Ahmad Sahidah, alumnus Annuqayah,
dosen di Universiti Utara Malaysia
Kepergian
sesepuh Annuqayah, KH A Warits Ilyas, mendatangkan duka. Ucapan bela sungkawa
tidak hanya datang dari keluarga Annuqayah dan warga sekitar, tetapi dari warga
seantero negeri. Doa-doa dipanjatkan oleh orang ramai, bahkan di dinding media
sosial Facebook dan Twitter munajat diungkapkan. Tahlilan digelar
untuk mendaras doa-doa agar almarhum mendapatkan jalan lapang menuju Tuhannya.
Masjid Jami’ Annuqayah disemuti oleh warga untuk mengiringi sang kyai dengan selaksa
doa. Bahkan, Tahlilan juga dilaksanakan di banyak tempat oleh mantan santri
Annuqayah yang tergabung dalam Ikatan Alumni.
Bagi saya
sendiri, beliau adalah pesona. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh santri
dan siswa yang pernah belajar dan mengikuti pengajian yang diampunya dulu.
Ketika saya mengambil pelajaran ilmu Mantiq, untuk pertama kali saya
mendengar nama filsuf, seperti aflaton (Plato) dan Aristo
(Aristoteles). Sebelum kelas bermula, para siswa biasanya telah duduk dengan
tenang dan tak bersuara sedikitpun. Kelas hening. Pelajaran berlangsung
khidmat. Hanya sekali, kelas kami memantik tawa pak kyai dan para siswa karena
salah seorang pelajar terjengkang dari kursi karena tertidur. Saya mengenal
dengan baik kawan tersebut dan mengingatnya hingga kini. Kehadiran kawan ini
memang selalu membuat kami riang.
Selain itu,
pengalaman yang paling membekas hingga kini ketika saya aktif di Markaz
al-Lughah al-Arabiyyah. Pak kyai adalah salah seorang yang mengajar kursus
bahasa Arab. Tentu, penyampaian pelajaran yang sepenuhnya dengan bahasa Arab
membuat kelas tampak terlalu tegang. Meskipun sebelumnya siswa telah menerima
hal serupa dalam mata pelajaran Hadits, Tajrid al-Sharih, Kyai Ishomuddin
AS. Untuk mencairkan suasana, pak kyai melontarkan lelucon keluarga Madura di
Arab Saudi. Karena si anak keluarga ini sering meminta uang jajan, si ayah
tampak gusar, sehingga mengatakan “fulus, fulus aina”.
Jelas, kalimat ini merupakan terjemahan harfiyah dari Bahasa Madura yang
menunjukkan uang yang mana lagi. Sontak, para siswa tak bisa menahan tawa.
Tentu sosok pak
kyai yang tegas dan lugas begitu tertanam di benak kami pada waktu itu. Sebagai
guru, panutan dan pengasuh, beliau adalah juga anggota wakil rakyat, bahkan
pernah menduduki kursi Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedudukan inilah
yang membuat putera Kyai Ilyas mendatangkan kesan tersendiri. Terkait aktivitas
politik kyai, ayah saya sendiri pernah mendengar Kyai Ishomuddin menegaskan
bahwa Kyai Warits tahu apa yang mesti dilakukan dalam dunia politik. Sebelum
era Reformasi, sebagian masyarakat menganggap politik sebagai aktivitas yang
tak mendatangkan manfaat bagi umat. Namun, pak kyai mengajarkan pada santri
bahwa politik itu adalah salah satu jalan untuk perubahan. Malah, kegiatan ini
tetap ditekuni dan menjadikan beliau sebagai sosok yang berpegang teguh para
garis politik yang diyakini. Sebuah teladan yang layak untuk diikuti di tengah
pragmatisme khalayak pada kekuasaan.
Ingatan yang
hingga kini selalu diingat oleh kami adalah pesan beliau dalam pertemuan para
kyai dengan alumni di Masjid Latee ketika saya masih belajar di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pertemuan yang dipandu oleh Kyai
Ilyasi Siraj memang betul-betul menggambarkan perkembangan dinamis kaum santri
setelah mereka meninggalkan Annuqayah untuk belajar di pelbagai institusi perguruan
tinggi, baik jurusan agama maupun umum. Mengingat salah seorang santri
menyodorkan kemungkinan pemahaman baru terhadap Islam, dalam sambutannya Kyai Warits
menyatakan secara tegas bahwa alumni yang berpaling dari akidah ahlussunnah
waljamaah, maka dengan sendirinya yang bersangkutan memutuskan hubungan
intelektual dan spiritual dengan Annuqayah. Pernyataan ini jelas bukan retorika
belaka. Pak kyai telah mengambil sikap dan secara konsisten berpijak pada
keyakinan ini.
Keteguhan sikap
kyai ditunjukkan kepada siapa pun yang menemuinya di rumah kediaman. Salah
seorang tua santri berkeluh-kesah bahwa sang anak telah mengambil jalan
pemikiran dan kegiatan keagamaan baru, Pesantren Hidayatullah. Setelah
disampaikan pada pak kyai, dengan lugas beliau menyatakan bahwa pemahaman baru
itu tidak sejalan dengan Ahlussunnah waljamaah. Serta-merta si ayah meminta si anak untuk memikirkan kembali
pilihan ideologi yang diyakini. Apa lacur, hingga si ayah meninggal, si anak
tetap merawat pemahaman barunya dan berkhidmat di organisasi tersebut sampai
sekarang.
Dengan otoritas
yang besar, sebagai kepala Madrasah Aliyah Annuqayah, kyai memberikan
kesempatan pada guru untuk tidak hanya mengembangkan kecerdasan kognitif para
siswa tapi juga kecerdasan sosial dan emosional mereka. Tak ayal, Pak Tohet
dengan mudah menggerakkan para siswa untuk mengikuti Palang Merah Remaja (PMR).
Terus terang, saya mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler ini dengan riang.
Organisasi ini mengenalkan saya secara tertib tentang pentingnya kesehatan dan
olahraga. Tak hanya itu, melalui jambore PMR, saya bisa mengenal dunia ‘luar’
karena kami bertemu dengan rekan-rekan sebaya dari daerah lain.
Pengalaman pribadi
bersilaturahim dengan kyai telah menebalkan keyakinan saya bahwa kyai telah
mengajarkan tentang makna kesetiaan. Ketika bergiat di Asosiasi Mahasiswa
Sumenep Yogyakarta (AMSY) pada tahun 2000, saya sowan untuk meminta pandangan
kyai tentang calon pemimpin nomor satu kota Sumekar. Siapa pun yang memimpin
mesti berpegang teguh pada nilai-nilai Ahlussunnah waljamaah. Pernyataan ini
tentu ingin meyakinkan semua warga Annuqayah bahwa pegangan akidah mereka mesti
kokoh dan berpijak pada ajaran yang ada di dalamnya terkait kehidupan sosial,
kultural dan politik.
Catatan sekilas
di atas tentu tidak mencatat semua pesona kyai mengingat keterbatasan penulis.
Namun, siapa pun akan menemukan keteguhan sikap yang ditunjukkan sang guru yang
mengilhamkan ini pada siapa pun. Di tengah godaan untuk meraih apa sehingga
membuat iman goyah, kyai telah mewariskan teladan bahwa kesetiaan itu bukan
pemanis mulut belaka, tetapi juga tindakan nyata. Menyambut perayaan 40 hari kepergian
KH A Warits Ilyas, kita ingin mengenang kembali bahwa sang guru boleh pergi,
tetapi sosoknya tetap di hati.
Tulisan ini dimuat
di Koran Madura, 3 April 2014.
5 komentar:
Akhirnya saya bisa membaca tulisan Pak Cik Ahmad ini.
Alhamdulillah saya sudah membaca. Adakah ulasan khusus tentang Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang beliau maksud?
Kalau ingin mengetahui secara mendalam tentang sejarah lahirnya dan perkembangan Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA), disarankan untuk membaca sebuah kitab kecil yang disusun oleh KH. Hasyim Asy'ari berjudul Arrisalah fi Ahlissunnah wal Jama'ah atau kitab Tauhid yang disusun oleh KH. Moh. Ilyas bin Moh. Assyarqowi berjudul Arrisalah al Baijuriyah yang telah di syarahi oleh cucunya Drs. KH. Muhammad Muhsin bin Amir bin Ilyas berjudul Lubbul Aqidah dan telah dibca dihadapan santri oleh pamannya alm. KH. A. warits ilyas di Masjid Jami' Annuqayah kl. dua tahun yang lalu. Silakan baca dan amalkan, Insya Allah barokah.
Posting Komentar