Umarul Faruq, PPA Latee
Sudah sejak pagi tadi, sekitar pukul 08.00 WIB, santri putri
Annuqayah berduyun-duyun ke Aula Asy-Syarqawi. Mereka berkumpul jauh lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Padahal Taufiq
Ismail dijadwalkan masih akan tiba pukul 09.00 WIB. Mereka tampak bersemangat sekali untuk mengikuti acara peluncuran buku Taufiq Ismail yang berjudul Debu
di Atas Debu itu. Sedangkan santri putra pukul 08.00 WIB memang sudah banyak yang tiba di kampus Instika, tapi yang masuk ke
ruangan aula hanya dua orang.
Hari itu,
Ahad 8 September, Taufiq Ismail, penyair besar tanah
air yang paling sepuh saat ini, berkunjung ke Annuqayah dalam rangka peluncuran
buku terbarunya. Buku berjudul Turâb Fawq al-Turâb atau Debu di Atas
Debu merupakan buku kumpulan puisi dwi-bahasa Indonesia Arab yang berisi
karya-karya Taufiq Ismail yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Prof.
Dr. Nabilah Lubis, pimpinan umum majalah Alo Indonesia yang berdarah
asli Mesir.
Acara ini diadakan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Instika bekerja sama dengan majalah sastra Horison dan Rumah Puisi-nya Taufiq
Ismail. Acara ini juga dimaksudkan sebagai kuliah umum untuk seluruh mahasiswa
baru Instika tahun 2013. Tapi walaupun begitu, acara ini bersifat terbuka. Jadi siapapun boleh
mengikutinya.
Pukul 09.00 WIB rombongan Taufiq
Ismail tiba di kampus Instika setelah menempuh perjalanan dari kota Sumenep
tempat beliau menginap. Beliau dan rombongan langsung dipersilakan singgah
sejenak di ruang rektorat untuk istirahat. Di dalam rombongan itu, selain Taufiq
Ismail juga ada Bu Ati Ismail (istri Taufiq Ismail), Linda Djalil (penulis buku kumpulan puisi
jurnalistik Cintaku Lewat Kripik Balado), Sastri Sunarti Sweeney (ketua
redaksi majalah Horison), Jamal D Rahman (redaksi majalah Horison),
Prof. Dr. Sangidu, M.Hum. (guru besar sastra Arab UGM), dan M. Subarkah
(wartawan Republika).
Setelah istirahat sejenak, Taufiq Ismail dan rombongan pun
bergegas ke ruangan Aula asy-Syarqawi, karena sebentar lagi acara segera dimulai. Dengan diawali
pembukaan dan lantunan ayat-ayat suci al-Quran acara pun dimulai. Disusul
sambutan dari K.H. A. Hanif Hasan mewakili pengasuh PP Annuqayah dan diskusi buku Turâb
Fawq al-Turâb.
Dalam diskusi ini Jamal D Rahman bertindak sebagai
moderator. Sementara para pematerinya adalah Taufiq Ismail sendiri, Prof. Sangidu, Sastri
Sunarti Sweeney, dan K. Ubaidillah Tsabit. Diskusi berjalan lancar dan cukup
memakan waktu, hampir tiga jam. Dalam diskusi ini, Jamal D Rahman mempersilakan
beberapa peserta untuk bertanya terkait dengan proses kreatif Taufiq Ismail
menjadi penyair dan hal-hal lain terkait buku Turâb Fawq al-Turâb. Namun
sebelum Jamal D Rahman memberikan kesempatan kepada audiens secara umum,
terlebih dahulu dia mempersilakan K. Baihaqi dan K. A. Hanif Hasan untuk memberi tanggapan atas
buku tersebut.
Setelah diskusi, acara berikutnya adalah pembacaan
beberapa puisi Turâb Fawq al-Turâb dalam dua bahasa. Untuk versi bahasa
Arabnya, Instika sudah mempersiapkan empat orang mahasiswa untuk membacakannya.
Mereka membacakan puisi-puisi terpilih secara berkolaborasi. Ada enam puisi
yang dibacakan pada waktu itu, yaitu: Anakku Bertanya Tentang Rasul (Ibnî
Yas’alu `an al-Rasûl) oleh Linda Djalil, Sajadah Panjang (Sajjâdah
Mumtaddah) oleh Jamal D Rahman, Sembilan Pertanyaan Cucuk Kiyai untuk
Kakeknya (Tis`ah As’ilah min Hafîd al-Syaikh) oleh Jamal D Rahman,
Yerussalem (Al-Quds) oleh Linda Djalil, Di Depan Multazam (Amâma
al-Multazam) dan Celupkan Jarimu ke Air Lautan (Ighmis Ushbu`ak fî Miyâh
al-Bahr) oleh Pak Taufiq Ismail.
Puisi-puisi ini dibaca dalam dua bahasa. Mereka membaca dalam
bahasa Indonesianya, sementara versi bahasa Arabnya dibacakan oleh beberapa
mahasiswa Instika yang bertugas. Puisi-puisi ini dibaca secara bergantian bait
per bait.
Pada puncak acara, ada sesi pemberian cinderamata dari
PP Annuqayah untuk Taufiq Ismail dan Bu Ati. Cinderamata itu berupa kain batik
yang merupakan hasil interpretasi dari puisi Taufiq Ismail untuk Bu Ati. Puisi
itu berjudul berjudul “Adakah Suara Cemara”. Taufiq dan Bu Ati disilakan membentangkan kain tersebut sambil
diiringi pembacaan puisi “Adakah Suara Cemara” oleh K. M. Zamiel El-Muttaqien. Setelah itu, K. Ubaidillah Tsabit membacakan puisi
tersebut dalam versi bahasa Arabnya.
Ternyata momen itu berhasil membuat haru seluruh isi
aula. Romantisme cinta mereka berdua sangat terasa. Bahkan Bu Ati sempat
menitikkan air mata saat K. Ubaidillah Tsabit membawakan puisi cinta itu dengan
lagu nahawand,
lagu yang biasa digunakan dalam tilawatil Quran.
Suasana ini berlangsung cukup lama dan khidmat. Semua
peserta diam memperhatikan hingga selesai. Bahkan ada beberapa peserta wanita
yang ikut menitikkan air mata karena terbawa suasana. Taufiq Ismail, Bu Ati, dan para hadirin betul-betul
terharu oleh suguhan itu.
Setelah pemberian cinderamata selesai, acara pun
berakhir. Para peserta, baik putra maupun putri, berhamburan ke depan untuk
foto bersama. Taufiq Ismail melayani mereka dengan sabar. Baru sekitar
seperempat jam kemudian, beliau sudah bisa keluar untuk istirahat dan makan
siang. Selagi waktu makan siang ini, Pak Taufiq Ismail juga menyempatkan diri
membubuhkan tanda tangannya di beberapa buku Turâb Fawq al-Turâb yang
baru saja dipesan oleh beberapa orang.
Sebelum rombongan Taufiq Ismail bertolak dari kampus
sehabis makan siang, Bu Ati sempat memperhatikan papan nama “INSTIKA” di depan
gedung rektorat Instika.
“Ini kok tidak ada nama tempatnya?” tanyanya.
“Seharusnya di sini juga dituliskan nama tempat, biar ketika nanti saya melihat
foto saya di depan bangunan ini, saya bisa ingat, ini saya waktu di Madura.
Kalau tidak ada nama tempatnya, mungkin saya akan lupa dan bertanya-tanya, ini
di mana ya?” katanya.
“Betul,” tambah Linda Djalil. “Nama tempat itu penting, agar jika ada orang
lihat foto saya nanti mereka bisa tahu kalau Instika yang pernah saya kunjungi
itu ada di Madura atau di Sumenep. Tapi kalau tidak ada, orang tidak akan tahu
kan?”
Aha, ternyata mereka sempat juga memperhatikan hal
seremeh itu.
Habis berkata demikian, mereka pun masuk ke mobil dan
pergi dari kampus menuju kediaman K. Ubaidillah Tsabit sebelum akhirnya bubar
dari PP Annuqayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar