Paisun & Fandrik HS Putra, LPM Instika
“Jika tidak mau gigih, maka berhentilah (belajar menulis).
Karena saya yakin tidak akan berhasil,” demikian yang disampaikan oleh K. M.
Faizi, M. Hum., saat berbagi pengalaman menulis pada momen temu tokoh bersama
peserta Karantina Menulis di Beranda Mushalla Al-Furqan, Sabtu (03/12) pagi.
“Kita sering mendengar, al-istiqamah
ainul karomah. Istiqamah dalam bahasa Madura berarti tak gung nanggung (tidak
setengah-setengah, red.) Jadi, tidak boleh setengah-setengah dalam
belajar menulis,” ujar penyair yang pernah diundang ke Berlin, Jerman untuk membaca
puisi itu.
Beliau pun menceritakan
kengototan dan “kegilaannya” dalam menulis, khususnya menulis puisi. Pada tahun
1997, hampir semua media di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga
Papua, pernah dikirimi puisi. Padahal, beliau tidak pernah tahu apakah media
tersebut memiliki rubrik puisi atau tidak. Beliau mendapatkan alamat-alamat
media tersebut dari yellow page buku telepon, yang biasanya menyajikan
iklan surat kabar.
Selain itu, sebagai bentuk kengototan,
sejak tahun 2003, beliau mempunyai komitmen untuk menghidupkan kembali kosakata
arkaik, kosa kata yang jarang digunakan oleh orang. Sejak tahun 2007 hingga 2010,
beliau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dari halaman pertama hingga paling
terakhir untuk mencari kosakata arkaik tersebut.
“Ya, kuncinya (menulis, red.) itu: nekat dan ngotot,” pungkas Pengasuh PPA daerah Al-Furqan tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh
K. M. Mushthafa saat berbagi pengalaman seputar karir menulis dan pengalamannya ke
luar negeri, Jumat (02/12) malam di Aula As-Syarqawi. Menurut beliau, membaca
dan menulis pada dasarnya adalah bagaimana meluangkan waktu yang ada. Dalam hal
ini, tentu saja membutuhkan ketekunan tersendiri.
Ada tiga tahapan orang yang
belajar menulis. Pertama, untuk berkomunikasi sehari-hari. Kedua, menulis
sebagai profesi. Ketiga, mengenali diri. Pada
tingkatan terakhir ini, menulis mampu membebaskan diri dari ruang sempit ke
ruang yang lebih luas.
“Pada tahap yang ketiga inilah si penulis sudah bisa
dikatakan menempuh jalan sufi, semacam kredo (keimanan, red)
menulis,” tuturnya.
Selain itu, beberapa tokoh penulis
lain yang akan diagendakan turut hadir pada karantina menulis selama seminggu
itu antara lain Ach. Maimun Syamsuddin, H. Abdul Wahid Hasan, Fathol Kholik, H.
Muh. Husnan A. Nafi’, dan Muhammad Suhaidi RB.
Berita ini dikutip dari Fajar News.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar