Fandrik
Hs Putra, PPA Lubangsa
Guluk-Guluk—Institut Ilmu Keislaman Annuqayah
(Instika) Guluk-Guluk Sumenep bukanlah perguruan tinggi favorit
sekaliber UGM atau UI. Namun, komitmen untuk meningkatkan Pendidikan Tinggi (PT)
berkualitas patut diacungi jempol.
Komitmen
tersebut bisa dilihat pada seminar internasional dalam rangka kerja sama dengan Universiti Utara Malaysia
(UUM). Bentuk kerja sama yang akan dilakukan
berupa pertukaran mahasiswa dan dosen serta publikasi penelitian dalam bentuk karya
tulis ilmiah.
Seminar
Internasional bertajuk The Effective Learning for Obtaining Master and Ph.D
in College or Universities: An Experience of Two Neighbour Countries
mendiskusikan perbandingan PT di negara serumpun, khususnya
di jenjang S-2 dan S-3. Sebagai pembicara adalah Dr. H. M.
Afif Hasan, M.Pd, dosen Instika serta dosen pasca-sarjana di beberapa perguruan
tinggi Indonesia,
dan Ahmad Sahidah, Ph.D, dosen senior UUM.
Problem Akademik
Setidaknya
ada tiga pilar utama fokus PT di Indonesia, yaitu berbasis mahasiswa, berbasis
riset, dan berbasis filosofi. Akan tetapi, tiga pilar tersebut, menurut Dr. H.
M. Afif Hasan, M.Pd, hanya sebatas diskursus di level pemegang otoritas PT karena
komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi dosen sangat rendah.
Rendahnya komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi
dosen, lanjutnya, dikarenakan beberapa faktor di antaranya karena pemerintah
belum memberikan pengawalan, pengawasan, dan perhatian yang baik terhadap
jalannya proses pendidikan.
Sementara
Ahmad Sahidah, Ph.D menilai bahwa kualitas PT di Indonesia tidak jauh berbeda
dengan Malaysia. Hanya saja, perhatian pemerintah terhadap PT lebih baik, baik di bidang infrastruktur, layanan pendidikan,
perpustakaan, dan sarana teknologi.
“Malaysia
akan gagal menjadi negara maju kalau hanya mengandalkan fasilitas. Saya katakan
kepada mahasiswa saya bahwa maju itu ada dalam pikiran bukan dalam bentuk
fisik,” ujarnya.
Ketua Ikatan Sarjana NU (ISNU) cabang Malaysia tersebut
mengakui bahwa kerangka berpikir mahasiswa Indonesia lebih diunggulkan, sebab di
Malaysia tidak ada jurusan filsafat. Namun, karena perhatian pemerintah
terhadap PT sangat besar, meskipun jurusan filsafat tidak ada, ketersediaan
buku-buku filsafat sangat lengkap. Selain itu, gaji guru dan dosen jauh lebih
tinggi dibandingkan di Indonesia.
“Gaji
dosen pangkat III-D di Indonesia hanya 5 juta rupiah sedangkan
di Malaysia mencapai 30 juta. Profesor gajinya 50 juta. Itulah sebabnya mengapa
saya lebih suka mengajar di Malaysia daripada di Indonesia,” tuturnya sambil tersenyum.
Jurnal Ilmiah
Fathorrahman
Utsman, M.Pd, salah seorang peserta seminar membenarkan bahwa kebijakan dan
perhatian pemerintah terhadap guru dan dosen masih kurang.
Ia juga menyatakan rasa sakit hatinya di depan forum,
yaitu ketika menerima surat edaran dari Ditjen Dikti tentang kewajiban menerbitkan
karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah bagi calon sarjana. Ia
mengkritik surat edaran Ditjen Dikti yang memberikan alasan bahwa Indonesia kalah
bersaing dengan Malaysia di bidang karya tulis ilmiah.
“Kenapa
harus Malaysia? Bukan Inggris, Jepang atau Amerika,” katanya.
Di
Malaysia, mahasiswa berkewajiban untuk membaca. Tanpa membaca, maka dianggap
mengkhianati tugas sebagai mahasiswa.
Sedangkan di Indonesia oleh Mendikbud ditambah dengan menulis. Tingkat
kemampuan menulis di Indonesia lebih tinggi. Mahasiswa di PT Malaysia
disibukkan dengan menghapal sehingga kreativitas
menulis sangat minim atau bahkan “kering”. Di sinilah
yang membuat Ahmad Sahidah, Ph.D bangga dengan pendidikan di Indonesia.
“Peluang
kerja sama ini sebenarnya ingin memberikan
kesempatan bagi para dosen untuk menulis di Malaysia baik menggunakan Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa Arab. Itu akan bernilai Internasional kalau
ukurannya ditulis di luar negara,” tuturnya.
Pendidikan yang Membebaskan
Indonesia
adalah negara demokrasi. Itu merupakan modal sangat besar untuk mencapai kemajuan
di bidang pendidikan. Kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat merupakan
kemajuan pendidikan. Tetapi persoalannya, apakah kemajuan itu bermanfaat untuk
mengembangkan wacana? Apakah kemajuan itu membebaskan?
“Di
Indonesia tentu saja kearangka berpikir mahasiswa lebih hidup dan lebih
demokratis,” ujar Sahidah.
Di
Malaysia, mahasiswa berpikir dibayang-bayangi oleh ketakutan. Apabila salah
bertanya atau mengemukakan pendapat akan mendapatkan sanksi. Malaysia maju tetapi
menjadi semu karena masyarakatnya tidak bisa mengarahkan sendiri pokok pikirannya.
Namun, karena sudah ada perubahan politik, kemudian pikiran-pikiran baru
bermunculan, maka dunia kampus mulai dibebaskan dari panggung politik. Jika
tidak dibebaskan, pemerintah yang sekarang akan dianggap mengekang kebebasan berpendapat
dan itu tidak baik bagi negara demokrasi.
“Jadi
sekarang dinamika pemikiran mahasiswa di Malaysia sudah bagus. Kehadiran para dosen
dari Indonesia diharapkan memperbagus pola pikir orang melayu,” pungkasnya.
Sebelum seminar berakhir, Ahmad Sahidah, Ph.D kembali menekankan
bahwa kemajuan bukan diukur dari segi fasilitas, tetapi dari segi pemikiran. Pendidikan
di Indonesia lebih unggul di bidang pemikiran. Oleh karena itu, tradisi menulis
tetap harus dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar