Rabu, April 14, 2010

A’yat Syafrana G. Khalili: Penyair Muda dari Latee

Hairul Anam al-Yumna, PPA Latee

10-07-1990 adalah angka bersejarah. Pada tanggal ini, bertempat di kampung Telenteyan, Longos, Gapura, Sumenep, telah lahir manusia genius yang nantinya menorehkan banyak prestasi yang sangat gemilang. Dia adalah A’yat Syafrana G. Khalili.

A’yat Syafrana G. Khalili bernama asli Khalili. Ia adalah santri PP Annuqayah daerah Latee yang telah lama bergelut dalam dunia kepenyairan. Puisi-puisinya diakui banyak kalangan sebagai syair lembut nan mencerahkan. Itulah Khalili, sosok sederhana yang kuasa melahirkan kreasi mengagumkan dan menyentuh perasaan sanubari terdalam.

Pendidikan dasarnya diselesaikan di desanya sendiri (MI Taufiqurrahman, 1997-2003), sedangkan SMP-nya di Yayasan Abdullah (YAS’A, 2004-2006) PP Mathali’ul Anwar, Pangarangan, Sumenep. Aktivitas menulis, khususnya sastra, cerita pendek, puisi, dan esai, dimulai semenjak dia belajar menulis catatan harian, surat-surat, dan sejenisnya. Ketika itu ia masih duduk di bangku akhir kelas II SMP, sekaligus menjadi ilustrator terpilih Majalah Deblis (Debat-Tulis, 2005-2006).

Di balik semua senyum-tawa yang sering menghiasi wajahnya, tersimpan torehan sejarah yang memiris hati. Orang tua Khalili tergolong keluarga miskin. Selama mengenyam masa pendidikan, seringkali Khalili dibenturkan dengan persoalan finansial. Tak jarang biaya SPP-nya nunggak. Untungnya, sekolahnya tidak terlalu mempersoalkan hal ini, selagi siswa tersebut menjunjung tinggi kejujuran.

Pakaian yang selalu dikenakan Khalili tergolong sederhana. Hanya saja, dia bisa membedakan, mana pakaian yang harus dipakai ketika bersih-bersih di dhalem KH Ahmad Basyir, AS, pengasuh PP Annuqayah Latee, tiap pagi dan sore, dan mana pula pakaian yang layak digunakan tatkala shalat berjama’ah. Walau pakaiannya sederhana, kerapian dan kesantunan selalu dia kedepankan.

Jangankan membeli pakaian mewah, mampu menghidupi dirinya sudah mujur. Ketika ditanya berapa jumlah uang bekal yang ia terima tiap bulan, santri yang mondok di PP Annuqayah Latee sejak Juli 2006 ini sangat sungkan menjawabnya. “Meski begitu, selama mondok saya masih diberi kecukupan oleh Allah. Apalagi perhatian Ny Umamah Makkiyah (istri KH Ahmad Basyir AS) sangat besar pada saya. Beliau sering memberi saya uang dan makanan,” ujarnya dengan nada yang polos.

Kesulitan hidupnya tidak membuat dia menyerah pada keadaan. Ia berkomitmen untuk menjadi manusia berprestasi. Tidak dapat dipungkiri, komitmen tersebut sangat berbanding lurus dengan banyaknya prestasi yang telah diraihnya. Bagi orang yang baru mengenalnya, tentu hal tersebut merupakan suatu hal yang mencengangkan.

Satu hal yang juga amat mengagumkan dari Khalili ialah kepeduliannya dalam mendidik santri yang punya minat besar terhadap sastra. Dengan menggagas berdirinya Rumah Sastra Bersama (RSB) Annuqayah, banyak santri yang ‘tertampung’ di dalamnya sehingga bisa serius dalam berproses menjadi sastrawan.

“Saya merasa puas dengan didikan yang diberikan Khalili. Awalnya saya kebingungan untuk merajut kata-kata dengan baik, tapi dengan ketelatenannya, Khalili mampu memompa semangat saya,” ungkap Nailur Ridla, salah satu santri yang menjadi anggota RSB.

Sejak kelas II SMP, Khalili sudah berprestasi. Setelah makin terangkat motivasinya dari pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui, ia nekat mengirim puisinya untuk lomba tingkat nasional setelah mengikuti pelatihan penulisan puisi bersama Balai Bahasa Surabaya di Annuqayah. Tak disangka-sangka ia pun tembus menjadi penulis terbaik ke-2 kategori karya sastra tingkat remaja nasional versi Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra 2006 sekaligus peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-78. Setelah itu ia juga meraih juara terbaik pertama dalam lomba penulisan karya sastra puisi tingkat Jawa Timur yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT, Surabaya, 2006).

Berlanjut pada tahun 2007, tepatnya 28 April, ia kembali menyabet Anugerah Piala Walikota Surabaya sebagai juara terbaik pertama kategori karya sastra dalam lomba penulisan puisi tingkat SLTA/sederajat se-Jawa Timur. Penyelenggaranya adalah Teater Kedok SMAN 6 Surabaya.

Beberapa kali ia juga pernah mengisi seminar-seminar kecil, diundang dalam memperingati hari-hari perayaan di Radio Republik Indonesia (RRI 2007-2008), seminar dan temu penulis & sastrawan muda Madura dan Jawa Timur (Pamekasan, 2007), juga menjadi juri beberapa lomba kepenulisan.

Di samping itu, Khalili juga menulis esai, cerpen, drama, prosa dan artikel. Beberapa di antara karya-karyanya muncul di pelbagai media lokal dan nasional, seperti Majalah Sastra Horison, Majalah Bende, Majalah Media Jawa Timur, Gong, Kuntum, Tera, Annida, Majalah Mimbar Pembangunan Agama, Radar Madura, dan lain-lain. Beberapa karyanya juga terbit dalam antologi bersama: Pemenang & Puisi Pilihan Bulan Bahasa & Sastra 2006 (PB Depdiknas, 2006), Rumah Seribu Pintu (RSB, 2008), Annuqayah Dalam Puisi ’08 (BPA, 2008), Kaliopak Menari (Matapena, 2008), Sebab Akulah Kata (kedokbooks, 2007), Manuskrip Pertama (BPA, 2009), Narasi Batang Rindu, dan lain-lain. Saat ini pun dia masih terus rajin menulis dan berkarya.

Menurut Khalili, karya-karyanya banyak diinspirasi oleh berbagai fenomena kehidupan yang ia terjemahkan ke dalam barisan kata-kata yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Khalili termasuk penyair yang tak tega menyaksikan kondisi sosial kemasyarakatan yang memprihatinkan. Dari situlah proses kreatifnya tumbuh. “Saya lakukan semua itu atas nama kemanusiaan,” ujar santri yang pernah dipercaya sebagai ketua Rayon al-Farisi di PPA Latee selama 2007-2009 ini.

Lebih jauh dia menyatakan bahwa dirinya belum begitu mampu meringankan beban hidup orang-orang papa melalui dukungan materi. Masalahnya bisa ditebak: jangankan membantu orang lain dengan sokongan materi, mampu menghidupi dirinya saja sudah merupakan anugerah yang tak terkira berharganya. Menyentuh nurani orang-orang yang mampu dalam hal materi, baginya, merupakan langkah efektif agar mereka sadar akan kewajibannya untuk menolong orang-orang yang melarat hidupnya. “Orang-orang mampu yang tidak terketuk hatinya untuk menyantuni fakir-miskin adalah bentuk lain dari hilangnya nilai-nilai kemanusiaan,” imbuhnya.

Strategi jitu yang bisa diandalkan, gagasnya, ialah dengan membangun peradaban melalui puisi. Puisi, baginya, bukanlah sekadar permainan kata-kata. Tak jarang orang merasa bosan ketika dihadapkan pada oretan puisi. Tidak sedikit pula orang merasa pusing bila membaca puisi secara serius hingga keningnya mengkerut. Sebagai jalan pelarian, orang sering menuduh bahwa puisi hanyalah permainan kata-kata.

Khalili, yang saat ini juga menjadi pembimbing pengajian al-Qur’an untuk santri baru, menegaskan bahwa mereka yang berpikiran semacam itu tak lebih karena terdampar pada hamparan pantai kata-kata, tidak mampu menyentuh mutiara terdalam yang terkandung di dasar lautan puisi. Pembacaan terhadap puisi yang hanya dilakukan secara sepintas akan berujung pada kebingungan. Makanya, puisi bukanlah teks yang hanya cukup dibaca sekejap mata. Namun lebih dari itu, puisi harus dipahami secara sadar lewat integrasi antara logika dan perasaan. Begitulah Khalili memberikan tawaran dalam membaca puisi.

Tak kalah penting dari itu, lanjutnya, puisi ialah sebentuk instrumen-atraktif dalam membangun peradaban. Peradaban Islam pada masa lampau amat jelas tidak lepas dari peran konstruktif dari puisi. Pada masa kejayaan Islam, lahirlah penyair-penyair andal yang kuasa memberikan angin segar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Imam Al-Ghazali, Fakhruddin al-Razy, Muhammad Iqbal dan filosof-filosof Islam lainnya hidup dan mampu mewarnai kehidupan dengan melahirkan karya-karya monumental yang di dalamnya kental dengan nuansa sastranya. “Sampai detik ini, saya (tetap) berkeyakinan bahwa peradaban itu bisa terbangun melalui kekuatan puisi,” pungkasnya.

Tidak ada komentar: