Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa
Guluk-Guluk—Pers pesantren bergolak!
Ya, begitulah mungkin gambaran awal mengenai kondisi pers di Pondok Pesanten
Annuqayah (PPA) daerah Lubangsa saat ini.
Pergolakan tersebut disebabkan oleh terbitnya harian Bhindhara yang sarat kontroversi. Pasalnya, media yang dikelola oleh kru majalah Muara dan buletin Kompak serta berada di bahwa naungan pengurus seksi Kepustakaan, Pers, dan Penerbitan (KP2) PPA Lubangsa ini cenderung mengkritik kinerja atau kebijakan-kebijakan pengurus pesantren.
Karena merasa terusik dengan isi
pemberitaan media yang terbit empat halaman dalam setiap edisi, Jumat sore
(9/12) yang lalu di kantor pesantren Lubangsa, ketua pengurus mengadakan
musyawarah dengan kru Majalah Muara, buletin Kompak dan pengurus
KP2 selaku penanggungjawab atas penerbitan media-media PPA Lubangsa.
“Bhindhara, sebagai Rencana
Tindak Lanjut (RTL) dari kegiatan diklat jurnalistik pada bulan November lalu,
mendapat respons baik dari kami (pengurus PPA Lubangsa). Akan tetapi, setelah
beberapa hari, seakan-akan media ini cenderung memojokkan kami. Mereka (santri)
hanya memberi kritik tanpa memberi solusi,” papar Sabri Salim, ketua pengurus
ketika ditemui di kantor pesantren pada Jumat malam (9/12).
Ia menilai bahwa harian Bhindhara yang terbit sampai edisi ke-24 itu jauh dari kode etik jurnalistik. Misalkan tidak adanya struktur dan personalia kru yang jelas dan beberapa nama penulis juga tidak jelas.
Ia mengusulkan bahwa konsep Bhindhara perlu diubah, bukan lagi terbit setiap hari, melainkan terbit setiap bulan. Di samping itu, Bhindhara tidak usah disebarkan pada santri. Cukup ditaruh di perpustakaan sebagai bahan bacaan.
Beberapa kru majalah Muara
dan buletin Kompak kurang setuju. Mereka sangat menyayangkan bila konsep
seperti itu dilaksanakan.
Ah Fawaid, pemimpin redaksi majalah Muara
menuturkan, Bhindhara sebagai ruang aktualisasi pengembangan kreativitas
menulis santri memiliki andil yang cukup besar dalam membangkitkan spirit menulis
santri.
“Setiap hari banyak santri yang
menyetor tulisan kepada kami untuk dimuat di Bhindhara. Jadi, kurang
bijak kalau Bhindhara terbit sebulan sekali. Kita sudah memiliki Buletin
Kompak yang durasi terbitannya sebulan sekali,” pungkasnya.
Hasil musyawarah tersebut memutuskan
untuk sementara waktu pengurus akan memberhentikan penerbitan media tersebut
selama pemberitaannya selalu menyinggung kinerja atau kebijakan pengurus
pesantren.
Sementara, pada hari itu juga (9/12),
terbit media lain bernama Bismillah untuk kedua kalinya. Kali pertama
media itu terbit ketika harian Bhindhara edisi ke-2 beredar. Bismillah
dikenal oleh santri sebagai tandingan Bhindhara. Isinya cenderung pro-pengurus.
Banyak yang mengatakan bahwa yang menerbitkan media itu adalah pihak pengurus.
Namun, setelah diklarifikasi, tak ada pengakuan dari pengurus.
“Pengurus tidak tahu soal itu (Bismillah).
Saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan kami yang menerbitkan media itu,” jelas
ketua pengurus asal Batuputih itu.
Di terbitan Bismillah pun
juga tidak tercantum struktur dan personalia pengelolanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar