Fahrur Rozi, Sekretariat PPA
Pesantren tidak perlu ikut-ikutan pemerintah. Karena pesantren memiliki spirit yang berbeda dalam hal misinya. Sangat lucu sekali jika spirit yang berbeda itu dikawinkan, apalagi coba digusur dari tatanan kehidupan pesantren yang sudah berlangsung lama di negara kita. Tapi, kita banyak menyaksikan peristiwa tersebut akhir-akhir ini seperti tidak terjadi apa-apa. Pesantren sudah banyak yang mengganti kurikulumnya dengan kurikulum pemerintah yang sangat tidak mendidik itu.
Demikian yang disampaikan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam acara Seminar dan Halaqah Kebangsaan dengan tema, “Islam dan Kebangsaan di Madura Pasca-Suramadu”, Sabtu (25/07), bertempat di Mushalla Sabajarin. Acara yang diprakarsai oleh tiga lembaga, yaitu Biro Pengabdian Masyarakat PP. Annuqayah, CMARS Surabaya, The Wahid Institute Jakarta, dan LibForAll Jakarta, mendatangkan dua penyaji, Gus Mus dan KH. D. Zawawi Imron.
Gus Mus dalam acara tersebut banyak menyorot tentang pesantren yang akhir-akhir ini kian menjauh dari jati dirinya. Beliau mengatakan, pesantren adalah benteng yang betul-betul benteng. Kalau benteng sudah ikut-ikutan dunia luar, maka alamat habis beberapa tahun ke depan. Indonesia akan banyak kehilangan potensi yang tidak dimiliki kelompok lain kecuali pesantren.
Tidak hanya Indonesia, dunia pun membutuhkan pesantren karena ia memiliki sikap al-tawassuth wal I’tidal. Mengenai ini, Gus Mus menceritakan tentang pengalamannya berbincang-bincang dengan seorang profesor dari Tokyo University. Sang profesor mengungkapkan kegelisahan negara Jepang tentang kondisi dunia saat ini. Ada dua ideologi yang merajai dunia dan keduanya sama-sama ekstrim, yaitu ideologi George Bush dan Usamah Bin Laden. Siapa yang tidak ikut Bush berarti teroris dan harus disikat, dan siapa yang tidak ikut Usama harus di bom. “Dilematis,” lanjut Pengasuh salah satu pesantren di Rembang ini. Sang profesor lalu mengatakan, tapi disela-sela dua ideologi yang sama-sama merusak ini, Jepang menaruh harap kepada Indonesia. Apa yang diharapkan Jepang dari Indonesia? Menurut Gus Mus adalah sikap al-tawassuth wal I’tidal tadi.
Selain Gus Mus, yang ikut menyamapaikan pemikirannya dalam acara tersebut adalah kiai dan penyair Madura dari Batang-Batang Sumenep, KH. D. Zawawi Imron. Beliau meneropong Islam dan kebangsaan dari perspektif kebudayaan. Sesuai dengan backgroud pemikiran beliau sebagai budayawan Madura. Beliau mengawali pemaparannya dengan mengritik ungkapan yang sering dipakai orang Madura untuk mengistilahkan pulang dan pergi dari Jawa ke Madura. Orang Madura kalau ingin pergi ke Jawa menyebut istilah “onggha” (naik) dan untuk datang dari Jawa menyebut “toron” (turun). Bagi penyair Celurit Emas ini, istilah tersebut kurang relevan jika terus dikembangkan saat ini. Sebab, baginya, istilah tersebut menggambarkan bahwa orang Madura lebih rendah derajatnya dengan orang Jawa.
Namun, pendapat ini diragukan oleh Gus Mus yang mendapat giliran berbicara setelah KH. D. Zawawi Imron. Beliau mengatakan, jangan-jangan bukan rendah diri tapi malah rendah hati. Sebab, kiai-kiai di pulau Jawa banyak belajar dari Kiyai Madura. Beliau mencontohkan murid-murid KH. Kholil Bangkalan yang ternyata banyak melahirkan Kiyai-Kiyai di Jawa yang sangat disegani.
Acara seminar dan Halaqah tersebut berlangsung kira-kira dari pukul 09:34-12:37 WIB. Acara yang dijadwalkan dimulai pada jam 08:00 WIB molor karena menunggu penyaji yang kebetulan masih ada di perjalanan. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 48 undangan dari Kabupaten Sumenep dan Pamekasan, baik perorangan maupun dari lembaga-lembaga yang memiliki konsen terhadap keislaman, seperti NU, Ansor, LBM, MUI, perguruan tinggi Islam, dan beberapa lembaga pesantren.
Dalam laporan panitianya, Ahmad Zainul Hamdi, perwakilan dari CMARS, mengatakan bahwa acara ini pada awalnya hanya kontak-kontak saja melalui Facebook, lalu handphone, dan akhirnya bisa bertemu di BPM-PPA untuk membahas realisasi acara. Acara tersebut sebenarnya telah lama direncanakan. Namun, baru terealisi pada hari itu karena melihat ada momen yang tepat, yaitu dibukanya jembatan Suramadu.
Ada beberapa ketakutan, menurut Inung, sapaannya, dalam realisasi program tersebut. Salah satunya adalah khawatir disalahpahami, dijadikan tertuduh. Oleh karena itu, Gus Mus adalah orang yang tepat untuk menjadi media konsolidasi dan meluruskan kesalahpahaman tersebut.
Acara ini juga dihadiri oleh masing-masing perwakilan dari lembaga pemerakarsa. Salah satunya dari LibForAll, C. Holland Taylor, yang berkebangsaan Amerika.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Nafa'a-na-Llah wa iyyakum fii maa 'allamana...
al-Fatihah!thive
Jika boleh berharap, apa tidak mungkin Annuqayah membentuk semacam paguyuban lembaga pendidikan (pesantren/madrasah) yang dikelola oleh alumni-alumni PPA. Mungkin ini bisa memperkuat benteng visi-misi dan prinsip pendidikan pesantren sebagaimana sejatinya.
@MyQuds2u: PR imtihan belum selsai, ini ada lagi usul dari kamO..... oh, kamO....
maaf boleh sy bertanya buat rekan2, GUS MUS itu gus MUSTOFA ya ? mhon sharingnya buat rekan2... !!!
Posting Komentar