Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee
Guluk-Guluk—Kesadaran santri terhadap pentingnya membaca merupakan
suatu keharusan. Kalau santri hanya fokus membaca kitab tanpa ditopang dengan
upaya mengonsumsi buku, tentu kurang baik terhadap pengembangan wawasan
keilmuan mereka. Inilah yang menjadi salah satu pijakan pengurus Pondok
Pesantren Annuqayah Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep, sehingga kini membangun perpustakaan
pesantren.
Demikian disampaikan koordinator departemen Kepustakaan,
Penerbitan, dan Pers (KP2) Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Fitratus
Solihin, saat diwawancarai di kamar pondoknya blok D/11, Kamis (29/12) siang.
Fitrah, panggilan akrab Fitratus Solihin, memaparkan bahwa karena
pertimbangan dana, pengurus pesantren tidak lantas membangun utuh gedung perpustakaan
tersebut.
“Kami memanfaatkan salah satu dari 4 dapur milik pesantren yang luasnya
sekitar 6 x 4 meter,” katanya.
Masih menurut Fitrah, selain yang diubah jadi perpustakaan, 1 dari
3 dapur tersebut diperluas dari yang semula hanya 4 x 3 meter diperpanjang
menjadi 7 x 3 meter. Sedangkan ukuran 2 dapur lainnya tetap seperti semula, 4 x 3 meter. Hal ini
dilakukan demi keleluasaan santri menanak nasi setiap harinya.
Terhitung sejak Sabtu (24/12) kemarin, dapur yang disulap menjadi
perpustakaan itu diperbaiki sedemikian rupa. Lantainya dikeramik dan dinding-dindingnya diperputih.
Hingga berita ini ditulis, terdapat beberapa pengurus bekerja keras untuk
mempercantiknya. Salah satunya adalah anggota departemen KP2 yang dicanangkan akan menjadi ketua
perpustakaan, Roziq Aminullah.
Saat ditemui, santri yang bermukim di blok C/8 ini mengutarakan
bahwa dana yang dibutuhkan untuk pendirian perpustakaan ini belum diketahui
secara pasti.
“Yang jelas, melalui restu pengasuh Lubangsa, semenjak periode kepengurusan saat
ini, dicetuskanlah kebijakan untuk menaikkan SPP santri. SPP santri baru dari yang awalnya Rp 150 ribu
naik Rp 310 ribu per tahun, SPP
santri lama dari Rp 130 ribu naik Rp 286 ribu per tahun. Dan dari SPP itulah dialokasikan dan buat perpustakaan
sebesar Rp 15 ribu untuk tiap-tiap santri setiap tahunnya,” ungkapnya detail.
Dana tersebut, tambah Roziq, sudah
dialokasikan untuk bahan-bahan pengubahan dapur menjadi perpustakaan, pembelian
lemari perpustakaan seharga Rp 1.750.000,- dan sekitar 700 buku yang sementara
ini masih ditaruh di kantor redaksi majalah Muara Pondok Pesantren
Annuqayah Lubangsa. Lemari tersebut terdiri dari 24 rak
dan masing-masing rak memuat sekitar 25 buku.
Ubah Nama, Awal Perintisan
Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa merupakan salah satu pesantren
daerah dari belasan pesantren daerah di Annuqayah yang tidak memiliki
perpustakaan. Padahal, santri yang mengenyam pendidikan di dalamnya lumayan
banyak, lebih dari 900 orang.
“Sebenarnya, pendirian perpustakaan pesantren ini dirintis sejak
tahun 2006,” ujar Fitrah. “Kala itu ketua pengurusnya ialah Muhammad Ali,
S.Pd.I.”
Santri asal Sukorejo, Sukowono, Jember tersebut menambahkan bahwa
perintisan perpustakaan bermula dari kebijakan perubahan nama departemen di
struktur kepengurusan pada masa kepemimpinan Moju, S.Pd.I (2005).
“KP2 ini mulanya ialah departemen Penerangan dan Pembinaan
Organisasi (P2O). Kemudian P2O dipecah lagi menjadi dua. Salah satu pecahannya
ialah departemen Penerbitan dan Pers (P2). Ini masih pada masa Moju,” ungkap
pemuda yang lahir pada 6 Juni 1989 M atau 6 Syawal 1410 H itu.
Setelah Moju digantikan oleh Muhammad Ali, departemen P2 diperluas
lagi wilayah kerjanya pada kepustakaan.
“Dari situlah berubah nama lagi menjadi departemen Kepustakaan,
Penerbitan, dan Pers. Departemen inilah yang bertanggung jawab sekaligus
merintis adanya perpustakaan,” ujar Fitrah yang kini tercatat sebagai mahasiswa
semester 7 Tafsir Hadits Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika).
“Koordinator KP2 saat itu ialah Moh Shobri
yang kini sudah menjadi ketua pengurus,” tambah alumnus MA Tahfidh Annuqayah
2008 itu.
Tantangan
Fitrah menyadari bahwa dari masa perintisan perpustakaan hingga saat ini, banyak santri bertanya-tanya.
“Sudah lama dirintis, kok belum juga ada perpustakaannya,”
ujar Fitrah menirukan nada-nada sindirin dari santri yang sering disematkan
kepadanya.
“Pertanyaan tersebut tak jarang dilontarkan para santri kepada saya. Dan itu
baru agak berkurang semenjak pesantren ini diketuai oleh Abdul Wahid, S.Pd.I.
Beliau menjabat ketua pengurus masa bakti 2010-2011,” tegasnya.
Ketika Wahid menakhodai pesantren yang diasuh oleh Drs. KH A Warits Ilyas itu, ada beberapa langkah yang ditempuhnya
berkaitan dengan kepustakaan.
“Karena dana menjadi tantangan utama dalam
kepustakaan ini, maka Wahid menggerakkan kami untuk membuat proposal pengajuan
dana kepustakaan kepada alumni yang mampu dari segi ekonomi,” ujar Fitrah. “Kami juga mengajukan permohonan bantuan buku kepada penerbit”.
Semua pengurus kala itu boleh berbangga atas jerih payahnya. Sebab,
dari alumni mereka dapat sokongan dana kepustakaan lebih dari Rp 4 juta.
Sedangkan dari penerbit, tak ada satu pun buku yang didapatkan.
Untuk saat ini, pada masa kepemimpinan Moh. Shobri, tantangan
utamanya bukan lagi berupa dana. Melainkan, sumber daya manusia (SDM) yang
bakal mengelola perpustakaan.
“SDM kami masih kurang, lemah. Saya sendiri juga belum banyak tahu
tentang kepustakaan,” kata Fitrah dengan polosnya.
“Akan tetapi, kami sudah siap untuk belajar dan menambah wawasan
pengetahuan tentang bagaimana mengelola perpustakaan secara baik,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar