Guluk-Guluk—Era globalisasi menuntut kecakapan menyikapinya.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa manusia pada
ragam kemudahan. Setidaknya, hal ini disadari oleh pengurus OSIS SMA 3
Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
Setelah hujan turun deras mengguyur Desa Guluk-Guluk, Sumenep, Sabtu
(24/12) siang kemarin, dengan memanfaatkan jaringan
internet mereka menggelar Diskusi Video Conference Lintas-Benua di laboratorium IPA SMA 3 Annuqayah. Acara yang mengangkat
tema “Geliat Dakwah Islam di Eropa” dengan pembicara langsung dari Norwegia,
Abdillah Suyuthi, ini merupakan seri yang kelima.
“Dalam acara diskusi seperti ini, saya selalu berusaha mengangkat
tema yang tak biasa. Unik. Semisal dakwah Islam di Eropa yang tentu anak-anak
didik kami tidak banyak tahu secara pasti dari sumber utamanya. Paling-paling
hanya melalui media massa,” ujarnya.
“Seri pertama Diskusi Lintas-Benua ini dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober tahun ini. Tema yang diangkat kalau tak salah ialah Generasi Muda dan Tantangan Global. Pembicaranya
Mauritz Panggabean, mahasiswa Indonesia yang
sedang PhD di NTNU, Trondheim, Norwegia.
Selanjutnya, disusul dengan seri-seri diskusi yang juga mengangkat tema-tema
menarik dan unik,” tutur M Mushthafa.
M Mushthafa pernah menetap di Norwegia selama 5 bulan, tahun 2009
lalu. Dia belajar di Eropa atas prestasinya mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus dari Uni
Eropa. Selama di Eropa, tentu M Mushthafa memiliki banyak teman dari ragam
disiplin keilmuan.
“Jauh-jauh hari sebelum model acara diskusi seperti ini dilakukan,
saya memang mengontak teman-teman saya itu. Salah satunya ialah Bapak Suyuthi yang
sekarang menempuh program PhD di
jurusan Teknologi Kelautan, NTNU, Trondheim, Norwegia. Riset beliau fokus pada kapal-kapal
laut di daerah bersalju,” tutur M Mushthafa saat dihubungi via handphone, Minggu
(25/12) malam.
Melalui Skype, Abdillah Suyuthi memberikan pencerahan kepada sekitar 50 peserta.
M Mushthafa berperan sebagai moderator pada acara itu.
“Saya ucapkan banyak terima kasih. Tak sedikit informasi baru yang kami
peroleh dari Bapak Suyuthi
tentang perkembangan Islam di Norwegia. Seperti adanya tambahan bangunan masjid
yang sewaktu saya di Trondheim, Norwegia, masih hanya ada
satu masjid,” ujar M Mushthafa kepada Suyuthi di depan laptop yang dioperasikannya,
usai presentasi Suyuthi yang bergulir sekitar 2 jam dan
diikuti secara khidmat oleh para peserta.
Tantangan Islam di Norwegia
Dalam penjelasannya, Suyuthi, yang mengenyam pendidikan di Norwegia semenjak
2006 lalu, memberikan uraian gamblang tentang potret umat Islam di Eropa,
khususnya di Norwegia.
“Jatuhnya Khilafah Usmani di Turki pada 1921,
perang 6 hari pada 1967 yang melibatkan Mesir, Israel, Suriah, dan Yordania,
serta perang di Irak dan di Afganistan pada 2000 hingga sekarang, berdampak
pada munculnya pengungsian besar-besaran dari umat Islam di wilayah tersebut.
Mereka mengungsi untuk bertahan hidup atau mencari pekerjaan, sehingga mereka
punya karakter keras,” papar Suyuthi detail.
“Para umat Islam yang ditimpa perang itu banyak yang mengungsi dan
menetap di Eropa, termasuk di Norwegia sendiri. Selanjutnya, mereka membentuk
komunitas Islam di Norwegia,” ungkap Suyuthi.
Suyuthi juga menambahkan bahwa di Norwegia, tak sedikit penduduknya
masuk Islam karena didasarkan hanya pada cinta atau alasan untuk menikah dengan orang Islam.
“Para gadis muslim tidak mau dinikahi pemuda non-muslim sebelum
pemuda itu mengikrarkan diri masuk Islam dengan membaca syahadat,” jelas
Suyuthi sembari tersenyum.
Dalam pandangan aktivis Kajian Muslim Indonesia Trondheim (KMIT) itu,
komitmen perempuan-perempuan muslim tersebut patut dibanggakan meskipun tidak
menjadi jaminan kualitas keberislaman seseorang. Dan ini menjadi salah satu
tantangan bagi Suyuthi yang sudah banyak memahami ajaran Islam.
Pada wilayah itu, tantangan lainnya ialah berkenaan dengan jadwal
shalat di Norwegia yang setiap hari mengalami perubahan. Persoalan ini
sebenarnya sudah teratasi melalui website islamicfinder.com. Namun secara lebih mendalam, ada masalah-masalah yang
perlu didiskusikan dan diteliti secara lebih mendalam, seperti soal waktu shalat
Isya’ di musim panas, ketika waktu malam di Trondheim begitu singkat.
Tantangan yang lainnya, lanjut
alumnus ITS Surabaya itu, ialah kristenisasi.
“Ada sejumlah orang yang melakukan kristenisasi ke rumah-rumah,” ungkapnya dengan nada
serius, agak ditekan. “Saya bahkan pernah diberi kitab injil. Untuk sekadar
menghargai, saya ambil saja.”
Gencarnya gerakan kristenisasi tersebut, tambah pria yang juga
tercatat sebagai dosen ITS Surabaya itu, berbanding terbalik dengan
perkembangan islamisasi.
“Berita yang mengabarkan bahwa laju islamisasi
di Eropa begitu deras hingga puluhan ribu tiap tahunnya itu bohong. Ini hanya propaganda agar Islam ditakuti,” ungkapnya.
Di Eropa, tambahnya, umat Islam cenderung hanya berjuang demi survive
(bertahan hidup), dalam arti bagaimana mereka menjaga keimanan
mereka. Mereka belum sampai melangkah pada gerakan islamisasi, hanya
mempertahankan agar anak dan keluarga tetap beragama Islam.
“Umat Islam belum melakukan langkah-langkah universal untuk
menduniakan Islam secara serius,” tegasnya.
“Di KMIT, kami
melakukan dakwah Islam semampu kami dengan cara mendiskusikan ajaran Islam.
Kami juga membuat selebaran yang berisikan ajaran-ajaran Islam,” tambahnya.
Tradisi Islami
Masih menurut Suyuthi, di Norwegia, terdapat banyak tradisi islami.
Dengan kata lain, sekalipun di Norwegia banyak masyarakatnya yang tidak
beragama Islam, tapi perilaku kesehariannya tak sedikit yang mencerminkan
nilai-nilai keislaman.
Ambil contoh, ujar Suyuthi, tentang kebersihan dan sikap toleransi
yang memang terkandung dalam ajaran Islam. “Di Norwegia sering terjadi macet
hanya gara-gara menghargai pejalan kaki,” katanya.
“Ketika ada pejalan kaki yang mau melintas di jalan, dari jarak
jauh kendaraan sudah mengerem untuk kemudian berhenti. Para sopir baru
menjalankan kendaraannya kembali sesudah pejalan kaki tersebut selesai menyeberangi
jalan,” papar Suyuthi.
“Pernah suatu ketika ada kakek yang menyeberang jalan secara pelan,
maka mobil yang semestinya melaju dengan cepat berhenti seketika,” ungkapnya.
Dan hebatnya, tegas Suyuthi, tak ada satu pun kendaraan yang
membunyikan klaksonnya.
“Bandingkan saja dengan di Madura yang penduduknya mayoritas Islam,” kata Suyuthi sembari tersenyum
tanggung. Para peserta pun banyak yang tertawa menimpali senyuman Suyuthi
tersebut.
Demikian pula berkaitan dengan kebersihan. Di Norwegia bisa
dipastikan sulit ditemui sampah berserakan dan parit-parit yang digenangi air
busuk kebiruan. Di Indonesia, mudah sekali ditemukan air tak bersih kebiruan di
parit-parit sekitar jalan serta banyaknya sampah yang berserakan di sekitar tempat
sampah.
Selain kebersihan dan sikap toleransi, Suyuthi juga mengungkap
tentang penanganan kesehatan di Norwegia.
“Di Norwegia, orang sakit langsung ditangani. Di Indonesia,
keluarga si sakit masih ditanyai uang dulu, cukup biaya pengobatan atau tidak.
Kerap kali di Indonesia orang sakit justru menghembuskan nafas terakhirnya di
rumah sakit karena tidak tertangani secara baik. Hanya gara-gara tidak punya
uang yang mencukupi,” jelas pria yang pernah menjadi khotib di masjid Trondheim
itu.
Respon Positif Peserta
Penjelasan Suyuthi tentang potret Islam dan umat Islam di Norwegia
mendapat respons positif dari
para peserta diskusi. Ketika M Mushthafa memberikan kesempatan bertanya kepada
para peserta, banyak peserta yang
ingin bertanya.
Maimunah, salah satu siswi kelas XII Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri, mengomentari
penjelasan Suyuthi tentang banyaknya pemeluk Islam yang bermula dari adanya
cinta.
“Mereka yang masuk Islam karena cinta, tentu pemahaman tentang
Islam terbilang minim. Aplikasi terhadap ajaran Islam secara utuh jelas dalam
tanda tanya besar. Ini sungguh memprihatinkan di tengah komunitas Islam di Norwegia yang bergerak tidak secara
aktif. Hanya survive kata pak Suyuthi tadi,” ujar Maimunah.
Mencermati pernyataan gadis imut yang
tingginya sekitar 155 cm itu, Suyuthi menyatakan bahwa dakwah Islam di Eropa
khususnya di Norwegia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Memang saya akui, orang-orang Eropa termasuk masyarakat Norwegia
itu punya kebiasaan negatif yang bertolak belakang dari ajaran Islam. Jangankan
berbicara ritual Islam, untuk mengubah kebiasaan itu amat sulit,” keluh
Suyuthi.
“Orang-orang Norwegia terkenal sebagai masyarakat yang tekun
belajar. Dari hari Senin sampai Jumat, mereka belajar secara sungguh-sungguh.
Sayangnya, hal itu berjalan seiring dengan
tradisi yang kurang baik,” ujar Suyuthi.
Dari hari Sabtu sampai malam Minggu, lanjutnya, mereka mabuk hingga
dini hari. “Mereka memiliki prinsip: belajar dan kerja serius, main juga
harus serius,” ungkap Suyuthi. “Oleh mereka, main selalu diterjemahkan ke dalam minum
minuman keras”.
Anisah, siswi kelas XI IPA SMA 3
Annuqayah, mempertanyakan sistem pembelajaran dan materi kajian di KMIT.
“Apakah menggunakan sistem pengajian sebagaimana diterapkan di pesantren-pesantren,
atau punya metode tersendiri?” tanya gadis yang cukup manis itu.
Suyuthi menjawab pertanyaan Anisah kurang begitu jelas karena koneksi internet yang
sedikit terganggu. Tapi, ada satu poin penjelasan yang dapat ditangkap bahwa KMIT, sewaktu-waktu
mendatangkan salah satu syekh alumnus Makkah dan Madinah yang konsentrasinya di
bidang mushthalah hadis. Mereka juga belajar bahasa Arab dan mengkaji
buku tafsir karangan Hamka.
Bersamaan dengan itu, Suyuthi mengungkap tentang tujuan dibentuknya
KMIT.
“Salah satu tujuannya ialah agar kami tidak terbawa oleh lingkungan
tak Islami,” tutur Suyhuti tanpa menggambarkan KMIT secara detail.
Salah satu siswi kelas akhir dari MA 1
Annuqayah Putri yang tidak jelas mengenalkan namanya bertanya tentang
langkah-langkah umat Islam di Norwegia untuk mengantisipasi agar anak-anaknya
tidak terpengaruh oleh perilaku yang tidak islami.
“Anak saya sendiri, alhamdulillah hingga kini tetap kukuh
mempertahankan jilbabnya. Ini tak lepas dari upaya membentengi diri dengan
ajaran Islam sejak dalam keluarga,” kata Suyuthi mengisahkan kehidupan
keluarganya.
“Kalau anak sudah ditanami ajaran-ajaran Islam sejak dini dalam
keluarga, maka dia akan mampu membentengi dirinya sendiri dengan ajaran Islam di
luar rumah,” tegasnya. “Dan saya sangat bersyukur karena di Norwegia menghargai
perbedaan dalam beragama.”
Gema tepuk tangan peserta mengakhiri acara diskusi yang berlangsung
2 jam lebih itu. Sebagai bonus, M Mushthafa menyempatkan diri mengenalkan letak-letak kota di
Trondheim melalui internet dan foto-foto Norwegia miliknya sewaktu mengenyam
pendidikan di sana.
Usai acara, peserta diskusi tidak langsung pulang. Mereka tergoda
oleh deretan buku yang dipajang di dekat pintu keluar. Buku-buku anyar tersebut
dijual oleh pengurus OSIS SMA 3 Annuqayah kepada para pesera diskusi.
Salah satu staf pengurus pondok pesantren Annuqayah yang hadir
dalam acara tersebut, Sumarwi, menyampaikan kesannya.
“Saya memang selalu mengikuti diskusi semacam ini semenjak seri
pertama. Sangat menarik. Acara seperti ini bisa menambah banyak wawasan yang
sulit didapatkan di Indonesia,” kata Sumarwi.
Hanya saja, tambah Sumarwi, dirinya kurang maksimal mengikuti
diskusi lintas-benua seri
kelima ini.
“Saya hadir agak terlambat. Berhubung suara Pak Suyuthi kadang agak
terputus-putus, maka saya mengikuti kurang maksimal,” ujarnya polos.
Dalam prediksi M Mushthafa, gangguan tersebut belum diketahu secara
pasti.
“Saya jadi penasaran. Sudah dua kali acara seperti ini terganggu
oleh koneksi yang kurang optimal. Untuk saat ini, besar kemungkinan karena jaringan internetnya terganggu. Bisa juga disebabkan oleh cuaca dingin karena hujan deras tadi,” kata M
Mushthafa.
Dihubungi secara terpisah, M Mushthafa menyatakan bahwa diskusi
lintas-benua tersebut
bukanlah yang terakhir.
“Pasti ada seri berikutnya, tinggal menunggu waktu. Dalam waktu
dekat ini, berkisar satu bulan dari sekarang, insya Allah akan ada lagi,” ujar
pria yang masih lajang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar