Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa
Matahari masih belum menampakkan diri. Suasana masih dibalut dingin karena di beberapa hari ini hujan turun. Di Sekretariat Annuqayah (19-11), para peserta Principal Mentoring baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ada satu peserta yang sudah bengun dan berdiri di depan kantor Sekretariat Annuqayah.
Bapak Masykuri, Kepala MAN Rembang, sedang memesan jajanan kecil dari orang yang biasa menjajakan makanannya setiap pagi ke kantin-kantin yang ada di Annuqayah. Ia juga memesan kopi. Beliau adalah salah satu peserta yang menginap di Sekretariat Annuqayah. Sedangkan yang lainnya adalah Bapak Wardoyo (SMAN 1 Bandung), Ibrahim Abdurrahman (SMAN 1 Tanah Luas), Hasbi (SMAN 1 Matangkula), Ahmad Yamani (SMAN 1 Syamtalira Aron), dan HMBC Laqof (MD Raudatut Talibin Rembang).
Saya bertegur sapa dengannya dan ia menyuruh saya untuk membantu membawa pesanannya ke dalam kamarnya. Bermula dari segelas kopi, pembicaraan pun mengalir. Ia bertanya apakah itu kopi asli (ditubruk sendiri) atau kopi instan. Saya menjawab itu murni buatan sendiri. “Masih natural, Pak,” kata saya. Lalu diikuti gelegar tawa semua peserta di kamar itu.
Peserta yang lainnya menyambungkan pembicaraan. “Kalau di Bandung, kopinya tidak seperti ini, rasanya agak asam,” ucapnya.
Lalu, pembicaraan kami semakim meluas kepada perbandingan budaya di daerah mereka masing-masing. Dari kerapan sapi sampai penyebaran penduduk Madura. Kalau saya ceritakan semuanya di sini, tulisan saya akan menjadi sangat panjang.
”Masyarakat Madura di mana saja pasti ada. Di Bandung ada yang dari Madura. Pertama ia menjual sate Madura dengan gerobak, tapi sekarang ia tidak menggunakan gerobak lagi. Ngapain dengan gerobak, wong gerobak itu sekarang sudah menjadi restoran,” ungkap Bapak Wardoyo yang tampak paling lucu dari sekian peserta Principal Mentoring.
Entah mengapa percakapan yang dimulai dari segelas kopi itu akhirnya mengarah pada perbincangan terorisme di Indonesia yang akhir-akhir ini melanda negara tercinta kita ini. Dalam hal ini yang paling banyak bercerita adalah HMBC Laqof. Ia masih keluarga dalem dari Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang. Ia banyak bercerita tentang Imam Samudra.
“Kalau Gus Mus—sapaan akrab KH Mustofa Bisri, pengasuh PP Raudlatut Thalibin, Rembang—untuk meredam doktrinnya (Imam Samudra) mudah sekali. Hanya dengan berkata ’Masak pantas mengucapkan takbir dengan melempar orang dengan batu’. Kalau kita amati makna itu kan, kita bisa sadar,” ucapnya.
Ia juga sedikit bercerita tentang diri Gus Mus terutama kelihaiannya dalam membaca potensi santrinya. Masih banyak pembicaraan yang masih belum terurai dalam tulisan ini. Namun inilah cerita yang paling berkesan pada diri saya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar