Fandrik Hs Putra, PPA Lubangsa
Guluk-Guluk—Setelah selesai shalat Isya’ pada Rabu malam (27/01) kemarin, para pegiat sastra di berbagai komplek PP Annuqayah berbondong-bondong pergi ke PP Annuqayah daerah al-Furqaan, Sabajarin, untuk berdiskusi dengan penyair nasional, Afrizal Malna. Meski acara itu sedikit terganggu dengan padamnya lampu, namun itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertemu dengan penyair yang berkepala plontos itu.
Baru pada pukul 21.00 WIB, acara bincang santai yang ditempatkan di aula Madaris 3 Annuqayah itu dimulai. Acara dibuka oleh tuan rumah sekaligus teman sejawat Afrizal dalam dunia sastra, yaitu K.M. Faizi, M. Hum. Dalam pengantarnya, ia membacakan sebuah puisi Afrizal Malna yang berjudul Dalam Gereja Munster. Ia juga memaparkan beberapa karya Afrizal, di antaranya: Abad Yang Berlari, Kalung Dari Teman, dan lain sebagainya.
“Dia adalah salah satu ikon sastra di Indonesia. Dan pada malam ini kita bisa berbincang santai dengannya,” ungkap K.M. Faizi.
Setelah itu, Afrizal membagikan seabrek pengalamannya tentang dunia kepenyairan. Tentang bagaimana memilih diksi, metafora, intuisi dan masih banyak yang lainnya. Dalam menangkap sebuah bahasa, ia menggambarkan pada sebuah novel yang berkisah tentang gadis buta yang membaca alam dan menghapalkan bunyi-bunyian lalu di tuang dalam bentuk bahasa.
“Kita tidak punya persoalan tentang itu (membaca alam) karena kita bisa melihat. Si gadis itu mengenal bahasa dengan telinganya. Sedangkan kita mengenal bahasa dengan mata, dengan apa yang kita lihat. Jadi, kita menangkap bahasa bukan hanya dengan mata kita, tapi bagaimana seluruh indera kita difungsikan dalam mengangkap dan mengenal bahasa,” ungkap penyair yang lahir di Jakarta itu.
Ia juga memaparkan tentang bagaimana cara membuat puisi supaya penulis bisa produktif. Menurutnya, segala benda bisa dipuisikan, tergantung bagaimana cara kita memandang benda itu dari sisi lain yang orang tidak pernah atau jarang memandangnya.
“Dalam menciptakan puisi, kita butuh keheranan. Apa pentingnya keheranan? Keheranan perlu untuk membuat puisi dengan meninggalkan fungsinya. Contohnya, ini adalah asbak, siapa yang tidak tahu kalau fungsinya sebagai tempat puntung rokok. Tapi, kalau saya taruh di kepala saya, pasti ada kesan beda kan,” ucapnya. Lalu ia menaruh asbak itu di atas kepala plontosnya.
Acara usai pada sekitar pukul 23.30 WIB. Beberapa santri yang hadir masih sempat foto bareng dengannya. Dengan senang hati Afrizal Malna melayani mereka meski hari sudah larut malam. Sebelum datang ke Annuqayah, siang harinya Afrizal Malna mengisi acara di Sanggar Lentera STKIP Sumenep. Beberapa seniman dari Sumenep juga turut hadir di malam itu.
Selesai acara, Afrizal Malna bermalam di Annuqayah dan esok harinya langsung kembali ke Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar