Minggu, April 21, 2013

Citra Buruk Madura Dibesarkan oleh Kaum Penjajah


Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan

Guluk-Guluk—Sejak dulu, Madura selalu dihadirkan dalam stereotip yang buruk. Menurut Huub de Jonge, suku yang paling sering dicitrakan negatif adalah suku Madura. Masyarakatnya dikesankan kasar, temperamen, suka carok, dan terbelakang. Citra demikian adalah produk kaum penjajah untuk memojokkan masyarakat Madura.

Demikian disampaikan oleh  A. Dardiri Zubairi dalam acara bedah bukunya yang berjudul Rahasia Perempuan Madura, Kamis, 18 April 2013, di Aula As-Syarqawi, PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Acara ini dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (BEM-I Instika) sebagai salah satu rangkaian acara Festival Cinta Buku (FCB) V Nasional.

Menurut A. Dardiri, penelitian tentang Madura yang ada selama ini banyak dilakukan oleh orang luar Madura. Bahkan, sebagian dari mereka adalah orang asing. Gambaran yang dihadirkan dalam penelitian tersebut, menurutnya, masih bercorak kolonial. “Makanya, jangan serahkan Madura kepada orang luar. Sampeyan-sampeyan sendiri yang harus menuliskannya, tuturnya.

Hal senada disampaikan oleh Tatik Hidayati yang hadir sebagai pembanding pada diskusi tersebut. Menurutnya, belum banyak penelitian serius yang dilakukan oleh orang Madura untuk mengimbangi citra negatif yang sudah berkembang. “Pak Latief Wiyata kebanyakan masih memunculkan unsur kekerasan,” lanjutnya.

Buku Rahasia Perempuan Madura merupakan salah satu upaya mengikis citra negatif tersebut. Di dalamnya dibahas tentang berbagai padangan hidup positif orang Madura. “Ciri-ciri orang Madura itu religius, ulet, sederhana, seimbang, tegas dan keras ketika menyangkut hal-hal prinsip, hangat, dan kuat persaudaraannya,” lanjut A. Dardiri. Hal itu juga tergambar dalam peribahasa-peribahasa yang hidup dalam keseharian masyarakat Madura, misalnya, “pajekjek ma’ sodek, bile lendu ma’ ta’ agudek”. Peribahasa ini mengajarkan tentang sikap teguh pendirian.

Tulisan berjudul “Rahasia Perempuan Madura” yang sekaligus menjadi judul buku tersebut berbicara tentang karakter perempuan Madura. “Ini adalah salah satu bentuk penghormatan saya kepada Ibu,” kata A. Dardiri. Menurutnya, perempuan Madura lebih tangguh daripada laki-laki. “Mereka bisa bertahan lama di dapur. Kebiasaan yang sulit dilakukan oleh lelaki. Makanya, D. Zawawi Imron pernah menyatakan bahwa laki-laki Madura akan mati tanpa ada perempuan,” lanjutnya.

Walau begitu, bagi Tatik, di Madura, budaya patriarkhi masih berkembang. “Misalnya ketika ada acara, tempat untuk perempuan selalu ada di belakang,” katanya. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan. “Di daerah saya di Gapura, masih banyak perempuan yang nikah dini,” lanjutnya.

Soal carok, bagi A. Dardiri, ia adalah mekanisme relasi antara laki-laki dan perempuan. Sejak carok makin sedikit, kini kian banyak perzinahan dan perselingkuhan. “Di rumah saya di Gapura, dalam lima belas hari, ada sebelas perselingkuhan,” katanya. Menurutnya, ini harus ada mekanisme lain yang mengatur relasi tersebut.

Acara yang berlangsung sekitar pukul 14.40-16.40 WIB. tersebut dihadiri oleh sejumlah santri, baik putra maupun putri, dari berbagai daerah di PP Annuqayah, juga non-santri. Hadir pula dalam kesempatan itu M. Mushthafa, penulis buku Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel yang juga Kepala SMA 3 Annuqayah.

FCB V Nasional direncanakan akan berlangsung hingga 23 April 2013. Serangkaian acara yang telah dan akan dilaksanakan antara lain: bazar buku, bedah buku, pentas seni, lomba debat, lomba esai dan cerpen, baca puisi, dan lain-lain.

Tidak ada komentar: