Sumarwi, PPA Nirmala
GULUK-GULUK—Senin (1/6) kemarin, sekitar pukul 10.37 WIB, kegiatan Day’s Maulidiah dan Festival Cinta Seni dan Budaya se-Madura di hari kedua mengadakan bedah buku novel Perempuan Berkalung Sorban yang dibedah oleh penulisnya sendiri yaitu Abidah el-Khalieqy, datang langsung dari Yogyakarta memenuhi undangan panitia di STIKA. Dalam kesempatan kemarin hadir K. M. Faizi, Firdaus Firlaili, K. A. Maimun, M.Ag. sebagai moderator, dan K.H. Muhammad Shalahuddin Warits sebagai pembanding.
Peserta yang berpartisipasi dalam kegiatan ini tidak hanya dari Annuqayah saja, tetapi juga ada beberapa peserta yang hadir dari luar. Jumlah peserta kurang lebih 65 orang: 57 putra dan 7 putri. Putri berhalangan hadir karena terkendala hujan. Peserta yang ingin mengikuti kegiatan ini diharuskan membayar uang kontribusi sebesar Rp. 5.000,-.
Abidah el-Khalieqy mengawali pembicaraannya dengan bercerita tentang image Madura di Jogja. Dia mengatakan bahwa image Madura di Jogja ialah sate. Kalau tidak sate ya model potongan rambut yang sekarang lagi ngetren, dan yang paling baru sekarang ada Warung Gudep Madura. “Perjuangan teman-teman dari Madura itu betul sangat gigih. Mereka membangun Warung Gudep Madura di Jogja lagi,” tuturnya sambil tertawa.
Tema novel Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya sama dengan tema-tema novel yang sebelumnya, artinya sama dengan novel-novel yang juga berbicara tentang perempuan, yaitu tentang lika-liku kehidupan perempuan. Penulisan novel ini tidak hanya dengan studi pustaka tapi juga diadakan studi lapangan. “Saya melakukan riset selama tiga bulan, dan saya selesaikan novel ini dalam kurun waktu sembilan bulan,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, novel ini cukup laku, dicetak oleh penerbit tanpa sepengetahuan kami. “Entah sekian ribu, dan itu dijual di toko-toko, kemudian novel itu dibaca, dibahas dan dikaji oleh para mahasiswa. Ada sekitar 60 orang lebih yang melaporkan kepada saya bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban sedang dibahas oleh para mahasiswa, S1 dan S2,” tandasnya.
“Saya juga mendapat banyak SMS dari Sabang sampai Merauke. Yang menarik ada satu SMS, bunyinya seperti ini: ‘Hari gini kok masih bahas perempuan. Orang sudah sampai pada Global Warming’. Seakan-akan Global Warming adalah suatu pencapain yang luar biasa,” ujarnya.
“Dari sms itu kemudian saya berpikir, benarkah masalah perempuan sudah selesai? Mengapa Al-Quran menyebutkan bahwa perempuan adalah masalah, selain masalah dunia dan harta. Masalah perempuan dari Adam sampai pada Muhammad akan selalu aktual seperti masalah harta dan dunia. Dulu ada perbudakan, sekarang ada trafficking. Masalah perempuan ini adalah masalah yang selalu ada,” tambahnya.
K. H. Muhammad Shalahuddin akrab dipanggil Ki Mamak yang hadir sebagai pembanding mengatakan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban ini menceritakan tentang dunia santri, hegemoni pria, dunia perempuan seutuhnya, dan hak-hak reproduksi dari segi yang paling kecil.
GULUK-GULUK—Senin (1/6) kemarin, sekitar pukul 10.37 WIB, kegiatan Day’s Maulidiah dan Festival Cinta Seni dan Budaya se-Madura di hari kedua mengadakan bedah buku novel Perempuan Berkalung Sorban yang dibedah oleh penulisnya sendiri yaitu Abidah el-Khalieqy, datang langsung dari Yogyakarta memenuhi undangan panitia di STIKA. Dalam kesempatan kemarin hadir K. M. Faizi, Firdaus Firlaili, K. A. Maimun, M.Ag. sebagai moderator, dan K.H. Muhammad Shalahuddin Warits sebagai pembanding.
Peserta yang berpartisipasi dalam kegiatan ini tidak hanya dari Annuqayah saja, tetapi juga ada beberapa peserta yang hadir dari luar. Jumlah peserta kurang lebih 65 orang: 57 putra dan 7 putri. Putri berhalangan hadir karena terkendala hujan. Peserta yang ingin mengikuti kegiatan ini diharuskan membayar uang kontribusi sebesar Rp. 5.000,-.
Abidah el-Khalieqy mengawali pembicaraannya dengan bercerita tentang image Madura di Jogja. Dia mengatakan bahwa image Madura di Jogja ialah sate. Kalau tidak sate ya model potongan rambut yang sekarang lagi ngetren, dan yang paling baru sekarang ada Warung Gudep Madura. “Perjuangan teman-teman dari Madura itu betul sangat gigih. Mereka membangun Warung Gudep Madura di Jogja lagi,” tuturnya sambil tertawa.
Tema novel Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya sama dengan tema-tema novel yang sebelumnya, artinya sama dengan novel-novel yang juga berbicara tentang perempuan, yaitu tentang lika-liku kehidupan perempuan. Penulisan novel ini tidak hanya dengan studi pustaka tapi juga diadakan studi lapangan. “Saya melakukan riset selama tiga bulan, dan saya selesaikan novel ini dalam kurun waktu sembilan bulan,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, novel ini cukup laku, dicetak oleh penerbit tanpa sepengetahuan kami. “Entah sekian ribu, dan itu dijual di toko-toko, kemudian novel itu dibaca, dibahas dan dikaji oleh para mahasiswa. Ada sekitar 60 orang lebih yang melaporkan kepada saya bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban sedang dibahas oleh para mahasiswa, S1 dan S2,” tandasnya.
“Saya juga mendapat banyak SMS dari Sabang sampai Merauke. Yang menarik ada satu SMS, bunyinya seperti ini: ‘Hari gini kok masih bahas perempuan. Orang sudah sampai pada Global Warming’. Seakan-akan Global Warming adalah suatu pencapain yang luar biasa,” ujarnya.
“Dari sms itu kemudian saya berpikir, benarkah masalah perempuan sudah selesai? Mengapa Al-Quran menyebutkan bahwa perempuan adalah masalah, selain masalah dunia dan harta. Masalah perempuan dari Adam sampai pada Muhammad akan selalu aktual seperti masalah harta dan dunia. Dulu ada perbudakan, sekarang ada trafficking. Masalah perempuan ini adalah masalah yang selalu ada,” tambahnya.
K. H. Muhammad Shalahuddin akrab dipanggil Ki Mamak yang hadir sebagai pembanding mengatakan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban ini menceritakan tentang dunia santri, hegemoni pria, dunia perempuan seutuhnya, dan hak-hak reproduksi dari segi yang paling kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar