Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan
Guluk-Guluk—Sejak
dulu, Madura selalu dihadirkan dalam stereotip yang buruk. Menurut Huub de
Jonge, suku yang paling sering dicitrakan negatif adalah suku Madura.
Masyarakatnya dikesankan kasar, temperamen, suka carok, dan terbelakang. Citra demikian adalah produk kaum penjajah untuk
memojokkan masyarakat Madura.
Demikian disampaikan oleh A. Dardiri Zubairi dalam acara bedah bukunya
yang berjudul Rahasia Perempuan Madura, Kamis, 18 April 2013, di Aula
As-Syarqawi, PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Acara
ini dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman
Annuqayah (BEM-I Instika) sebagai salah satu rangkaian acara Festival Cinta
Buku (FCB) V Nasional.
Menurut A. Dardiri, penelitian tentang Madura yang ada selama ini banyak
dilakukan oleh orang luar Madura. Bahkan, sebagian dari mereka adalah orang
asing. Gambaran yang dihadirkan dalam penelitian tersebut, menurutnya, masih
bercorak kolonial. “Makanya, jangan serahkan Madura kepada orang luar. Sampeyan-sampeyan sendiri yang harus
menuliskannya,” tuturnya.
Hal senada disampaikan oleh Tatik Hidayati yang hadir
sebagai pembanding pada diskusi tersebut. Menurutnya, belum banyak penelitian serius yang dilakukan
oleh orang Madura untuk mengimbangi citra negatif yang sudah berkembang. “Pak
Latief Wiyata kebanyakan masih memunculkan unsur kekerasan,” lanjutnya.
Buku Rahasia Perempuan Madura merupakan salah
satu upaya mengikis citra negatif tersebut. Di dalamnya dibahas tentang
berbagai padangan hidup positif orang Madura. “Ciri-ciri orang Madura itu
religius, ulet, sederhana, seimbang, tegas dan keras ketika menyangkut hal-hal
prinsip, hangat, dan kuat persaudaraannya,” lanjut A. Dardiri. Hal itu juga
tergambar dalam peribahasa-peribahasa yang hidup dalam keseharian masyarakat
Madura, misalnya, “pajekjek ma’ sodek, bile lendu ma’ ta’ agudek”. Peribahasa
ini mengajarkan tentang sikap teguh pendirian.
Tulisan berjudul “Rahasia Perempuan Madura” yang sekaligus
menjadi judul buku tersebut berbicara tentang karakter perempuan Madura. “Ini
adalah salah satu bentuk penghormatan saya kepada Ibu,” kata A. Dardiri. Menurutnya,
perempuan Madura lebih tangguh daripada
laki-laki. “Mereka
bisa bertahan lama di dapur. Kebiasaan yang sulit dilakukan oleh lelaki. Makanya,
D. Zawawi Imron pernah menyatakan
bahwa laki-laki Madura akan mati tanpa ada perempuan,”
lanjutnya.
Walau begitu, bagi Tatik, di Madura, budaya patriarkhi
masih berkembang. “Misalnya ketika ada acara, tempat untuk perempuan selalu ada
di belakang,” katanya. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan. “Di daerah
saya di Gapura, masih banyak perempuan yang nikah dini,” lanjutnya.
Soal carok,
bagi A.
Dardiri, ia adalah mekanisme relasi antara laki-laki dan perempuan. Sejak carok makin sedikit, kini kian banyak
perzinahan dan perselingkuhan. “Di rumah saya di Gapura, dalam lima belas hari,
ada sebelas perselingkuhan,” katanya. Menurutnya, ini harus ada mekanisme lain
yang mengatur relasi tersebut.
Acara yang berlangsung sekitar pukul
14.40-16.40 WIB. tersebut dihadiri oleh sejumlah santri, baik putra maupun
putri, dari berbagai daerah di PP Annuqayah, juga non-santri. Hadir pula dalam kesempatan itu M. Mushthafa, penulis buku Sekolah dalam Himpitan
Google dan Bimbel yang juga Kepala SMA 3 Annuqayah.
FCB V Nasional direncanakan akan berlangsung hingga 23
April 2013. Serangkaian acara yang telah dan akan dilaksanakan antara lain: bazar
buku, bedah buku, pentas seni, lomba debat, lomba esai dan cerpen, baca puisi,
dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar