Kegigihan Ustadz Athwi Busthami Mengembangkan Madrasah Diniyah Latee
Hairul Anam al-Yumna, PPA Latee
Di saat banyak para pendidik berlomba-lomba ikut sertifikasi, Ustadz Athwi Busthami justru berbalik arah dengan mengabdi pada dunia pendidikan tanpa pamrih. Kemajuan Madrasah Diniyah Latee selama ini tidak dapat dilewatkan dari perannya.
Selasa malam (18/5) kemarin, kantor Diniyah Latee terlihat penuh oleh para ustadz. Mereka berbincang santai seusai mengajar. Di antara mereka tampak salah satu ustadz muda yang memakai surban putih yang diselendangkan ke lehernya. Ya, dialah Ustadz Athwi Busthami yang kini dipercaya sebagai mudir (kepala) Diniyah Latee.
Athwi—panggilan akrabnya—terbilang santri senior di Latee. Dia mondok pada tanggal 16 Juli 2000. Setelah lima tahun mondok, dia dipercaya untuk berbagi ilmu dengan para santri melalui Madrasah Diniyah. Tidak lama kemudian, pada tahun 2008, dia didaulat sebagai mudir Diniyah Latee.
Dalam penuturannya, Athwi menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun perkembangan Diniyah Latee cukup membanggakan. Kalau dulu karyawannya terbatas, tapi kini tidak lagi.
“Kami berusaha sekuat tenaga membenahi proses kaderisasi. Karena lembaga Diniyah terstruktur, maka ia tak jauh beda dengan organisasi. Oleh sebab itu, kaderisasinya sangatlah penting untuk diperhatikan,” kata lulusan STIK Annuqayah tahun 2008 ini.
Selain itu, lanjutnya, sistem pelayanan kepada santri diubah total. Kalau dulu santri yang sangat bandel (tidak dapat diatur) dapat berujung pada pemberhentian, kini pola seperti itu tidak dipakai lagi.
“Kami menggunakan strategi pengayoman, bukan kekerasan,” tegasnya.
Athwi berterus terang bahwa pernah suatu ketika ada santri yang banyak alpanya. Dia sudah sepantasnya dihadapkan kepada pengasuh. Tapi karena kasihan, dia panggil orang tua santri tersebut. Muaranya, orang tua tersebut memamitkan anaknya untuk berhenti secara baik-baik.
Selama ini, santri yang berurusan dengan pengasuh karena persoalan Diniyah bisa dipastikan akan “diistirahatkan” sebagai santri Latee. “Kebijakan pengasuh tersebut adalah bagian dari ketegasan. Beliau memang selalu serius kalau urusan Diniyah. Bahkan beliau sering berdawuh bahwa santri yang tidak sekolah Diniyah tidak akan diakui sebagai santri Latee,” kata santri yang lahir tanggal 26 Juli 1984 ini.
Dari situlah Athwi berusaha semaksimal mungkin memajukan Diniyah bersama asatidz lainnya. Athwi sangat terinspirasi atas keistiqamahan pengasuh dalam memajukan Diniyah. Bahkan, tak jarang pengasuh tetap mengajar meski dalam keadaan kurang sehat.
“Masak pengasuhnya semangat kemudian santrinya tidak. Itu bagi saya sendiri adalah suatu hal yang lucu. Saya sangat terinspirasi dari keistiqamahan beliau,” ucapnya sambil tersenyum.
Perhatian para ustadz terhadap para murid Diniyah sangat baik. Hanya saja kadang ada juga santri yang menyusahkan.
“Kami pernah diresahkan oleh salah satu santri yang tidak diketahui jejaknya. Di kelasnya tidak ada dan di kamar pondoknya tidak ada juga. Akhirnya kami minta bantuan kepada pengurus Keamanan,” ungkap Athwi dengan jujur.
Namun, pengalaman semacam itu tidak membuatnya patah semangat untuk memajukan Diniyah Latee yang jumlah muridnya kini hampir mencapai 700 orang. “Kalau berbicara kesan selama menjadi mudir, tentu ada kesan kurang baik dan baik. Yang kurang baik ialah waktu belajar saya berkurang. Baiknya, pengalaman saya kian bertambah dalam mengelola pendidikan,” paparnya.
Malam hari mengabdi di Diniyah, siang harinya Athwi juga bergelut dalam dunia pendidikan. Bahkan, dia mengajar seminggu penuh. Dia sekarang mengajar di SMA Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep; MTs. al-Wathan Lampereng, Pragaan Sumenep; Nurul Hidayah, Dandan, Pragaan, Sumenep; dan Hidayaturrahman, Klabaan Laok, Sumenep.
“Mudah-mudahan, pengabdian saya dalam dunia pendidikan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Sebagaimana sabda Nabi bahwa sebaik-baik manusia ialah mereka yang bisa bermanfaat bagi sesamanya,” tutur sarjana Pendidikan Agama Islam ini.
Rabu, Mei 19, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar