Minggu, Maret 14, 2010

Semarak Malam Puncak Olimpiade Seni Lubangsa


Ach. Fannani Fudlaly R., PPA Lubangsa

GULUK-GULUK—Kamis malam (11/03), setelah shalat Isya’ berjama’ah dengan pengasuh, seperti biasa, para santri Lubangsa mulai mempersiapkan makan malam mereka. Maklum, Jum’at bagi santri merupakan hari yang istimewa, karena pada malam dan siangnya santri bisa libur dari segala kegiatan pesantren yang melelahkan.

Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, setelah semua santri telah selesai dari santap malam mereka. Terdengar dari loudspeaker pesantren: “Kepada seluruh santri diharap untuk segera berkumpul di halaman Masjid Jamik Annuqayah, karena acara sebentar lagi akan segera dimulai.” Demikian pengumuman oleh salah satu pengurus pesantren Lubangsa.

Lantas, para santri langsung menuju tempat yang dimaksudkan oleh pengumuman tadi, berbondong-bondong mendatangi halaman Masjid Jamik Annuqayah demi sebuah acara yaitu “Malam Puncak Olimpiade Seni Lubangsa.”

Sekitar 700 santri Lubangsa terlihat memenuhi halaman masjid. Acara pun dimulai dengan pembukaan, yang diisi dengan sambutan (di antaranya sambutan koordinator pengurus seksi kesenian).

“Biasanya orang yang bergelut dalam dunia seni sering disebut sebagai orang yang nyentrik,” ucap Massuha el-Arief. Dari kalimat pendek yang dia ucapkan tersebut, Massuha mulai menjelaskan bahwa tak selamanya orang aktif dalam dunia seni akan selalu berlaku aneh di luar kebiasaan orang lain, hanya terkadang orang seperti itu karena meniru seniman atau sastrawan yang menjadi favorit.

Selang beberapa menit, giliran ketua panitia, Moh. Yasin, yang menyampaikan sambutannya. Dalam sambutannya dia menyinggung dunia seni pesantren yang mulai terabaikan. Entah itu karena merupakan kodrat sastra pesantren sendiri ataupun yang lain.

“Tampaknya, pesantren yang dulunya adalah tempat lahirnya para sastrawan kini sudah tak terlihat batang hidungnya lagi. Oleh karena itu kami bermaksud untuk mencari para santri yang bakat dalam kesenian untuk kemudian digodok,” katanya.

Sambutan ketua panitia sekaligus mengakhiri pembukaan. Kini giliran hadrah Nurul Fata untuk menghibur para santri dengan dendang shalawat yang dilantunkan oleh Ali Muhsin. Semua santri hanyut di dalamnya.

Tak terasa, acara yang ditunggu-tunggu para santri pun tiba, yaitu pementasan Sanggar Andalas, dengan drama berjudul “Titik-Titik” mengisahkan bangsa Indonesia jaman dahulu ketika dijajah. Suasana ketika itu tiba-tiba sunyi, para santri khidmat menyaksikan drama tersebut. Pantas, karena Sanggar Andalas memang selalu mengisahkan drama yang berkaitan dengan keadaan bangsa kita, membuat para santri mengingat kelamnya masa lalu Indonesia.

Tak ingin kalah saing. Club Teater Lubangsa (CTL Pamor) dengan judul drama “Sakera” berhasil membuat para santri tak kuat menahan tawa mereka. Tawa mereka pecah menyeruak, hingga terlihat kilauan senter pengurus keamanan menjelajahi para santri yang riuh sebagai tanda peringatan kepada santri agar tidak ramai ketika pementasan berlangsung.

Dalam drama itu hidup tokoh Madura yaitu Sakera yang berjuang melawan masuknya budaya Barat yang dibawa Mr. Jhon dari Amerika. Namun nasib Sakera tragis. Pada akhir cerita Sakera mati demi menjaga budaya kerapan sapi sekaligus budaya ojung Madura yang ingin Mr. Jhon hapus dari permukaan bumi Madura.

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Sejak Januari 2010, siapa pemegang rekor menulis berita?