Ahmad Sahidah PhD
Dosen Sains Pemikiran dan
Etika Universitas Utara Malaysia
Betapa pun, hubungan
Indonesia dan Malaysia sering memburuk, namun pada waktu yang sama keduanya
acapkali bertemu dan mengikat janji. Bahkan, setelah moratorium pengiriman
tenaga kerja sektor pekerja tata laksana rumah tangga berlangsung dua tahun,
kedua negara serumpun memeterai perjanjian untuk mencairkan pembekuan
ini. Pada saat bersamaan, investasi Malaysia ke Indonesia makin meningkat,
namun ia pun tak menggoyahkan rasa nyinyir orang ramai. Apa pun, terkait dengan
negara tetangga, buruk. Potret paling terang benderang adalah rasa
nasionalisme yang membuncah ketika pertandingan akhir Sea Games ke-26 di Gelora
Bung Karno, betapa ratusan ribu orang memadati stadion kebanggaan itu dengan
pesan jelas Ganyang Malaysia!
Tetapi, bola bundar itu
menunjukkan wataknya. Ia bisa membalikkan keadaan karena faktor lain. Meskipun
Garuda Muda bertaburan pemain bintang, belum lagi didukung tiga penyerang
handal, namum tim besutan Rahmad Darmawan ini justeru tersungkur di babak adu
penalti. Apa yang bisa dipelajar dari Harimau Muda? Adakah kita mau menyisakan
sedikit rasa kagum terhadap anak-anak asuhan Ong Kim Swee? Pertanyaan ini perlu
dilontarkan agar kita tak melulu melihat wajah jahat negara tetangga. Selain
itu, ada hal lain yang juga perlu ditengok, yaitu pendidikan.
Bagaimanapun, isu ini perlu diperhatikan karena sebagaimana dikatakan
oleh Lyndon B John son, At the desk where I sit, I have learned one great
truth, the answer for all national problems - the answer for all the problems
of world - come to a single word. That word is "education".
Tentu saja, saya akan
menyoroti salah satu isu penting di kalangan perguruan tinggi kita, kekurangan
pengajar berkualifikasi S3. Bagaimanapun, masalah kekurangan dosen berkualifikasi
doktor terkait dengan prilaku birokrasi kebanyakan kampus di sini masih juga
belum berubah. Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional pun tak kalah bacul,
kementerian yang dipimpinnya akan menggenjot usaha menambah tenaga pengajar
bergelar doktor hingga 20 persen tahun 2015. Sementara, menurut Reza Muhida,
ketua ILRAM (Indonesian Lecturer and Researcher Association Malaysia), ada 300
orang dosen asal Indonesia yang menyandang gelar doktor mengajar di Malaysia.
Malah, ada kecenderungan pertambahan jumlah secara konsisten. Apakah ada
yang salah dengan keadaan di negeri sendiri?
Saya masih ingat cerita
seorang pejabat di sebuah universitas negeri di Yogyakarta yang menyatakan
bahwa ada seorang calon doktor yang belum menyelesaikan kuliahnya hingga 16
tahun. Selain itu, ada banyak dosen yang menyelesaikan program strata 3 ini
menjelang pensiun. Baru saja meraih gelar doktor, ia harus hengkang dari
kampus. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, banyak dosen muda yang meraih
gelar doktor di kampus lokal, meskipun jumlahnya tidak menyenangkan, kurang
dari 10 persen dari seluruh dosen di institusi pendidikan tinggi.
Lalu, mengapa perguruan
tinggi di sini begitu seret melahirkan doktor? Adakah ini terkait dengan
birokrasi kampus atau sistem perkuliahan yang memang memerlukan waktu lama?
Biasanya, untuk menyelesaian program doktoral, mahasiswa mengambil mata kuliah
selama empat semester. Setelah lulus semua subjek, mereka bisa menulis proposal
disertasi. Nah, di sinilah cerita mulai seram. Pembimbing susah ditemui, karena
selain menyelia mahasiswa, biasanya sang dosen mengajar di banyak tempat,
bahkan terbang hingga ke negeri yang jauh. Tak jarang profesor itu mengingari
janji dan kalau pun menepatinya hanya dalam waktu yang singkat memberikan
bimbingan.
Harus diakui bahwa tugas
akhir dari seorang calon doktor adalah penulisan disertasi. Sebagai penanda
dari kualifikasi sebagai sarjana dalam jenjang terakhir dari sebuah lembaga
pendidikan, ia menjadi karya yang harus memenuhi syarat ilmiah, seperti latar
belakang, objek kajian, pendekatan, analisis dan temuan, lalu diakhiri
dengan kesimpulan secara meyakinkan. Sistem program doktoral di sini yang
mengandaikan perkuliahan selama 4 semester tentu akan membantu promovendus
untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Dengan diskusi secara intensif bersama
profesor dan rekan, mereka akan makin mudah untuk memperbaiki sistematika dan
materi disertasi.
Dalam program-program illmu
sosial dan alam tentu saja lembaga perguruan tinggi di sini akan mudah
meluluskan mahasiswa karena universitas mempunyai sistem yang memungkinan
mahasiswa untuk segera menyelesaikan kuliah. Sejatinya birokrasi turut membantu
mempercepat studi mahasiswa. Prof Musa Asy’arie, sekarang rektor UIN
Yogyakarta, pernah menegaskan bahwa birokrasi dibuat untuk memudahkan urusan.
Pada waktu yang sama, setiap urusan harus berhenti di satu titik. Ketika
menjabat sebagai Direktur Pascasarjana, bekas santri Termas ini tidak mau
direpotkan hal rutin, seperti tanda tangan untuk pengesahan judul tesis. Ini dilakukan
agar birokrasi tidak terlalu panjang. Pada masanya, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga banyak meluluskan mahasiswa doktoral.
Pengalaman saya mengambil
program S3 di Universitas Sains Malaysia mungkin perlu ditimbang. Setelah
mendapatkan kelulusan untuk menyelesiakan program doktor falsafah, saya menemui
seorang pembimbing, Prof Madya Zailan Moris. Dosen yang mengambil S3 di
Universitas Washington Amerika Serikat ini mengajak saya membahas kembali
judul yang telah diberikan pada kampus dan membahas materi yang bisa
dikembangkan dari judul. Lalu, dalam masa enam bulan, saya pun kembali
menemuinya. Setelah dianggap layak untuk maju seminar proposal, bekas murid
Seyyed Hossein Nasr tersebut menelepon tata usaha untuk memastikan jadual
pembentangan. Betapa rampingnya birokrasi.
Selanjutnya, saya sebagaimana
mahasiwa yang lain akan menyelesaikan bab-bab berikutnya di bawah bimbingan
penyelia, sebutan pembimbing di negeri jiran. Tak hanya berurusan dengan tugas
pokok ini, saya juga dilibatkan dengan proyek penelitian dengan hibah kampus.
Banyak mahasiswa asal Indonesia yang juga memperoleh pendapatan tambahan
dari dana yang diperuntukan untuk dosen agar produktif menghasilkan
artikel jurnal dan buku. Malah, meskipun beliau ke luar negeri, hubungan
melalui surat elektronik menggantikan pertemuan tatap muka. Seringkali saya
hanya memerlukan satu jam untuk berjumpa setelah sebelumnya memberitahu yang
bersangkutan melalui telepon genggam.
Singkat cerita, setelah
menyelesaikan seluruh bab, saya mengurus prasyarat ujian akhir. Ternyata
otoritas pembimbing begitu besar. Dengan bermodal tanda tangan bersangkutan,
saya tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengesahan dekan dalam waktu
sehari. Kemudian sepuluh salinan disertasi diserahkan pada tata usaha untuk
dicarikan penguji luar dan dalam. Dengan hanya membayar RM 700 (setara Rp
2,1 juta ) pada Mei 2009, saya menjalani ujian selama hampir dua jam. Berbeda
dengan di sini, mahasiswa di sana tak perlu menempuh ujian tertutup dan
terbuka, yang banyak memerlukan biaya. Sebenarnya biaya ujian akhir bisa
dipangkas, dengan cara mengundang penguji yang paling dekat dengan kampus sang
promovendus.
Nah, dari cerita di atas, semestinya pihak pengelola
kampus memikirkan kembali sistem perkuliahan dan pembimbingan untuk mahasiswa
doktoral. Bukan semata-mata hanya untuk melahirkan banyak doktor sebagaimana
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi lebih jauh untuk
mendorong pegiat akademik (civitas academica) bergegas
menghasilkan gagasan dan bertukar pikiran dengan khalayak. Bagaimanapun, gelar
doktor bukan terminal akhir dari perjalanan seseorang menekuni kegiatan
pengetahuan. Tentu saja, buku dan jurnal merupakan kepanjangan dari pergulatan
ide yang bersangkutan, namun pada waktu yang sama mereka senantiasa turut
meramaikan opini di koran dan diskusi di media elektronik terkait isu-isu baru
dan hangat. Kalau bisa dipermudah, mengapa banyak pihak mempersulit proses
seseorang menyelesaikan jenjang terakhir dari institusi pendidikan di negeri ini?
Ahmad Sahidah adalah alumnus PP Annuqayah Latee. Tulisan ini dikutip dari Majalah AlFikr, IAI Nurul Jadid Paiton Jawa Timur, Edisi Januari 2012.
1 komentar:
Mencerahkan
ada banyak orang yang minder melanjutkan kuliah katnya bosen dengan tugas
ini karena tidak sedikit dosen hanya mau tugasnya diselesaikan oleh mahasiswa tanpa mau mendampingi mahasiswa yang mengerjakan tugasnya...
semoga tulisan tersebut menjadi setetes embun dan membuka "pikiran" pegiat civitas akademik
Posting Komentar