Selasa, Desember 27, 2011

Pers Pesantren Bergolak: Bhindhara vs Bismillah

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

Guluk-Guluk—Pers pesantren bergolak! Ya, begitulah mungkin gambaran awal mengenai kondisi pers di Pondok Pesanten Annuqayah (PPA) daerah Lubangsa saat ini.

Pergolakan tersebut disebabkan oleh terbitnya harian Bhindhara yang sarat kontroversi. Pasalnya, media yang dikelola oleh kru majalah Muara dan buletin Kompak serta berada di bahwa naungan pengurus seksi Kepustakaan, Pers, dan Penerbitan (KP2) PPA Lubangsa ini cenderung mengkritik kinerja atau kebijakan-kebijakan pengurus pesantren.

Karena merasa terusik dengan isi pemberitaan media yang terbit empat halaman dalam setiap edisi, Jumat sore (9/12) yang lalu di kantor pesantren Lubangsa, ketua pengurus mengadakan musyawarah dengan kru Majalah Muara, buletin Kompak dan pengurus KP2 selaku penanggungjawab atas penerbitan media-media PPA Lubangsa.

Bhindhara, sebagai Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari kegiatan diklat jurnalistik pada bulan November lalu, mendapat respons baik dari kami (pengurus PPA Lubangsa). Akan tetapi, setelah beberapa hari, seakan-akan media ini cenderung memojokkan kami. Mereka (santri) hanya memberi kritik tanpa memberi solusi,” papar Sabri Salim, ketua pengurus ketika ditemui di kantor pesantren pada Jumat malam (9/12).

Ia menilai bahwa harian Bhindhara yang terbit sampai edisi ke-24 itu jauh dari kode etik jurnalistik. Misalkan tidak adanya struktur dan personalia kru yang jelas dan beberapa nama penulis juga tidak jelas.

Ia mengusulkan bahwa konsep Bhindhara perlu diubah, bukan lagi terbit setiap hari, melainkan terbit setiap bulan. Di samping itu, Bhindhara tidak usah disebarkan pada santri. Cukup ditaruh di perpustakaan sebagai bahan bacaan.

Beberapa kru majalah Muara dan buletin Kompak kurang setuju. Mereka sangat menyayangkan bila konsep seperti itu dilaksanakan.

Ah Fawaid, pemimpin redaksi majalah Muara menuturkan, Bhindhara sebagai ruang aktualisasi pengembangan kreativitas menulis santri memiliki andil yang cukup besar dalam membangkitkan spirit menulis santri.

“Setiap hari banyak santri yang menyetor tulisan kepada kami untuk dimuat di Bhindhara. Jadi, kurang bijak kalau Bhindhara terbit sebulan sekali. Kita sudah memiliki Buletin Kompak yang durasi terbitannya sebulan sekali,” pungkasnya.

Hasil musyawarah tersebut memutuskan untuk sementara waktu pengurus akan memberhentikan penerbitan media tersebut selama pemberitaannya selalu menyinggung kinerja atau kebijakan pengurus pesantren.

Sementara, pada hari itu juga (9/12), terbit media lain bernama Bismillah untuk kedua kalinya. Kali pertama media itu terbit ketika harian Bhindhara edisi ke-2 beredar. Bismillah dikenal oleh santri sebagai tandingan Bhindhara. Isinya cenderung pro-pengurus. Banyak yang mengatakan bahwa yang menerbitkan media itu adalah pihak pengurus. Namun, setelah diklarifikasi, tak ada pengakuan dari pengurus.

“Pengurus tidak tahu soal itu (Bismillah). Saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan kami yang menerbitkan media itu,” jelas ketua pengurus asal Batuputih itu.  

Di terbitan Bismillah pun juga tidak tercantum struktur dan personalia pengelolanya.

Tidak ada komentar: