Fandrik HS Putra, PPA Lubangsa
“Annuqayah adalah rumah kedua saya.” Begitulah yang dikatakan cerpenis asal Surabaya, Lan Fang, ketika kami mewawancarainya di kamar KH Muhammad Shalahuddin Warits (Gus Mamak) pada Senin pagi (21/05) pukul 07.57 WIB.
Bukan tanpa alasan perempuan yang mengaku telah menekuni karier di dunia kepenulisan sejak tahun 1986 ini mengatakan demikian. Ia sangat tersanjung atas sambutan orang-orang pesantren yang sangat ramah. Di samping itu, ia juga sudah sangat berteman baik dengan K Faizi, Neng Ovie, Gus Mamak, dan keluarganya.
“Pesantren di sini sangat bagus. Nilai-nilai kepesantrennya sangat terjaga seperti akhlaqul karimah-nya, dan berani bersikap terbuka dengan dunia luar selama tidak merusak nilai-nilai kepesantrenan. Saya merasa nyaman di sini,” tuturnya.
Kedatangannya ke PP Annuqayah kali ini merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya ia pernah mengisi workshop kepenulisan yang diadakan oleh Madaris 3 Annuqayah pada pertengahan tahun lalu serta pada pelatihan menulis fiksi dalam lanjutan kegiatan karantina menulis PPA Lubangsa Putri di bulan Februari yang lalu.
Perempuan kelahiran Banjarmasin 5 Maret 1970 ini menilai bahwa animo santri untuk menulis sangat besar. Tetapi ternyata kualitas tulisan mereka masih jauh di bawah rata-rata. Menurutnya, rendahnya kualitas tulisan mereka itu karena mereka kurang menjiwai dan merenungi apa yang ditulisnya.
“Kebanyakan penulis sekarang memang maunya yang instan, ingin cepat-cepat menyelesaikan tulisannya. Padahal dalam menulis itu perlu banyak menggali gagasan-gagasan yang diikuti dengan sebentuk perenungan, apakah tulisan itu sudah menjawab inti persoalan yang akan diangkat,” tuturnya dengan semangat.
Lantas dia mencontohkan pada perayaan ulang tahun Indonesia-Tionghoa (Inti) tahun 2008. Lomba menulis cerpen se-Jawa Timur adalah salah satu bagian dari perayaan itu. Kebetulan ia yang menjadi jurinya. Lan Fang kaget, ternyata ada banyak naskah cerpen yang masuk dari Kabupaten Sumenep. Namun, dari sekian ratus naskah yang masuk itu tidak ada yang lolos seleksi dan menjadi juara.
“Tetapi ketika mereka mengekspresikannya dalam bentuk fisik, misalkan teater dan baca puisi, performanya top banget. Mereka bisa sangat menjiwainya. Bahkan hati saya juga tersentuh ketika menontonnya. Contohnya, pada perayaan Festival Sastra Surabaya (FSS) 2010. Dalam teater dan baca puisi, pemenangnya didominasi oleh orang-orang di sini (Madura),” ungkapnya.
Selain dalam hal menulis, secara pribadi ia merasa tertarik dengan tradisi-tradisi pesantren yang berbasis NU. Perempuan yang pernah meresensi buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring itu menuturkan, selain teologi, banyak kesamaan tradisi warga Nahdliyyin yang ia temui dengan tradisi-tradisi masyarakat Tionghoa. Misalkan berziarah (mengunjungi kuburan), slametan, dan lain-lain.
“Saya dulu ketika di Banjarmasin tidak tahu kalau di NU ada slametannya juga. Bahkan tadi malam saya juga ikut melaksanakan acara haul bersama keluarganya Neng Ovie,” ungkapnya sembari tertawa. Kesamaan-kesamaan inilah juga yang semakin menguatkan dirinya bahwa PP Annuqayah menjadi tempat kedua bagi pemilik nama yang artinya 'keharuman bunga anggrek' itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar