Pengalaman Pesantren dalam Pribumisasi Nilai-Nilai Multikultural untuk Membangun Keharmonisan di Tengah Perbedaan
Taufiqurrahman
Secara
geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13.000 pulau
lebih yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni
oleh kelompok masyarakat yang memiliki keunikan dan karakteristik yang
berbeda-beda, mulai dari masalah budaya, bahasa, suku, bangsa, dan agama.
Bahkan, Clifford Geertz menyebut Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga
rumit untuk menentukan anatominya secara persis.
Keragaman
suku bangsa, seni, budaya, agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi
negara dengan struktur sosial yang multikultural. Hal ini telah disadari oleh para
pendiri bangsa ini, bahwa keragaman bagi bangsa Indonesia adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, untuk tetap menjaga kerukunan
nasional, mereka menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah semboyan
persatuan. Perbedaan tidak lagi dipahami sebagai alasan bagi adanya permusuhan,
namun dijadikan modal untuk membangun bangsa dengan spirit persatuan.
Menurut Koentjaraningrat (1985), kebanggaan bangsa
Indonesia pada masa lalu adalah bahwa rakyat Indonesia yang meduduki kepulauan Nusantara
ini memiliki sifat plural dengan beraneka warna bahasa dan kebudayaan. Namun pada saat ini, keanekaragaman itu tidak lagi menjadi sebuah
kebanggaan, tetapi justru menjadi pemicu konflik dan permusuhan. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika hanya menjadi bahan ajaran bagi anak sekolah, tak pernah
dipraktikkan dalam dunia nyata. Media massa tak henti-hentinya memberitakan konflik
dan perselisihan, yang ujung-ujungnya akan tetap sama, karena ada motif
perbedaan. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah konflik
sosial pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi 77
kasus, namun data sampai pertengahan Agustus tahun 2012 meningkat lagi menjadi
89 kasus.
Hal
tersebut sudah menjadi bukti, bahwa semboyan persatuan Bhinneka Tunggal Ika
masih belum bisa kita wujudkan secara nyata. Inilah tantangan besar masa depan
bangsa. Bagaimana caranya bangsa Indonesia yang plural bisa menjaga persatuan
dan kerukanan nasional. Untuk menjawab persoalan tersebut, konsep multikulturalisme
bisa kita jadikan pijakan awal.
Memahami
Multikulturalisme
Sebagai
sebuah terminologi baru, multikulturalisme masih belum dipahami banyak orang.
Padahal, multikulturalisme saat ini menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab
tantangan masa depan, mengingat realitas bangsa yang heterogen dan
multikultural. Karenanya, saat ini kita harus paham betul apa dan bagaimana itu
multikulturalisme.
Multikulturalisme dapat kita pahami sebagai sebuah
perspektif atau cara pandang yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dan
fenomena kemajemukan budaya, bangsa, etnis, suku, ras, golongan, dan agama
untuk berinteraksi atau bahkan berkontestasi di dalam batas-batas wilayah sebuah
negara (Asman Aziz, 2009 : 105). Idealisme yang
ingin dicapai dengan multikulturalisme adalah kerekatan sosial melalui
pemahaman, penghargaan, dan pengakuan atas dasar keadilan sosial dan harga diri
manusia. Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani
atas budaya minoritas (Said, 2006: 107).
Dari
hal itu, ide multikulturalisme sangatlah cocok dengan kondisi sosio-kultur
masyarakat Indonesia yang beragam. Konsep multikulturalisme dalam penerapannya
memang berkaitan dengan kebijakan negara terhadap realitas perbedaan. Konsep
ini dibangun sebagai sebuah upaya membangun kehidupan yang harmonis di tengah
perbedaan dan keberagaman.
Multikulturalisme
berusaha mengajak kita untuk menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian,
dan persatuan, meskipun berada dalam satu komunitas majemuk dan beragam. Di
dalam paradigma multikultural, tak ada fanatisme primordial. Masing-masing
individu atau kelompok saling menyadari bahwa perbedaan suku, bangsa, bahasa,
dan agama tidak bisa dijadikan legalitas bagi adanya konflik dan permusuhan,
namun harus menjadi modal utama membangun persatuan di tengah keberagaman. Karenanya,
konsep ini memiliki signifikansi yang cukup banyak dalam upaya merawat
nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat majemuk dan plural.
Sementara
itu, perpecahan yang terjadi karena adanya perbedaan merupakan ketidaksiapan
kita untuk menerima keberadaan kelompok yang di luar kita. Itulah sebabnya, Samuel Huntington (1996) menyebut identitas
sebagai kekuatan pemersatu sekaligus pemecah. Identitas komunal (budaya, agama
dan etnis) yang plural, jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi penyulut
api konflik dan permusuhan.
Konflik
Poso, terorisme, kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, dan yang terakhir tragedi
Sunni-Syiah di Sampang merupakan rentetan konflik sektarian berlatar etnis,
agama dan keyakinan. Masing-masing sekte yang berselisih tidak bisa memahami
dan menghargai perbedaan. Selain itu, dalam perspektif filosofis fenomena
disharmonisasi terjadi karena adanya identifikasi diri manusia ke dalam: “aku
dan kamu”, dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Disharmonisasi
terjadi ketika masing-masing individu atau kelompok saling menonjolkan
identitas personal atau komunalnya, dan tidak mau menerima keberadaan yang
lainnya. Dalam fenomena ini, berarti keangkuhan primordialisme telah merasuk ke
dalam jantung kehidupan manusia.
Pesantren
dan Multikulturalisme
Pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan keislaman tertua di Nusantara, ternyata
memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang patut diapresiasi. Salah satu dari
keunikan-keunikan tersebut adalah adanya kesadaran multikultural di pesantren
jauh sebelum wacana multikulturalisme berkembang. Oleh karena itu, pesantren memiliki
kontribusi yang cukup besar dalam membangun kesadaran multikultural, walau saat
ini kita melihat pesantren-pesantren tertentu yang sudah mulai terjebak pada
perbedaan, utamanya perbedaan agama dan keyakinan.
Namun,
secara mendasar multikulturalisme di pesantren dapat kita lihat dalam tiga hal.
Pertama, secara genealogis. Pesantren yang berkembang di Indonesia,
sejak kelahirannya di Tanah Jawa telah memberikan contoh bagaimana berdialog
secara sehat dengan kelompok yang memiliki bahasa, suku, keyakinan dan agama
yang berbeda. Walisongo yang disebut-sebut sebagai founding fathers pesantren
di Indonesia, ketika melakukan dakwah Islam di tanah Jawa yang pada saat itu
didominasi oleh agama Hindu dan Budha, tidak dengan serta merta menghapus dan
memarginalkan kebudayaan dua agama tersebut. Namun, mereka berusaha menemukan
titik persamaan budaya Hindu-Budha dengan ajaran agama Islam.
Mereka
juga seringkali mengakulturasikan kebudayaan-kebudayaan Islam dengan Hindu
sehingga menjadi sebuah tradisi yang dipraktikkan oleh umat Islam sampai
sekarang. Semisal, acara selamatan bagi orang meninggal di hari ke-3, 7, 40,
100, dan 1000 hari pasca kematiannya. Jika kita teliti, tradisi semacam itu
tidak akan pernah kita temukan di dalam al-Qur’an maupun Hadits, tetapi malah bisa kita temukan
dalam kitab-kitab agama Hindu. Namun, oleh Walisongo ritual tersebut bukan langsung
ditentang, tetapi tetap dibiarkan berkembang dengan diisi ajaran-ajaran Islam. Maka,
jadilah ritual selamatan yang kita kenal dengan Tahlilan—yang sampai saat ini oleh
orang-orang pesantren masih dipraktikkan. Oleh karena itu, tradisi yang lahir
dan berkembang di pesantren merupakan percik dari kesadaran multikultural.
Kedua,
secara paradigmatis. Di dalam kerangka berpikir, pesantren telah menjunjung
tinggi prinsip toleransi dan keterbukaan. Pesantren mengajarkan kepada anak
didiknya untuk lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Di dalam pengajaran
disiplin ilmu fiqih atau yurisprudensi Islam, misalnya, pesantren memberikan
pemahaman yang multi-madzhab terhadap para santri. Ada Madzhab Syafi’iyah,
Hanafiyah, Hanbaliyah, dan Malikiyah, yang masing-masing didirikan oleh Imam
Syafi’ie (767-820 M), Imam Abu Hanifah (699-767 M), Imam Ibn Hanbal (781 - 855
M), dan Imam Malik (714-800 M). Bahkan, dalam satu payung madzhab pun masih banyak
perbedaan-perbedaan pendapat, yang dalam tradisi intelektual pesantren tak
pernah memicu konflik dan permusuhan. Hal tersebut juga senada dengan apa yang
dikatakan oleh Imam Abu Hanifah: “Inilah pendapatku. Jika ada yang datang
kepadaku untuk menyampaikan pendapat yang lebih baik, maka aku akan menerimanya”
(Al-Fahdawi, 2008: 303).
Di
dalam interpretasi teks-teks keagamaan, pesantren juga lebih terbuka terhadap
perbedaan. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan satu pesantren dengan
pesantren yang lain dalam memahami teks hadits maupun al-Qur’an, yang
disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Di sini, pesantren mampu menampakkan
wajah universalitas ajaran Islam, yang kemudian ditransformasikan ke dalam
nilai-nilai lokal yang plural. Pesantren
yang tumbuh dan berkembang di tengah kebudayaan Jawa, misalnya, akan menampakkan
wajah keislaman dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Begitu juga dengan
pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah kebudayaan Madura, Sunda,
Kalimantan, Sumatera, dan lain sebaginya. Namun, walau demikian tak pernah
terlihat adanya gejolak konflik dan permusuhan antar-pesantren.
Hal
tersebut berarti, bahwa pesantren menyadari akan keberagaman budaya Indonesia,
sehingga penafsiran atas teks-teks keagamaan juga harus mempertimbangkan konteks
sosio-kultur di mana pesantren itu berada. Karenanya, pesantren juga tak pernah
memutlakkan satu pandangan, tetapi membiarkan berbagai macam pandangan
keagamaan itu berkembang sesuai dengan kebutuhan. Inilah wajah multikulturalisme
pesantren secara paradigmatis.
Ketiga, secara sosiologis. Pesantren sebagai sebuah komunitas sosial terdiri
dari para santri dengan latar belakang suku, etnik, bahasa, dan dialek yang
beragam. Hal ini menunjukkan bahwa realitas sosial di pesantren juga sangat plural.
Namun, dengan perbedaan dan keberagaman tersebut tak pernah terlihat adanya
perpecahan, tetapi justru yang nampak adalah keharmonisan.
Pondok
Pesantren Annuqayah yang ada di Sumenep Madura, misalnya, menampung sebanyak 6000
santri dari berbagai daerah. Ada yang dari Jawa, Kalimantan, Papua, Nusa
Tenggara, dan juga ada yang asli orang Madura. Namun, walaupun mereka berasal
dari daerah yang berbeda, tak pernah terlihat gejolak untuk berpecah-belah. Semuanya
hidup rukun bagaikan saudara.
Dengan
sistem asrama, PP. Annuqayah mampu membangun kesadaran multikultural kepada
para santrinya tidak hanya dalam kerangka teoritis, tetapi langsung ditransformasikan
ke dalam wilayah praksis. Kamar yang hanya berukuran 4 meter persegi, terkadang
menampung sebanyak 15 santri. Itupun tidak dari satu daerah. Bisa saja dalam
satu kamar terdiri dari beberapa santri yang berasal dari tiga daerah. Namun,
dalam kesehariannya mereka selalu terlihat rukun, saling membantu dan saling
menghormati.
Di Pondok
Pesantren ini, setiap santri dianjurkan untuk memasak sendiri. Biasanya, para
santri memiliki kelompok memasak dengan anggota maksimal lima orang, yang
terkadang berasal dari daerah yang beragam. Walau berbeda daerah, dialek dan
bahasa, mereka tetap membangun kekompakan yang mengagumkan. Mulai dari proses
awal hingga matang, mereka jalani bersama dengan penuh kasih sayang. Ketika
sudah siap makan, mereka pun makan bersama dalam satu talam.
Ini
benar-benar sebuah keharmonisan yang didambakan. Sebuah potret harmoni yang menggugah
hati nurani. Di sini, primordialisme hancur digantikan oleh semangat
egalitarianisme. Multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana dan kata-kata,
tetapi bisa diejawantahkan dalam dunia nyata. Perbedaan tidak lagi menjadi
pemicu konflik tak berkesudahan, tetapi justru mampu melahirkan ikatan
persaudaraan yang lebih mapan.
Dari
Pesantren untuk Bangsa
Sampai di sini, mungkin bangsa ini masih bertanya-tanya: jika
di pesantren telah sukses membangun kehidupan harmonis di tengah perbedaan,
mengapa Indonesia yang banyak berdiri pesantren masih saja selalu ditimpa
musibah konflik dan permusuhan. Hal ini tentu
saja merupakan sebuah ironi yang membikin cemas nurani.
Namun,
di balik “kegagalan” bangsa ini dalam membangun keharmonisan di tengah keberagaman,
masih tersisa sebongkah harapan dari pesantren untuk Indonesia yang lebih bijak
menyikapi perbedaan. Pesantren, seperti disebutkan di atas, telah memberikan sedikit
gambaran bagaimana keharmonisan itu tetap terjaga, walau perbedaan senantiasa
ada. Dan apa yang telah diperoleh oleh pesantren itu juga dapat diwujudkan
dalam skala yang lebih besar: negara-bangsa.
Prinsip
yang dipegang teguh oleh pesantren adalah al-‘ilmu bila ‘amalin ka
as-syajari bila tsamarin: pengetahuan tanpa pengamalan bagaikan pohon tanpa
buah. Di sini, multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana mati, tetapi harus
dipraktikkan dalam bentuk nyata agar lebih berarti. Nilai-nilai
multikulturalisme benar-benar dibumikan
secara massif, sehingga menjadi sebuah prinsip hidup (way of life) dalam
dinamika kehidupan komunitas santri.
Dalam
skala negara-bangsa, pembumian nilai-nilai multikulturalisme bisa dilakukan,
(1) di lembaga-lembaga pendidikan atau komunitas sosial yang juga beragam. Di
sekolah, misalnya, siswa bisa diberi pembiasaan sebagaimana santri hidup rukun
dengan teman-temannya yang multi-etnik, suku, bangsa, dan bahasa. Atau kita
bisa membuat satu komunitas sosial dengan anggota yang beragam, lalu membangun
kesadaran kolektif akan nilai-nilai multikultural serta menerjemahkannya dalam
wilayah praksis yang lebih substansial.
Atau
(2) membiasakan diri untuk mengenali dan mempelajari sesuatu yang dimiliki oleh
orang atau kelompok lain yang di luar kita. Kalau di pesantren, misalnya, ada
pembelajaran literatur-literatur yang bersumber dari orang atau kelompok yang
berbeda agama dan keyakinan. Di pesantren-pesantren Sunni, misalnya, ada
pengajian kitab Subul as-Salam yang ditulis oleh Imam As-Shan’ani yang
merupakan tokoh pemuka aliran Syi’ah. Bahkan, kamus al-Munjid yang
disusun oleh Fr Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr Bernard Tottel al-Yassu’i yang
dua-duanya merupakan pendeta Katolik pun, di pesantren yang notabene berbasis
Islam masih tetap menjadi pegangan para santri.
Dalam
konteks negara-bangsa, masing-masing kelompok yang berbeda harus diberi
kesadaran untuk saling menggali dan mempelajari khazanah serta kekayaan yang
dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut. Sebab, dengan hal itu akan
tumbuh rasa empati dalam diri kita terhadap orang atau kelompok yang memiliki
latar belakang berbeda dengan kita. Dengan demikian juga akan tercipta suatu
pola kehidupan yang harmoni, karena satu sama lain akan saling menghormati dan
melengkapi.
Hal
itu semua akan membantu melatih jiwa dan pikiran kita untuk siap menerima
keberadaan orang atau kelompok lain di luar kita. Dengan cara pembiasaan
tersebut, hati kita akan menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Nafsu untuk
selalu berkuasa akan segera musnah oleh semangat untuk bersama. Tak akan ada
lagi ego untuk menonjolkan identitas kelompok atau diri sendiri, tetapi semuanya
akan saling menghargai dan menghormati.
Bangsa
ini masih belum terlambat untuk melakukan semua itu. Jika pembumian nilai-nilai
multikultualisme di pesantren tampak sukses, maka dalam skala negara-bangsa pun
hal itu harus segera diproses. Sebab, sudah begitu lama bangsa yang larut dalam
perpecahan ini merindukan sebuah pola kehidupan yang damai dan penuh harmoni.
Al-Fahdawi,
Khalid. 2008. Al-Fiqh al-Siyasi al-Islamy. Damaskus: Dar al-Awail.
Aziz, Asman. 2009. “Multikulturalisme: Wawasan Alternatif
Mengelola Kemajemukan Bangsa” dalam Jurnal Titik-Temu, Volume 2, Nomor 1
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Said Abdullah, MH. 2006. Membangun Masyarakat
Multikultural. Jakarta: Taman Pustaka
Taufiqurrahman, siswa MA
Tahfidh Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur. Esai ini menang sebagai juara I Lomba Esai Sosial Budaya 2013 yang diadakan oleh Puslitbang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar