; ketiga membantu memperlancar sirkulasi darah.
Pengurus Kepramukaan, PMR dan Olahraga (P20) PPA Nirmala, Moh. Ishak, mengatakan bahwa kalau Senam Kebugaran Jasmani (SKJ) diikuti dengan serius, maka itu bukan hanya akan berpengaruh pada kesehatan tubuh saja, akan tetapi juga berpengaruh pada aspek psikis yaitu dapat menyegarkan otak, karena di dalam senam ada gerakan-gerakan teratur yang diawali dengan pemanasan, gerakan inti, dan yang terakhir adalah pendinginan. Hal senada juga disampaikan oleh A. Fadali, ketua pengurus PPA. Nirmala. Menurutnya senam berfungsi untuk menghilangkan rasa penat dan capek santri yang selama seminggu belajar dan beraktivitas. “Senam Pramuka di Nirmala sudah sangat dikenal di kalangan santri, sehingga sulit rasanya ditinggalkan. Bahkan senam bisa dikatakan menjadi ciri khas pondok ini,” tambahnya.
Moh. Munaji, salah seorang santri yang sekarang aktif di kegiatan Pramuka Gugus Depan (Gudep) 0761, mengatakan bahwa senam pramuka yang dipopulerkan oleh Kwartir Nasional Pramuka itu menjadi menu wajib lomba di setiap perkemahan, baik di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi. “Menurut saya, selain senam itu menarik dan asyik, juga memang materi yang harus kami kuasai di dalam kegiatan pramuka,” kata santri yang lahir pada 19 Desember 1990 ini.

Selasa, Januari 20, 2009

Kisah Pilu Anak-Anak di Medan Perang


An’amah, PPA Al-Furqaan Putri

GULUK-GULUK—Hari Ahad (18/01/09) kemarin sekitar pukul 08.30 wib Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah mengadakan pemutaran film berdurasi 95 menit berjudul Turtles Can Fly. Acara ini dihadiri oleh sekitar 41 peserta dari berbagai delegasi: OSIS SMA 3 Annuqayah, OSIS MTs 3 Annuqayah, OSIS MA 1 Annuqayah, LPM STIK Annuqayah serta beberapa pengurus perpustakaan dari berbagai komplek di Annuqayah, dan lain-lain.
Sebelum menyaksikan film ini bersama-sama, Siti Nujaimatur Ruqoyyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, tampil membacakan satu cerpen karya Asma Nadia berjudul “Merah di Jenin”, sebuah cerpen yang mengisahkan tragedi keluarga muslim Palestina yang diserbu tentara Israel.
Turtles Can Fly, yang disutradari oleh Bahman Ghobadi, ini pernah memenangi beberapa penghargaan pada tahun 2004: San Sabastian International Film Festival Best Film dan San Paulo International Film Festival International Jury and Audience Award. Dan, pada tahun 2005 film ini kembali menyabet beberapa penghargaan: Rotterdam International Film Festival Audience Award, Chichago International Film Festival Special Jury Award, Tbilisi Internatonal Film Festival Golden Prometheus Best Film dan Berlin Film Festival Best and Feature Film and Peace Film Award.
Berlatar belakang Suku Kurdi yang menggambarkan tentang kemiskinan, kepedihan dan bagaimana beratnya menjalankan kehidupan dalam peperangan, film ini berkisah tentang sekelompok anak yang menghidupi diri mereka dengan menggali ranjau-ranjau darat yang tersebar di sekitar mereka di sebuah kamp pengungsi di desa Kanibo dalam tekanan rezim Saddam Hussein dimana kehidupan di sana sangat terbatas. Termasuk betapa sulit dan sangat terbatasnya mendapatkan informasi melalui saluran televisi di tengah simpang-siurnya isu bahwa Amerika akan menyerang Irak.
"Setelah nonton film ini saya merasa menjadi anak yang sangat beruntung sekali tinggal di Indonesia yang terbebas dari perang walaupun belum sepenuhnya 'merdeka'," komentar Ummul Karimah, ketua OSIS SMA 3.
Setelah menyaksikan bersama film ini, para hadirin memberi apresiasi. Ada yang berpendapat bahwa sebenarnya film yang dirilis tahun 2004 ini tidak terlalu menguras emosi. Cerita juga dibangun tidak begitu kuat, namun, sang sutradara, Bahman Ghobadi mampu menutupinya dengan iringan instrumen yang cukup menggugah dan menyentil perasaan.
Ada pula yang menyayangkan mengapa Ghobadi tidak menampilkan apa yang terjadi pada Satellite dan rakyat Irak—pada garis besarnya—setelah pasukan Amerika tiba di Irak.
Namun, apapun alasannya, perang tetap akan menyisakan derita kemanusiaan dan hanya akan menimbulkan luka masa lalu yang akan begitu sangat menyakitkan dalam jiwa anak-anak yang merasa tak lagi memiliki masa depan cukup cerah. Kira-kira demikianlah kesimpulan apresiasi para peserta acara nonton bareng ini, yang memang selaras dengan tujuan diadakannya acara pemutaran film ini.

Senin, Januari 19, 2009

Libur Semester Sekolah Formal, Lubangsa Adakan Pengajian Kitab "Risalatul Mu'awanah"

Supriyadi, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—PPA Lubangsa mengisi liburan sekolah formal pasca ujian semester pertama 2008/2009 dengan pengajian kitab kuning, yakni kitab Risalatul Mu’awanah. Kegiatan tersebut diadakan oleh pengurus seksi P2PK (Pandidikan, Pengajaran dan Pengembangan Intelektual).
Pagi itu, 16 Januari 2009, seusai shalat jama’ah Subuh di Masjid Jamik Annuqayah ada pengumuman yang datangnya dari pengurus PPA Lubangsa seksi P2PK yang menjelaskan bahwa untuk mengisi hari libur sekolah formal Annuqayah, maka akan diadakan pengajian kitab Risalatul Mu’awanah.
Bersamaan dengan itu pula suara bergemuruh terdengar di dalam masjid. “Duh, lessonah, adu capek deh,” ucap salah satu santri yang duduk di saf paling depan nomor dua dari selatan itu. Santri yang melontarkan nada keluhan ini ternyata tidak sendiri. Menurut Rafiq, siswa kelas II MAT Annuqayah, dirinya berencana istirahat selama liburan sekolah. “Karena saya kan baru selesai mengikuti ujian,” terangnya saat ditemui di teras depan Masjid. Dengan terpaksa dirinya harus menggagalkan rencananya itu.
Tapi lain halnya dengan Muhammad Nuh, siswa kelas II A MTs I Annuqayah. Dia malah terlihat gembira ketika mendengar pengumuman itu. Alasannya, dia selama kurang lebih satu tahun mondok di Lubangsa tidak pernah mengaji kitab sampai khatam. Jadi kesempatan ini tidak akan disia-siakan, karena menurut informasi yang dia terima dari pengurus pesantren, kitab tersebut akan dikhatamkan selama liburan.
Muhammad Khotib, anggota pengurus seksi P2PK, menuturkan bahwa tujuan kagiatan tersebut adalah untuk mengisi liburan sekolah formal Annuqayah. Meskipun pada dasarnya kegiatan tersebut tidak tertulis dalam program kerja. Karena pihaknya sebagai pengurus tidak menginginkan liburan tersebut oleh santri hanya diisi dengan santai-santai atau bahkan pulang. Dia menyadari bahwa akan ada keluhan dari santri, tapi biasanya hal itu hanya brtahan sementara waktu. ”Toh nanti juga akan terasa manfaatnya buat mereka,” komentarnya dan melempar senyum.
Beliau menambahkan, kitab tersebut rencananya akan dikhatamkan selama liburan, karena akan dibacakan full time, memaksimalkan waktu dalam setiap harinya. Pengajian rencananya akan diadakan mulai pagi sampai siang, terus sore dan dilanjutkan pada malam harinya. Santri hanya istirahat sebentar (untuk makan). Namun, berhubung dengan adanya beberapa kendala, maka pihaknya memutuskan untuk menjadwalkan pengajian itu pada pagi harinya saja, yaitu dari pukul 07:30 WIB sampai 11:00 WIB.

Minggu, Januari 18, 2009

Lubangsa Adakan Pengajian Kitab "Nazham Safinatus Sholah" Karangan Alm. Kiai Ilyas

Fandrik HS Putra, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Ahad (18-01-2009) pagi, pukul 05.07 WIB (ba’da subuh) seluruh santri Lubangsa khusyuk mengikuti pengajian kitab. Tak ada yang terlihat mengantuk, apalagi sampai tertidur pada pagi itu, karena pengajian kitab kali ini dibacakan langsung oleh pengasuh PPA Lubangsa sendiri yakni Drs. K.H. A Warits Ilyas.
Kitab yang dibacakan adalah Kitab Nazham Safinatus Sholah karangan almarhum K.H. Moh. Ilyas Syarqawi, yakni ayahanda Kiai Warits sendiri. Menurut beliau, kitab yang mulanya ditulis dalam bentuk prosa lalu diubah menjadi bentuk puisi (nazham) tersebut masih sulit didapat. Para santri yang ingin memiliki kitab tersebut harus melapor pada pihak pengurus pesantren terlebih dahulu. Itu pun bukan aslinya, melainkan fotokopian.
Seluruh santri sangat bersemangat mengikuti pengajian kitab tersebut, sebab sangat jarang Pengasuh membimbing pengajian kitab secara langsung kepada santri. “Selama saya berada di sini (Lubangsa, red), saya belum pernah melihat Bapak Kiai membimbing langsung pengajian kitab seperti ini,” ungkap Noval, salah satu santri lubangsa yang telah tiga tahun berada di Lubangsa.
“Biasanya Pengasuh hanya membimbing pengajian kitab pada saat-saat tertentu saja, seperti di bulan Ramadhan,” ungkap Moh. Shofi Miftah, salah satu pengurus PPA Lubangsa.
Namun para santri sebelumnya agak dibuat kecewa oleh pihak pengurus pesantren karena stok foto kopian sangat sedikit dan masih banyak santri yang belum mendapatkannya. “Padahal saya langsung ke kantor pesantren tepat setelah bel jam belajar berbunyi tadi malam,” kata Rizki yang mengeluh karena tidak kebagian kitab. “Seharusnya pengurus meyediakan lebih banyak karena ini adalah pengajian kitab karangan salah satu masyayikh Annuqayah,” imbuhnya.

Pekan Monitoring, Santri Nirmala Membuat Sapu Lidi


Subaidi, PPA Nirmala

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pondok Pesantren Annuqayah Nirmala mengadakan kegiatan Pekan Pendidikan Kepramukaan dan Monitoring, atau para santri lebih sering singkat menyebutnya Pekan Monitoring. Kegiatan yang dihandle oleh panitia khusus ini berlangsung dari tanggal 9-23 Januari 2009.
Sabtu sore (17/01), setelah shalat Ashar berjemaah, semua peserta dengan kostum pramuka lengkap berkumpul di halaman kantor PPA Nirmala. Rupanya kegiatan di sore yang cukup cerah itu adalah membuat hasta karya sapu lidi. Setelah semua peserta berkumpul, seorang panitia dengan megaphone mengomando semua peserta yang terbentuk dalam regu-regu itu untuk berangkat menuju kawasan Sumber Dadduwi. Sumber dadduwi sendiri terletak sekitar 100 m dari komplek Nirmala, ke arah utara. Dengan berbaris ala militer, semua regu bergerak menuju tempat dimaksud.
Tiba di kawasan Sumber Dadduwi, masing-masing regu langsung mengambil pelepah kelapa yang telah disiapkan panitia. Dengan peralatan seadanya, semua peserta menurut regunya masing-masing bekerja kompak, memotong daun kelapa helai demi helai dari pelepahnya. Mereka dituntut bekerja cepat dengan kerja sama antar peserta, sebab alokasi waktu yang disediakan tidak terlalu banyak. Kemudian dengan cukup cekatan, tangan-tangan santri yang biasa dengan kegiatan kepramukaan memisahkan daun dari lidinya hingga bersih. Setelah cukup bersih, lidi-lidi itu dikumpulkan menjadi satu dan diikat dengan sepotong tali, maka jadilah sebuah sapu lidi. Nantinya sapu lidi ini akan digunakan untuk membersihkan halaman dan sekitar pondok.
Di tengah kesibukannya memantau jalannya kegiatan, M. Nuruz Zaman, ketua panitia Pekan Monitoring ini, memaparkan tujuan kegiatan pembuatan hasta karya dari sapu lidi ini adalah untuk mempupuk kreativitas santri. Di samping itu, kegiatan seperti ini akan meminimalisasi budaya konsumtif dengan bergantung pada sapu hasil pabrikan yang dijual dengan harga yang relatif mahal. Apalagi pembuatan sapu lidi ini menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan yang paling penting bermanfaat serta ekonomis.
Senada dengan apa yang disampaikan ketua panitia, M. Quraisyi, salah seorang peserta mengungkapkan, bahwa kegiatan seperti ini akan membuat dirinya kreatif dan disiplin karena acaranya diformat dengan kepramukaan yang mengedepankan kedisiplinan dan kerja sama. Lain halnya dengan Rifqi Atho'illah. Dia mengikuti kegiatan ini hanya karena senang-senang saja, "Yang penting enjoy!" begitu kata siswa kelas satu MTs yang tinggal di komplek Bahasa Inggris ini.
Pekan Pendidikan Monitoring sendiri diselenggarakan sebagai rangkaian dari kegiatan pekan-pekan lainnya–pekan orientasi yang diselenggarakan di awal tahun, pekan monitoring di pertengahan tahun, dan pekan evaluasi di akhir tahun. Pekan Monitoring, seperti disampaikan Pengasuh Harian PPA Nirmala, K.H. A. Hamidi Hasan, pada suatu kesempatan, bertujuan untuk memonitor kegiatan santri setelah setengah tahun kegiatan pendidikan di pesantren berjalan. Semacam evaluasi pertengahan tahun.

Kamis, Januari 15, 2009

Siswa Kelas XII MA Tahfidh Adakan Syukuran Lepas Ujian

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Ujian MA Tahfidh telah berakhir sejak Rabu (14/1) kemarin. Sebagai bentuk rasa syukur, kelas XII MA Tahfidh mengadakan acara makan bersama yang dilaksanakan pada Rabu malam (14/1) di halaman STIKA Putri. Acara makan bersama yang dimulai sejak pukul 19.00 WIB dan berakhir pada pukul 23.00 WIB ini tidak diikuti oleh siswa kelas XII secara keseluruhan tapi hanya siswa yang mondok di PPA Latee dan beberapa lora Annuqayah.
Sebelum acara makan bersama dilakasanakan, siswa kelas XII MA Tahfidh terlebih dahulu memasak apa yang akan mereka makan, seperti nasi dan lauk-pauknya, lalu beristhighasah bersama untuk warga Palestina dan kelulusan mereka di UN nanti.
"Selain untuk memperat persahabatan, kami ingin acara ini menjadi kenangan yang tak terlupakan ketika kami berpisah nanti," tutur Rozi el Umam selaku pencentus acara ini. Selain itu, ketika dia ditanyakan mengapa harus istighasah juga, dia mengatakan istighasah ini adalah bentuk keprihatinan pada Palestina yang terus-menerus digempur oleh Israel.
Sedang menurut ketua kelas XII, Ach. Mukhlas, dia bahagia sekali karena teman-temannya masih sempat berkumpul walaupun keesokannya harinya mereka akan mengikuti ujian diniyah. "Saya bahagia kerena teman-teman bisa berkumpul meskipun besok ada ujian diniyah. Ini tanda bahwa kekompakan kami masih belum luntur."
Acara makan bersama ini juga diikuti oleh satu orang siswa kelas X dan satu orang siswa kelas XI MA Tahfidh.

Selasa, Januari 13, 2009

Santri Lubangsa Istighasah untuk Palestina

Supriyadi, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Selasa 06/01/2009 PPA Lubangsa menggelar istighasah untuk keselamatan warga Palestina yang belakangan ini dibantai habis-habisan oleh tentara Israel. Semua pengurus pesantren menghalau santri untuk mendatangi Masjid Jamik Annuqayah. Santri yang sedang tidur pun dibangunkan. Pada waktu itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 22:45 WIB. Jadi santri banyak yang sudah tidur.
Sebelum istighasah dimulai, Luqman, ketua pengurus PPA Lubangsa, menjelaskan maksud istighasah yang bersifat mendadak tersebut. Menurutnya, istighasah dilaksanakan atas intruksi pengasuh langsung pengasuh PPA Lubangsa, Drs. K.H. A. Warits Ilyas. Beliau mendapat kabar via SMS dari salah satu sahabat beliau yang mengabarkan bahwa Palestina tepatnya di jalur Gaza saat itu dibantai habis-habisan oleh tentara Israel. Luqman kemudian memberi penjelasan lebih terperinci tentang nasib warga Palestina yang tiada henti dibombardir Israel. Mendengar penjelasan Luqman, para santri tampak prihatin mendengarnya.
Luqman malanjutkan, atas permintaan pengasuh santri diminta untuk membaca surat Al-Fatihah satu kali dan dilanjutkan dengan doa bersama. Setelah itu, istighasah dimulai. Santri pun mengikutinya dengan khusyuk pula. Bahkan di antara mereka ada yang sampai meneteskan air mata saat mengaji. Menurut Syamsul (bukan nama sebenarnya), salah seorang santri yang ikut istighasah, dirinya merasa prihatin dan terharu ketika mendengar orang muslim dibantai. Dia tidak dapat menahan genangan air matanya untuk dibendung.

Senin, Januari 12, 2009

Kisah Seorang Pengemis di Hari Ujian

Subaidi, PPA Nirmala

Memanfaatkan momentum pelaksanaan ujian yang sedang berlangsung di lingkungan Annuqayah, Ahad (11/01) kemarin tiba-tiba datang seorang pengemis ke lingkungan MTs 1 Annuqayah Putra. Begitu tiba, pengemis itu langsung duduk di depan pintu kelas III E. Dengan kaki meringkuk dan kedua tangan menengadah, ia meminta iba siswa-siswa yang sebagian telah selesai mengerjakan soal-soal ujian. Tampaknya pengemis itu sedang beruntung. Dari sekian siswa MTs 1, tak sedikit yang terketuk hatinya dan memberikan uang receh, mulai dari pecahan 500 sampai seribu rupiah. Bahkan Bapak Ainul Fadhal, salah seorang pengawas ujian juga ikut merogoh sakunya untuk memberikan derma kepada pengemis tersebut.
Usia pengemis itu sekitar 55 tahun. Ia mengaku bernama Pak Puniyah, dari Gadu Timur Ganding. Pakaiannya awut-awutan dan kumal tapi tidak compang camping, memakai peci nasional yang sudah menguning, kaos dari salah satu partai, kemeja warna biru yang sudah luntur warnanya, sarung kotak-kotak yang bagian bawahnya seperti diplintir, menggulung kecil, dan memakai sandal jepit yang sudah hampir blong di bagian tumitnya. Saku bajunya disesaki uang receh berupa koin dan uang-uang kertas hasil pemberian orang yang baik hati.
Tanpa enggan sedikitpun dia bercerita seputar profesinya sebagai pengemis. "Kor la cokop buat beli Bodrex, kaula paleman cong!" (asal cukup buat beli Bodrex, saya pulang, nak!). Begitu paparnya dengan sedikit terbata. "Ongguna sengkok tak ebeki ben anak, todus." (Sebenarnya, saya dilarang anak kerja seperti ini, katanya malu). Ketika ditanya berapa pendapatannya perhari dari mengemis, dia enggan menyebutkan. Ceritanya berlanjut tentang kehidupannya waktu dulu. Katanya, ia pernah bersama-sama dengan salah satu masyayikh Annuqayah mengerjakan galian (mungkin galian bangunan). Dan dia bercerita tentang komplek Annuqayah tempo dulu yang katanya cuma ada dua dhalem, tapi sekarang sudah berpuluh dhalem. Ada sedikit nada kagum dalam ceritanya di bagian ini.
Fatihul Abror dan Ilham Akbar Sulthon, keduanya siswa kelas II A, yang kebetulan juga memberikan sebagian uang recehnya, mengungkapkan rasa belas kasihnya kepada pengemis tua itu. "Kasihan, saya membayangkan bagaimana kalau pengemis itu orang tua saya," kata Sulthan dengan mata berkaca-kaca. Berbeda dengan kedua siswa kelas II A tersebut, salah satu TU yang enggan disebut namanya, menilai bahwa penampilan pengemis itu sebenarnya dibuat-buat agar dapat menarik iba orang-orang yang ditemuinya. Namun terlepas dari hal itu, pengemis adalah fenomena tersendiri di tengah kondisi bangsa kita sekarang ini.

Minggu, Januari 11, 2009

Ujian Madrasah Diniyah Latee Digelar Kamis Mendatang

Ahmad Al Matin, PPA Latee

GULUK-GULUK—Ujian Madrasah Diniyah PPA Latee tahun ini mungkin akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya ujian yang akan dilaksanakan pada Kamis (15/1) mendatang akan bersamaan dengan hari-hari terakhir ujian sekolah formal. Karena itu, banyak santri yang merasa keberatan dengan akan dilaksanakannya ujian pada hari itu. Menurut mereka, jika pelaksanaan ujian dilaksanakan pada hari kamis depan, maka itu akan sangat mengganggu konsentrasi mereka yang ingin mereka fokuskan pada ujian sekolah formal.
“Kalau ujian Diniyah dilaksanakan Kamis depan, saya merasa tidak siap, karena ujian di sekolah saya, MA 1 Annuqayah, akan berakhir pada hari Sabtu (17/1),” ungkap Homaidi, salah satu santri Latee yang juga menjadi siswa MA 1 Annuqayah.
Hal senada diungkapkan Luqman Yasir, salah satu siswa SMA 1 Annuqayah. “Mungkin bagi saya jika ujian dilaksanakan pada hari Kamis tidak terlalu mengganggu soalnya ujian di SMA selesai pada hari Kamis, tapi saya cuma kasihan pada teman-teman yang ujian sekolah formalnya masih belum selesai,” komentarnya.
Sedang menurut Ustadz Athw Busthami, Kepala Madrasah Diniyah, keputusan tentang waktu pelaksanaan ujian Diniyah tersebut bukanlah dari dirinya sendiri melainkan hasil rapat dengan pengurus yang lain. “Pelaksanaan ujian Madrasah Diniyah bukan semata-mata dari saya sendiri tapi hasil rapat dengan ketua pengurus Latee dan Koordinator Keamanaan. Kami memutuskan seperti itu sebagai antisipasi agar santri yang sudah selesai ujian seperti MTs dan MAT tidak pulang. Tentang mereka yang masih belum selesai ujian, saya juga kasihan, tapi mau bagaimana lagi, wong itu sudah keputusan rapat. Lagipula ujian yang belum selesai kan cuma MA 1, sedangkan SMA berakhir pada hari kamis,” tuturnya.

Sabtu, Januari 10, 2009

Pelantikan LPM Putra STIK Annuqayah

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Jum’at kemarin (9/1/2009) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Putra Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman (STIK) Annuqayah mengadakan acara pelantikan dan pelatihan riset yang diikuti oleh pengurus LPM baru masa bakti 2008-2009 dan diikuti oleh beberapa peserta undangan yang hadir pada acara tersebut.
Acara yang dikemas dengan bentuk seremonial pelantikan pengurus LPM baru itu dihadiri oleh PK III STIKA K. M. Hosnan A Nafi’ sekaligus yang melantik jajaran pengurus LPM baru. Acara ini dihadiri pula oleh Fathol Khalik, dosen STIKA dan peneliti senior, yang menjadi pemateri acara pelatihan riset.
Menurut Ahmadi, ketua LPM baru, LPM beberapa tahun terakhir ini mengalami kemajuan yang begitu pesat. Terbukti pada tahun lalu (2008) pengurus LPM bisa melaksanakan tri darma mahasiswa yang kedua, yaitu penelitian. Maka pada tahun ini pengurus LPM menambah lagi satu divisi yakni divisi kaderisasi. “Pada struktur baru ini kami nenambahkan lagi satu divisi guna mengembangkan potensi-potensi yang ada di LPM,” ungkapnya pada saat sambutan.
Terkait dengan divisi yang baru ini, sebagai kader awal, pengurus LPM mengundang sejumlah mahasiswa STIKA yang mengikuti kegiatan karantina kepenulisan dalam acara pelatihan tersebut. ”Kami memberi ruang bagi mereka (peserta undangan) sebagai anggota magang LPM,” imbuhnya.
Sementara itu, majalah Fajar terbitan tahun lalu banyak menuai pujian. Itu dikarenakan mampu memuat banyak data terkait tema yang dibidik. “Majalah Fajar kali ini menurut saya adalah majalah mahasiswa terbaik se-Madura,” ungkap Fathol Khalik di sela-sela acara tersebut.

Senin, Januari 05, 2009

Persiapan Santri Lubangsa Menghadapi Ujian Semester Ganjil

Supriyadi, PPA Lubangsa

Bagaimana persiapan santri Lubangsa menghadapi ujian semester pertama di sekolah formal Annuqayah? Hari Ahad 4/1/2009 tepatnya pada pukul 19:00 WIB suasana Lubangsa benar-benar sepi—tidak seperti biasanya. Sepertinya tidak ada satu suara pun yang muncul dari santri yang lagi serius belajar di depan asrama kawasan Blok F itu. Ada yang duduk, berbaring, dan posisi mereka sambil memegang buku mata belajaran di tangannya.
Suasana itu tidak seperti hari-hari sebelumnya, yang mana selalu terdengar suara santri yang bergurau meskipun jam belajar di pesantren sedang berlangsung. Pengurus yang datang untuk menegur mereka hanya mampu meredam saat pengurus itu masih ada di depan mereka. Kalau sudah tidak ada, gurau mereka pun berlanjut. Sedangkan bagi mereka yang suka berdongeng dan ngobrol, mereka berkumpul dan berbagi cerita satu sama yang lain. Mungkin hanya segelintir santri yang menggunakan jam belajar pesantren dengan serius. Itu pun harus mencari tempat yang sepi seperti di masjid agar tidak terganggu.
Sebut saja Muhklis (bukan nama sebenarnya) yang sedang duduk di bangku kelas X SMA 1 Annuqayah. Dia mangaku tidak punya persiapan sedikit pun dalam menghadapi ujian semister pertama ini. Dia hanya mengandalkan malam itu untuk belajar semaksmal mungkin agar dapat menjawab soal ujian Ekonomi dan Fiqih keesokan harinya (Senin 5/1/2009)—hari pertama ujian. Dia adalah lulusan MTs 1 Annuqayah pada tahun 2007 kemarin. Hal semacam itu sudah terbisa dia lakukan sejak masih duduk di bangku MTs. Di saat ujian, Muhklis tidak sekadar memaksimalkan belajarnya saja, tapi juga ibadahnya pun ditingkatkan. Dia termotivasi untuk bangun malam untuk menunaikan Sholat Tahajjud dan dilanjutkan dengan belajar.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Muhammad Sulaiman, siswa kelas XI MA 1 Annuqayah. Kalau sebelum ujian, dia hanya belajar maksimal 1 jam selama 24 jam. "Saat ujian, mau tidak mau jadwal belajarnya harus digenjot karena saya takut tidak naik kelas," cetusnya ketika ditemui di pondoknya.
Bapak Rohanna yang menjabat sebagai Pengurus Pesantren Kasi P2PK (Penididikan. Penalaran dan Pengembangan Keilmuan), ketika ditemui saat piket mengontrol santri di kawasan Blok F itu mengatakan, pihaknya merasa khawatir akan kesiapan santri (siswa) Lubangsa dalam menghadapi ujian semester pertama ini. Karena pada H-5 sama sekali tak terlihat peningkatan belajar santri untuk menghadapi ujian. Kalau berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, sangat berbeda. Kalau ujian sudah akan dilaksanakan, maka jauh hari sebelumnya santri sudah memadati Masjid dan pasarean untuk dijadikan tempat belajar. "Kalau sekarang jarang santri yang belajar di asta," ucapnya sambil menghisap satu batang rokok yang dipegangnya itu.
Sambil memegang tongkat yang berukuran 1 meter itu dia menambahkan bahwa yang menjadi faktor penurunan belajar santri itu adalah kurangnya kesadaran pada diri mereka. Sehingga mereka lupa akan tujuan yang sebenarnya dimondokkan ke pesantren. Namun pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin, bagaimana agar santri itu kembali sadar. "Kalau kesadaran itu sudah ada maka semuanya gampang," tambahnya.

Jumat, Januari 02, 2009

2008: Prestasi MA Tahfidh Annuqayah Menurun

Ahmad Al Matin, PPA Latee

Dunia ini berputar, terkadang di bawah dan terkadang di atas. Kata-kata ini mungkin pas untuk MA Tahfidh (MAT) Annuqayah yang belakangan ini kurang produktif menghasilkan prestasi.
MA Tahfidh Annuqayah sejak tahun 2005 dikenal sangat produktif menghasilkan prestasi baik itu tingkat lokal ataupun nasional, lebih-lebih dalam hal karya tulis baik sastra maupun ilmiah. Namun dalam satu tahun terakhir MAT bisa dibilang nyaris mandul. Ini terbukti dengan hanya tiga prestasi yang diraih MAT dalam satu tahun terakhir yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata mencapai 15 kali mendapat juara dalam satu tahun.
Menurut beberapa siswa yang sempat diwawancarai tim Pusat Data Annuqayah, merosotnya prestasi MAT di antaranya cukup terkait dengan pergantian jajaran pimpinan MAT dan apresiasi mereka yang sangat minim bahkan terbilang tidak ada terhadap kreativitas siswa.
“Kalau masalah prestasi MAT yang menurun, jangan ditanya lagi penyebabnya. Soalnya penyebabnya sangat banyak. Salah satunya adalah ketika siswa mau mengikuti lomba, MAT tidak mau mengeluarkan uang walau hanya seratus rupiah. Namun apabila dalam lomba itu siswa mendapatkan juara, pialanya mau diambil,” papar Ahmad Readi salah satu siswa kelas XII MA Tahfidh.
Hal senada dituturkan oleh Moh. Hauqil. Siswa yang baru saja mendapatkan Juara I Lomba Karya Tulis se-Indonesia ini mengatakan bahwa salah satu yang menyebabkan siswa MAT malas mengikuti lomba adalah kurangnya tanggapan serius dari pihak pengelola madrasah, dan juga undang-undang Madrasah yang mulai mengikat siswa untuk bebas berkarya, seperti harus masuk kelas meskipun guru materinya belum hadir, dan jika tak masuk kelas dalam jumlah tertentu siswa tidak boleh mengikuti ujian. Peraturan itu menurut siswa terlalu mengikat dan membuat siswa kurang semangat memberikan konstribusi prestasi. “Memang sih madrasah itu perlu adanya undang-undang. Tapi kalau sampai menghilangkan semangat siswa untuk berkarya, itu bisa dibilang keterlaluan,” kata Hauqil.
Hal ini juga didukung oleh K. Hasan Basrawi, salah satu guru MAT. “Saya sudah bilang sama orang kantor agar kalau mau membuat undang-undang Madrasah jangan terlalu ketat, soalnya bisa mengurangi prestasi MAT. Coba kita lihat sebelum diketatkannya undang-undang MAT, banyak kan siswa MAT yang berprestasi,” tandasnya.
Selain itu, menurut Umarul Faruq, Ketua OSIS MAT tahun pelajaran 2007-2008, salah satu penyebab merosotnya prestasi MAT adalah kurang ketatnya tes seleksi masuk MAT sehingga siswa MAT banyak yang tidak mempunyai skill yang dapat diandalkan dalam event-event lomba. “MAT sekarang hanya mengedepankan kuantitas bukan mengedepankan kualitas,” kata Umarul Faruq dengan raut muka serius. Untuk diketahui, tahun pelajaran 2008/2009 ini MAT menerima 80 siswa baru, sedangkan tahun pelajaran sebelumnya sejumlah 40 siswa.
“Kalau masalah informasi lomba selama ini kita kan sering cari di internet dan media cetak, tapi bagaimana mau nyari kalau apresiasinya kurang dari kantor,” tambah Faruq.
Hal ini dibantah oleh Bapak Usman Fatmala, Waka Kesiswaan MAT. Menurutnya, menurunnya prestasi bukan disebabkan oleh peraturan Madrasah yang semakin ketat melainkan semangat siswa yang merosot dan minimnya lomba yang diadakan. “Bukan orang kantor yang tidak mau menyambut prestasi dan lomba tapi siswa saja yang kurang semangat mengikuti lomba.”
Pendapat ini pun didukung oleh ustadz Abdul Basith Danker, salah satu guru MAT. Menurut beliau prestasi MAT menurun bukanlah disebabkan kurangnya apresiasi orang kantor melainkan minimnya lomba yang dilaksanakan tahun ini.