Rabu, April 04, 2012

Perbandingan Pendidikan Tinggi di Negara Serumpun

Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa

Guluk-Guluk—Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk Sumenep bukanlah perguruan tinggi favorit sekaliber UGM atau UI. Namun, komitmen untuk meningkatkan Pendidikan Tinggi (PT) berkualitas patut diacungi jempol.

Komitmen tersebut bisa dilihat pada seminar internasional dalam rangka kerja sama dengan Universiti Utara Malaysia (UUM). Bentuk kerja sama yang akan dilakukan berupa pertukaran mahasiswa dan dosen serta publikasi penelitian dalam bentuk karya tulis ilmiah.

Seminar Internasional bertajuk The Effective Learning for Obtaining Master and Ph.D in College or Universities: An Experience of Two Neighbour Countries mendiskusikan perbandingan PT di negara serumpun, khususnya di jenjang S-2 dan S-3. Sebagai pembicara adalah Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd, dosen Instika serta dosen pasca-sarjana di beberapa perguruan tinggi Indonesia, dan Ahmad Sahidah, Ph.D, dosen senior UUM.

Problem Akademik

Setidaknya ada tiga pilar utama fokus PT di Indonesia, yaitu berbasis mahasiswa, berbasis riset, dan berbasis filosofi. Akan tetapi, tiga pilar tersebut, menurut Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd, hanya sebatas diskursus di level pemegang otoritas PT karena komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi dosen sangat rendah.

Rendahnya komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi dosen, lanjutnya, dikarenakan beberapa faktor di antaranya karena pemerintah belum memberikan pengawalan, pengawasan, dan perhatian yang baik terhadap jalannya proses pendidikan.

Sementara Ahmad Sahidah, Ph.D menilai bahwa kualitas PT di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Malaysia. Hanya saja, perhatian pemerintah terhadap PT lebih baik, baik di bidang infrastruktur, layanan pendidikan, perpustakaan, dan sarana teknologi. 

“Malaysia akan gagal menjadi negara maju kalau hanya mengandalkan fasilitas. Saya katakan kepada mahasiswa saya bahwa maju itu ada dalam pikiran bukan dalam bentuk fisik,” ujarnya.

Ketua Ikatan Sarjana NU (ISNU) cabang Malaysia tersebut mengakui bahwa kerangka berpikir mahasiswa Indonesia lebih diunggulkan, sebab di Malaysia tidak ada jurusan filsafat. Namun, karena perhatian pemerintah terhadap PT sangat besar, meskipun jurusan filsafat tidak ada, ketersediaan buku-buku filsafat sangat lengkap. Selain itu, gaji guru dan dosen jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia.

“Gaji dosen pangkat III-D di Indonesia hanya 5 juta rupiah sedangkan di Malaysia mencapai 30 juta. Profesor gajinya 50 juta. Itulah sebabnya mengapa saya lebih suka mengajar di Malaysia daripada di Indonesia,” tuturnya sambil tersenyum.

Jurnal Ilmiah

Fathorrahman Utsman, M.Pd, salah seorang peserta seminar membenarkan bahwa kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap guru dan dosen masih kurang.

Ia juga menyatakan rasa sakit hatinya di depan forum, yaitu ketika menerima surat edaran dari Ditjen Dikti tentang kewajiban menerbitkan karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah bagi calon sarjana. Ia mengkritik surat edaran Ditjen Dikti yang memberikan alasan bahwa Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di bidang karya tulis ilmiah.

“Kenapa harus Malaysia? Bukan Inggris, Jepang atau Amerika,” katanya.

Di Malaysia, mahasiswa berkewajiban untuk membaca. Tanpa membaca, maka dianggap mengkhianati tugas sebagai mahasiswa. Sedangkan di Indonesia oleh Mendikbud ditambah dengan menulis. Tingkat kemampuan menulis di Indonesia lebih tinggi. Mahasiswa di PT Malaysia disibukkan dengan menghapal sehingga kreativitas menulis sangat minim atau bahkan “kering”. Di sinilah yang membuat Ahmad Sahidah, Ph.D bangga dengan pendidikan di Indonesia.

“Peluang kerja sama ini sebenarnya ingin memberikan kesempatan bagi para dosen untuk menulis di Malaysia baik menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa Arab. Itu akan bernilai Internasional kalau ukurannya ditulis di luar negara,” tuturnya.

Pendidikan yang Membebaskan

Indonesia adalah negara demokrasi. Itu merupakan modal sangat besar untuk mencapai kemajuan di bidang pendidikan. Kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat merupakan kemajuan pendidikan. Tetapi persoalannya, apakah kemajuan itu bermanfaat untuk mengembangkan wacana? Apakah kemajuan itu membebaskan?

“Di Indonesia tentu saja kearangka berpikir mahasiswa lebih hidup dan lebih demokratis,” ujar Sahidah. 

Di Malaysia, mahasiswa berpikir dibayang-bayangi oleh ketakutan. Apabila salah bertanya atau mengemukakan pendapat akan mendapatkan sanksi. Malaysia maju tetapi menjadi semu karena masyarakatnya tidak bisa mengarahkan sendiri pokok pikirannya. Namun, karena sudah ada perubahan politik, kemudian pikiran-pikiran baru bermunculan, maka dunia kampus mulai dibebaskan dari panggung politik. Jika tidak dibebaskan, pemerintah yang sekarang akan dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan itu tidak baik bagi negara demokrasi.

“Jadi sekarang dinamika pemikiran mahasiswa di Malaysia sudah bagus. Kehadiran para dosen dari Indonesia diharapkan memperbagus pola pikir orang melayu,” pungkasnya.

Sebelum seminar berakhir, Ahmad Sahidah, Ph.D kembali menekankan bahwa kemajuan bukan diukur dari segi fasilitas, tetapi dari segi pemikiran. Pendidikan di Indonesia lebih unggul di bidang pemikiran. Oleh karena itu, tradisi menulis tetap harus dilestarikan.

Tidak ada komentar: