Fahrur Rozi, PPA Lubangsa Selatan
Guluk-Guluk—Jum’at,
19 April 2013, Festival Cinta Buku (FCB) V Nasional, Badan Eksekutif Mahasiswa
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (BEM-I Instika) menyelenggarakan kegiatan
bedah buku yang ketiga kalinya. Kali ini, giliran buku berjudul Lumpur.
Hadir dalam kesempatan tersebut Yazid R. Passandre,
penulisnya, dan K. Muhammad Afifi sebagai pembanding.
Menurut Yazid, novel Lumpur merupakan salah satu ekspresi kegelisahannya terhadap bencana
Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo. Selama ini, menurutnya, belum ada
novel yang membahas tentang tragedi itu. “Sastra tidak hadir di Sidoarjo.
Pembelaan secara sastrawi tidak ada,” katanya.
Bagi Yazid, Lumpur Lapindo tidak hanya soal bencana
material. Yang lebih penting dari itu adalah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
dan kultural. “Lumpur Lapindo lebih parah dari tsunami Aceh. Jika di Aceh
kebudayaan masih ada, maka di Sidoarjo sudah habis. Mereka juga kehilangan mata
rantai sejarahnya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh K. Afifi. Beliau
mencontohkan konflik yang terjadi di Jawa Tengah pada tahun 1985. Tiga puluh tujuh desa
tenggelam karena dijadikan waduk untuk pembangkit tenaga listrik yang terkenal
dengan nama Kedung Ombo. Masyarakat di sana harus pindah walau sebagian tetap
bertahan karena kecilnya uang ganti rugi. Mereka melawan pemerintah yang
memihak korporasi. “Mereka harus meninggalkan nenek moyangnya,” lanjut K. Afifi.
Lewat novel tersebut, menurut Yazid, dirinya ingin
menyampaikan dua hal. Pertama, mengubah mind
set pemerintah yang lebih memihak korporasi. “Jika pemerintah sudah
berselingkuh dengan pengusaha, maka rakyat yang menjadi korbannya,” katanya. Kedua, ia juga
ingin merawat ingatan tentang peristiwa tragis. “Ini adalah usaha melawan lupa,” tegasnya.
Ditanya soal proses kreatif lahirnya novel Lumpur, Yazid tak banyak mengungkapkan.
Namun, menurutnya, karena novel tersebut berbicara tentang persoalan korporasi,
ada sejumlah hal yang menjadi rintangan atas proses penerbitannya.
“Saat peluncuran novel ini, penerbit mengundang 30-an
wartawan. Namun tidak ada satu pun yang hadir pada waktu itu,” katanya.
Menurutnya, ini adalah salah satu usaha menenggelamkan novel tersebut. Pada
saat yang bersamaan, muncul novel berjudul Anak
Sejuta Bintang yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral. Novel ini berkisah tentang kehidupan Aburizal
Bakeri, pemilik PT Minarak Lapindo Jaya yang melakukan eksplorasi minyak di
Sidoarjo.
Bertempat di aula As-Syarqawi, acara bedah buku ini
berlangsung sekitar pukul 14.30-16.07 WIB. Para peserta terdiri dari santri,
baik putra maupun putri, dan mahasiswa. Tak seperti diskusi buku sebelumnya,
kali ini peserta terlihat sepi.
Bedah buku kali ini merupakan yang ketiga kalinya
setelah kumpulan cerpen Penggali Sumur dan Rahasia Perempuan Madura
pada Kamis, 18 April 2013. Setelah novel ini, pada Sabtu, 20 April 2013,
direncanakan akan dilangsungkan launching
buku Beauty and the Bus karya K. M. Faizi, kiai dan penyair yang
menggemari bus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar