Edy Junaidi, alumnus PPA Lubangsa (2000-2006), kini bekerja sebagai webmaster PT Starsindo Millenia Utama Malang
"Saya sangat menyayangkan menyaksikan tingkah laku beberapa santri yang sudah tidak mencerminkan kesantriannya.” –KH Ahmad Basyir AS
Membaca pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee di atas yang saya baca di weblog Annuqayah membuat saya ingin berbagi sedikit cerita dengan teman-teman santri tentang apa yang saya alami pada sekitar awal pertengahan tahun 2009 lalu. Waktu itu saya dan istri saya berada di perantauan: Malang, Jawa Timur. Di kota inilah saya dan istri saya mengadu nasib sambil belajar hidup mandiri (semandiri-mandirinya).
Sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, Malang juga biasa disebut dengan Kota Wisata dan Kota Pendidikan, sehingga tak ayal setiap hari kota Malang selalu dijejali para wisatawan, baik lokal maupun asing. Selain itu Malang juga dijejali oleh para pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai wilayah dan daerah di Indonesia, termasuk dari Madura.
Singkat cerita, pada suatu saat saya kedatangan teman yang mau bermalam di tempat saya. Teman saya ini alumni di salah satu pesantren di Sumenep (nama pesantren sengaja saya rahasiakan). Sebut saja namanya Ranu (samaran). Keperluan Ranu ini adalah dalam rangka mengikuti tes SPMB di salah satu Perguruan Tinggi di kota dingin ini.
Satu jam berlalu hingga 24 jam Ranu bermalam di rumah kontrakan saya, tingkah lakunya benar-benar menguji kesabaran saya, baik tingkah laku dalam maupun di luar rumah terhadap tetangga kanan, kiri dan depan rumah saya. Bahkan saya pernah ditegur oleh tetangga dan Pak RT untuk mengingatkan Ranu ini agar bertatakrama dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Ikhwal kejadiannya seperti ini. Pertama; Kala itu Ranu pinjam motor saya untuk keluar ingin bertemu dengan temannya. Berhubung rumah saya agak masuk melewati jalan sempit dan banyak anak-anak sering bermain di jalan itu, maka untuk mengendarai motor harus dengan sangat pelan dan hati-hati. Nah si Ranu ini malah bertindak sebaliknya: ngebut seenaknya dan bahkan tidak menghiraukan (bertegur sapa) dengan beberapa orang ketika berpapasan dengannya.
Tahu kalau motor itu punya saya, beberapa tetangga pun bilang sama saya, "Mas, itu teman Sampean ya? Bilangin entar ya Mas, di sini itu kampung gak usah pake ngebut-ngebut segala, kalo mau kebut-kebutan mending ke Buring (arena balapan motor cross di Malang) aja sana..!!" Benar-benar tamparan dahsyat bagi keluarga saya untuk pertama kalinya sejak berada di perantauan.
Kejadian kedua; setiap kali si Ranu makan nasi bungkus, karena mungkin sudah kebiasaannya, Ranu biasa membuang bungkus nasi itu tidak pada tempatnya. Ranu biasa membuangnya lewat jendela kamar atau di teras depan rumah saya, padahal tempat sampah sudah saya sediakan. Saya seolah merasa menjadi babu di rumah sendiri. Mau mengingatkan gak enak, tidak diingatkan ya tetap gak enak. Benar-benar dilematis.
Awalnya saya bersabar dulu dengan memunguti sampah-sampahnya untuk dibuang tempat sampah. Namun lama kelamaan kesabaran saya habis. Saya pun membiarkan sampah-sampahnya tetap berserakan di depan rumah saya. Keesokan harinya tak ayal saya kena semprot sama petugas sampah dan Pak RT. Ini juga untuk pertama kalinya selama di perantauan saya "disemprot" Pak RT.
Bagi saya, peristiwa ini benar-benar tragis. Mungkin saya akan mafhum jika hal ini dilakukan oleh seseorang yang bukan lulusan pesantren yang tidak begitu paham tatakrama. Namun saya menjadi miris sendiri ketika hal itu dilakukan oleh alumnus pesantren yang mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai akhlakul karimah baik di pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat. Kejadian di atas hanyalah secuil saja yang saya ceritakan. Masih ada lagi peristiwa-peristiwa memalukan lainnya yang tidak bisa saya kemukakan disini.
Dengan menuliskan ini, terus terang sama sekali saya tidak ada maksud bertendensi negatif terhadap siapa pun. Saya hanya berharap peristiwa ini menjadi bahan renungan dan cerminan bagi kita bersama untuk tidak terjadi lagi di masa-masa selanjutnya. Cukuplah peristiwa ini terjadi pada Ranu dan keluarga saya saja. Untuk Ranu, Jika kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan Anda menyadari dan mengetahui tentang begitu berkecamuknya perasaan saya waktu itu. Mudah-mudahan Anda diberikan kesadaran untuk belajar lagi tentang cara hidup dan beretika di masyarakat.
Jumat, Oktober 29, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Senang sekali ada alumnus Annuqayah yang berbagi cerita seperti ini.. Semoga disusul oleh alumni yang lain..
Oya, judulnya mungkin terinspirasi dari Dewa 19 ya? -- Cukup Siti Nurbaya :-)
K M Mushthafa: yups. Tul.. he he. :)
Payah Ranu itu. Tetapi, memagn ada orang yang berlaku seperti itu karean berpegang teguh pada prinsip, "Sembarangan tidak apa-apa mumpung sedang jauh dari kampung halaman"
hem.. Aji Mumpung itu memang cenderung berbahaya..
Posting Komentar