Kamis, November 28, 2013

Dari Pesantren untuk Indonesia


Pengalaman Pesantren dalam Pribumisasi Nilai-Nilai Multikultural untuk Membangun Keharmonisan di Tengah Perbedaan


Taufiqurrahman


Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13.000 pulau lebih yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari masalah budaya, bahasa, suku, bangsa, dan agama. Bahkan, Clifford Geertz menyebut Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis.

Keragaman suku bangsa, seni, budaya, agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur sosial yang multikultural. Hal ini telah disadari oleh para pendiri bangsa ini, bahwa keragaman bagi bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, untuk tetap menjaga kerukunan nasional, mereka menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah semboyan persatuan. Perbedaan tidak lagi dipahami sebagai alasan bagi adanya permusuhan, namun dijadikan modal untuk membangun bangsa dengan spirit persatuan.

Menurut Koentjaraningrat (1985), kebanggaan bangsa Indonesia pada masa lalu adalah bahwa rakyat Indonesia yang meduduki kepulauan Nusantara ini memiliki sifat plural dengan beraneka warna bahasa dan kebudayaan. Namun pada saat ini, keanekaragaman itu tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan, tetapi justru menjadi pemicu konflik dan permusuhan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi bahan ajaran bagi anak sekolah, tak pernah dipraktikkan dalam dunia nyata. Media massa tak henti-hentinya memberitakan konflik dan perselisihan, yang ujung-ujungnya akan tetap sama, karena ada motif perbedaan. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah konflik sosial pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus, namun data sampai pertengahan Agustus tahun 2012 meningkat lagi menjadi 89 kasus.

Hal tersebut sudah menjadi bukti, bahwa semboyan persatuan Bhinneka Tunggal Ika masih belum bisa kita wujudkan secara nyata. Inilah tantangan besar masa depan bangsa. Bagaimana caranya bangsa Indonesia yang plural bisa menjaga persatuan dan kerukanan nasional. Untuk menjawab persoalan tersebut, konsep multikulturalisme bisa kita jadikan pijakan awal.

Memahami Multikulturalisme

Sebagai sebuah terminologi baru, multikulturalisme masih belum dipahami banyak orang. Padahal, multikulturalisme saat ini menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan masa depan, mengingat realitas bangsa yang heterogen dan multikultural. Karenanya, saat ini kita harus paham betul apa dan bagaimana itu multikulturalisme.

Multikulturalisme dapat kita pahami sebagai sebuah perspektif atau cara pandang yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dan fenomena kemajemukan budaya, bangsa, etnis, suku, ras, golongan, dan agama untuk berinteraksi atau bahkan berkontestasi di dalam batas-batas wilayah sebuah negara (Asman Aziz, 2009 : 105). Idealisme yang ingin dicapai dengan multikulturalisme adalah kerekatan sosial melalui pemahaman, penghargaan, dan pengakuan atas dasar keadilan sosial dan harga diri manusia. Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani atas budaya minoritas (Said, 2006: 107).

Dari hal itu, ide multikulturalisme sangatlah cocok dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia yang beragam. Konsep multikulturalisme dalam penerapannya memang berkaitan dengan kebijakan negara terhadap realitas perbedaan. Konsep ini dibangun sebagai sebuah upaya membangun kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan dan keberagaman.

Multikulturalisme berusaha mengajak kita untuk menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian, dan persatuan, meskipun berada dalam satu komunitas majemuk dan beragam. Di dalam paradigma multikultural, tak ada fanatisme primordial. Masing-masing individu atau kelompok saling menyadari bahwa perbedaan suku, bangsa, bahasa, dan agama tidak bisa dijadikan legalitas bagi adanya konflik dan permusuhan, namun harus menjadi modal utama membangun persatuan di tengah keberagaman. Karenanya, konsep ini memiliki signifikansi yang cukup banyak dalam upaya merawat nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat majemuk dan plural.

Sementara itu, perpecahan yang terjadi karena adanya perbedaan merupakan ketidaksiapan kita untuk menerima keberadaan kelompok yang di luar kita. Itulah sebabnya, Samuel Huntington (1996) menyebut identitas sebagai kekuatan pemersatu sekaligus pemecah. Identitas komunal (budaya, agama dan etnis) yang plural, jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi penyulut api konflik dan permusuhan. 

Konflik Poso, terorisme, kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, dan yang terakhir tragedi Sunni-Syiah di Sampang merupakan rentetan konflik sektarian berlatar etnis, agama dan keyakinan. Masing-masing sekte yang berselisih tidak bisa memahami dan menghargai perbedaan. Selain itu, dalam perspektif filosofis fenomena disharmonisasi terjadi karena adanya identifikasi diri manusia ke dalam: “aku dan kamu”, dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Disharmonisasi terjadi ketika masing-masing individu atau kelompok saling menonjolkan identitas personal atau komunalnya, dan tidak mau menerima keberadaan yang lainnya. Dalam fenomena ini, berarti keangkuhan primordialisme telah merasuk ke dalam jantung kehidupan manusia.

Pesantren dan Multikulturalisme

Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan keislaman tertua di Nusantara, ternyata memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang patut diapresiasi. Salah satu dari keunikan-keunikan tersebut adalah adanya kesadaran multikultural di pesantren jauh sebelum wacana multikulturalisme berkembang. Oleh karena itu, pesantren memiliki kontribusi yang cukup besar dalam membangun kesadaran multikultural, walau saat ini kita melihat pesantren-pesantren tertentu yang sudah mulai terjebak pada perbedaan, utamanya perbedaan agama dan keyakinan.

Namun, secara mendasar multikulturalisme di pesantren dapat kita lihat dalam tiga hal. Pertama, secara genealogis. Pesantren yang berkembang di Indonesia, sejak kelahirannya di Tanah Jawa telah memberikan contoh bagaimana berdialog secara sehat dengan kelompok yang memiliki bahasa, suku, keyakinan dan agama yang berbeda. Walisongo yang disebut-sebut sebagai founding fathers pesantren di Indonesia, ketika melakukan dakwah Islam di tanah Jawa yang pada saat itu didominasi oleh agama Hindu dan Budha, tidak dengan serta merta menghapus dan memarginalkan kebudayaan dua agama tersebut. Namun, mereka berusaha menemukan titik persamaan budaya Hindu-Budha dengan ajaran agama Islam.

Mereka juga seringkali mengakulturasikan kebudayaan-kebudayaan Islam dengan Hindu sehingga menjadi sebuah tradisi yang dipraktikkan oleh umat Islam sampai sekarang. Semisal, acara selamatan bagi orang meninggal di hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 hari pasca kematiannya. Jika kita teliti, tradisi semacam itu tidak akan pernah kita temukan di dalam al-Qur’an  maupun Hadits, tetapi malah bisa kita temukan dalam kitab-kitab agama Hindu. Namun, oleh Walisongo ritual tersebut bukan langsung ditentang, tetapi tetap dibiarkan berkembang dengan diisi ajaran-ajaran Islam. Maka, jadilah ritual selamatan yang kita kenal dengan Tahlilan—yang sampai saat ini oleh orang-orang pesantren masih dipraktikkan. Oleh karena itu, tradisi yang lahir dan berkembang di pesantren merupakan percik dari kesadaran multikultural.

Kedua, secara paradigmatis. Di dalam kerangka berpikir, pesantren telah menjunjung tinggi prinsip toleransi dan keterbukaan. Pesantren mengajarkan kepada anak didiknya untuk lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Di dalam pengajaran disiplin ilmu fiqih atau yurisprudensi Islam, misalnya, pesantren memberikan pemahaman yang multi-madzhab terhadap para santri. Ada Madzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan Malikiyah, yang masing-masing didirikan oleh Imam Syafi’ie (767-820 M), Imam Abu Hanifah (699-767 M), Imam Ibn Hanbal (781 - 855 M), dan Imam Malik (714-800 M). Bahkan, dalam satu payung madzhab pun masih banyak perbedaan-perbedaan pendapat, yang dalam tradisi intelektual pesantren tak pernah memicu konflik dan permusuhan. Hal tersebut juga senada dengan apa yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah: “Inilah pendapatku. Jika ada yang datang kepadaku untuk menyampaikan pendapat yang lebih baik, maka aku akan menerimanya” (Al-Fahdawi, 2008: 303).

Di dalam interpretasi teks-teks keagamaan, pesantren juga lebih terbuka terhadap perbedaan. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan satu pesantren dengan pesantren yang lain dalam memahami teks hadits maupun al-Qur’an, yang disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Di sini, pesantren mampu menampakkan wajah universalitas ajaran Islam, yang kemudian ditransformasikan ke dalam nilai-nilai lokal yang plural.  Pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah kebudayaan Jawa, misalnya, akan menampakkan wajah keislaman dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Begitu juga dengan pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah kebudayaan Madura, Sunda, Kalimantan, Sumatera, dan lain sebaginya. Namun, walau demikian tak pernah terlihat adanya gejolak konflik dan permusuhan antar-pesantren.

Hal tersebut berarti, bahwa pesantren menyadari akan keberagaman budaya Indonesia, sehingga penafsiran atas teks-teks keagamaan juga harus mempertimbangkan konteks sosio-kultur di mana pesantren itu berada. Karenanya, pesantren juga tak pernah memutlakkan satu pandangan, tetapi membiarkan berbagai macam pandangan keagamaan itu berkembang sesuai dengan kebutuhan. Inilah wajah multikulturalisme pesantren secara paradigmatis.

Ketiga, secara sosiologis. Pesantren sebagai sebuah komunitas sosial terdiri dari para santri dengan latar belakang suku, etnik, bahasa, dan dialek yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa realitas sosial di pesantren juga sangat plural. Namun, dengan perbedaan dan keberagaman tersebut tak pernah terlihat adanya perpecahan, tetapi justru yang nampak adalah keharmonisan.

Pondok Pesantren Annuqayah yang ada di Sumenep Madura, misalnya, menampung sebanyak 6000 santri dari berbagai daerah. Ada yang dari Jawa, Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara, dan juga ada yang asli orang Madura. Namun, walaupun mereka berasal dari daerah yang berbeda, tak pernah terlihat gejolak untuk berpecah-belah. Semuanya hidup rukun bagaikan saudara.

Dengan sistem asrama, PP. Annuqayah mampu membangun kesadaran multikultural kepada para santrinya tidak hanya dalam kerangka teoritis, tetapi langsung ditransformasikan ke dalam wilayah praksis. Kamar yang hanya berukuran 4 meter persegi, terkadang menampung sebanyak 15 santri. Itupun tidak dari satu daerah. Bisa saja dalam satu kamar terdiri dari beberapa santri yang berasal dari tiga daerah. Namun, dalam kesehariannya mereka selalu terlihat rukun, saling membantu dan saling menghormati.

Di Pondok Pesantren ini, setiap santri dianjurkan untuk memasak sendiri. Biasanya, para santri memiliki kelompok memasak dengan anggota maksimal lima orang, yang terkadang berasal dari daerah yang beragam. Walau berbeda daerah, dialek dan bahasa, mereka tetap membangun kekompakan yang mengagumkan. Mulai dari proses awal hingga matang, mereka jalani bersama dengan penuh kasih sayang. Ketika sudah siap makan, mereka pun makan bersama dalam satu talam.

Ini benar-benar sebuah keharmonisan yang didambakan. Sebuah potret harmoni yang menggugah hati nurani. Di sini, primordialisme hancur digantikan oleh semangat egalitarianisme. Multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana dan kata-kata, tetapi bisa diejawantahkan dalam dunia nyata. Perbedaan tidak lagi menjadi pemicu konflik tak berkesudahan, tetapi justru mampu melahirkan ikatan persaudaraan yang lebih mapan.

Dari Pesantren untuk Bangsa

Sampai di sini, mungkin bangsa ini masih bertanya-tanya: jika di pesantren telah sukses membangun kehidupan harmonis di tengah perbedaan, mengapa Indonesia yang banyak berdiri pesantren masih saja selalu ditimpa musibah konflik dan permusuhan. Hal ini tentu saja merupakan sebuah ironi yang membikin cemas nurani.

Namun, di balik “kegagalan” bangsa ini dalam membangun keharmonisan di tengah keberagaman, masih tersisa sebongkah harapan dari pesantren untuk Indonesia yang lebih bijak menyikapi perbedaan. Pesantren, seperti disebutkan di atas, telah memberikan sedikit gambaran bagaimana keharmonisan itu tetap terjaga, walau perbedaan senantiasa ada. Dan apa yang telah diperoleh oleh pesantren itu juga dapat diwujudkan dalam skala yang lebih besar: negara-bangsa.

Prinsip yang dipegang teguh oleh pesantren adalah al-‘ilmu bila ‘amalin ka as-syajari bila tsamarin: pengetahuan tanpa pengamalan bagaikan pohon tanpa buah. Di sini, multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana mati, tetapi harus dipraktikkan dalam bentuk nyata agar lebih berarti. Nilai-nilai multikulturalisme  benar-benar dibumikan secara massif, sehingga menjadi sebuah prinsip hidup (way of life) dalam dinamika kehidupan komunitas santri.

Dalam skala negara-bangsa, pembumian nilai-nilai multikulturalisme bisa dilakukan, (1) di lembaga-lembaga pendidikan atau komunitas sosial yang juga beragam. Di sekolah, misalnya, siswa bisa diberi pembiasaan sebagaimana santri hidup rukun dengan teman-temannya yang multi-etnik, suku, bangsa, dan bahasa. Atau kita bisa membuat satu komunitas sosial dengan anggota yang beragam, lalu membangun kesadaran kolektif akan nilai-nilai multikultural serta menerjemahkannya dalam wilayah praksis yang lebih substansial.

Atau (2) membiasakan diri untuk mengenali dan mempelajari sesuatu yang dimiliki oleh orang atau kelompok lain yang di luar kita. Kalau di pesantren, misalnya, ada pembelajaran literatur-literatur yang bersumber dari orang atau kelompok yang berbeda agama dan keyakinan. Di pesantren-pesantren Sunni, misalnya, ada pengajian kitab Subul as-Salam yang ditulis oleh Imam As-Shan’ani yang merupakan tokoh pemuka aliran Syi’ah. Bahkan, kamus al-Munjid yang disusun oleh Fr Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr Bernard Tottel al-Yassu’i yang dua-duanya merupakan pendeta Katolik pun, di pesantren yang notabene berbasis Islam masih tetap menjadi pegangan para santri.

Dalam konteks negara-bangsa, masing-masing kelompok yang berbeda harus diberi kesadaran untuk saling menggali dan mempelajari khazanah serta kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut. Sebab, dengan hal itu akan tumbuh rasa empati dalam diri kita terhadap orang atau kelompok yang memiliki latar belakang berbeda dengan kita. Dengan demikian juga akan tercipta suatu pola kehidupan yang harmoni, karena satu sama lain akan saling menghormati dan melengkapi.

Hal itu semua akan membantu melatih jiwa dan pikiran kita untuk siap menerima keberadaan orang atau kelompok lain di luar kita. Dengan cara pembiasaan tersebut, hati kita akan menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Nafsu untuk selalu berkuasa akan segera musnah oleh semangat untuk bersama. Tak akan ada lagi ego untuk menonjolkan identitas kelompok atau diri sendiri, tetapi semuanya akan saling menghargai dan menghormati.

Bangsa ini masih belum terlambat untuk melakukan semua itu. Jika pembumian nilai-nilai multikultualisme di pesantren tampak sukses, maka dalam skala negara-bangsa pun hal itu harus segera diproses. Sebab, sudah begitu lama bangsa yang larut dalam perpecahan ini merindukan sebuah pola kehidupan yang damai dan penuh harmoni.

Daftar Pustaka


Al-Fahdawi, Khalid. 2008. Al-Fiqh al-Siyasi al-Islamy. Damaskus: Dar al-Awail.
Aziz, Asman. 2009. “Multikulturalisme: Wawasan Alternatif Mengelola Kemajemukan Bangsa” dalam Jurnal Titik-Temu, Volume 2, Nomor 1
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Said Abdullah, MH. 2006. Membangun Masyarakat Multikultural. Jakarta: Taman Pustaka
 

Taufiqurrahman, siswa MA Tahfidh Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur. Esai ini menang sebagai juara I Lomba Esai Sosial Budaya 2013 yang diadakan oleh Puslitbang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Tidak ada komentar: