Ach. Khatib, alumnus PPA Lubangsa Selatan (2010), peserta Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Annuqayah, baik secara verbal maupun non verbal, telah menyatakan beraliran Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) syafi’iyah (Sitrul Arsy, dkk., Satu Abad Annuqayah, 2000: 23). Pilihan ini tentu tidak bisa diubah hanya dengan alasan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman atau apa pun. Sebab, pilihan ideologi bukan persoalan sederhana yang bisa berubah sesuai arah angin. Selain itu, bagi Annuqayah sendiri, beriideologi aswaja telah melalui proses yang panjang. Paling tidak, ini terlihat dari beberapa hal: kitab-kitab yang dikaji dan diajarkan kepada santri sejak pendiri pertama, koleksi kitab, dan cara beribadah masyayikh Annuqayah, hingga hari ini.
Kitab-kitab yang dikaji Kiai Syarqawi, misalnya dalam masalah Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf, termasuk juga dalam masalah faham keagamaan, semuanya beraliran aswaja. Demikian pula dengan generasi Kiai Ilyas dan Kiai Abdullah Sajjad. Kitab Mandzumatur Risalah tentang akidah, ditulis pada 1360 H., berisi 98 bait nadlam adalah karya Kiai Abdullah Sajjad. Kitab-kitab yang dikaji Kiai Amir Ilyas dan diajarkan kepada santri di masa kepengasuhan beliau juga dalam lingkar yang sama: aswaja; yaitu: Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Shohih Bukhori dan Muslim, Riyadus Sholihin, Fathul Wahab, Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar, Ibnu Aqil, al-Fiyah, ‘Imrithi, Kailani, Nadhamul Maqsud, Durratun Nashihin, Minhajul ‘Abidin, dan Jauharul Maknun (Tim, Direktori Pesantren, 1986: 231). Pada sumbu ini, terang kepada kita bahwa aswaja di Annuqayah memiliki akar historis yang sangat kuat; lebih dari 1 abad lamanya!
Wajar bila sekali tempo, almukarrom Kiai Warits men-dawuh-kan bahwa Aswaja tidak saja difahami sebagai Manhajul Qoul dan Manhajul Fikr, tapi juga Manhajul ‘Aqidah. Dengan kata lain, aswaja mesti menyeruak kedalam segala aspek kehidupan; dari pola pikir, cara hidup, hingga beribadah, dan pada perkembangannya akan menjadi tradisi juga tata nilai.
Atas dasar inilah, penulis menganggap aneh kalau sebagian kita galau oleh sinyalemen adanya “ideologi lain” yang telah masuk dan akan merusak ideologi aswaja sehingga kita menyalahkan sistem pendidikan di Annuqayah yang tidak memasukkan aswaja sebagai mata pelajaran; tapi di kesempatan yang sama, banyak dari kita yang kurang serius “membaca” aswaja yang telah berubah menjadi tradisi dan cara hidup, menyatu dengan budaya. Itulah Living Aswaja (aswaja yang hidup). Keseriusan “membaca” living aswaja akan menguatkan kita dari dalam.
Masyayikh Annuqayah merupakan uswah yang tepat, terutama bagi kita para santri, untuk mengetahui apa dan bagaimana implementasi aswaja dalam berbagai aspek dalam kehidupan. Dengan “melihat” masyayikh Annuqayah, kita tidak hanya akan mengetahui aswaja dari sisi sejarah kemunculannya, tokoh-tokohnya, karya, dan pemikirannya, tapi lebih dari itu: implementasinya! Cara hidup dan beribadah masyayikh Annuqayah adalah aswaja itu sendiri, aswaja yang hidup dan nyata (the living aswaja). Aswaja yang termanifestasi dalam kehidupan riil dan melebur dalam tata nilai kehidupan.
Sebab, paling tidak, ada dua faktor sebuah ideologi bisa bertahan: karena ideologi tersebut memang benar dan karena masifitas penyebarannya. Benar dilihat dari sudut agama, akal sehat, dan budaya. Masifitas penyebaran terpotret dari kecanggihan strateginya. Kalau dua faktor ini berkumpul, niscaya ideologi tersebut akan terus terjaga dan terwariskan dari generasi ke generasi.
Dari sisi ke-benar-an, aswaja tidak perlu lagi didebatkan. Namun dari sisi masifitas penyebaran inilah yang perlu terus ditingkatkan dengan mempertajam kecermatan para santri untuk selalu meniru cara hidup dan beribadah the living aswaja, yang tidak lain adalah masyayikh Annuqayah itu sendiri. Imam az-Zarnuji menyebut cara belajar jenis ini sebagai belajar tentang ‘ilmul haal (Ibrahim bin Ismail, Syarhu Ta’lim al-Muta’allim, 2007: 11). Inilah cara belajar yang paling baik dan utama.
Di samping itu, tujuan pendidikan di pesantren memang bukan semata-mata memperkaya pikiran santri dengan ilmu dan teori-teori, melainkan untuk meninggikan moral, mengajarkan tingkah laku, tata cara beribadah, bergaul, dan hidup mandiri (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1982: 21). Tata tindak dan moral santri menjadi perhatian utama para kiai pesantren, bukan hanya pengembangan keilmuan. Ini semua bisa dicapai tak lain dengan meniru setepat-tepatnya kepribadian, cara hidup, dan beribadah masyayikh Annuqayah.
Varian-Varian Living Aswaja
Untuk memudahkan “membaca” living aswaja, ada tiga varian yang perlu diperhatikan: pertama, tradisi tulis. Tulisan masyayikh Annuqayah berupa khutbah, selebaran, makalah, artikel, buku, kitab, dan seterusnya tentang aswaja atau tema lainnya merupakan penampakan dari hasil pergulatan cara berpikir aswaja dalam memandang realitas.
Kedua, tradisi lisan yang berbentuk dawuh, pernyataan, petunjuk-petunjuk, keputusan, atau kebijakan. Bedanya dengan varian pertama hanya pada cara penyampaiannya. Secara prinsip sama: cara pandang aswaja atas teks, pemikiran, dan realitas yang berkembang. Ketiga, tradisi praktik; mewujud dalam koleksi kitab, praktik ibadah, wirid dan doa-doa, serta akhlak.
Banyak sekali contoh dari cara hidup dan beribadah masyayikh Annuqayah sebagai manifestasi dari aswaja dalam ketiga varian di atas, di antaranya: (1) tidak mendikotomi ilmu; (2) berdakwah tidak destruktif (merusak); (3) memulai pengajian hari rabu atau ahad; (4) menjaga tradisi pembacaan dhiba’ dan barzanji, maulid Nabi, tawasshul, dan ziarah kubur; (5) berpolitik untuk dakwah; (6) istiqamah sholat jamaah, meski dalam suatu perjalanan atau libur pesantren; (7) sangat tawaddlu’; serta (8) hormat pada yang lebih tua, sayang kepada yang lebih muda.
Dalam misal yang lain, masyayikh Annuqayah terbuka terhadap perubahan tapi tetap mempertimbangkan mashlahah pada pesantren dan kepribadian santri. Ini terbukti dari akomodasi Annuqayah terhadap kesenian dan keterampilan, namun mengharamkan facebook. Pengharaman facebook khusus santri ini tidak masuk kategori mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, sebab ini dalam kerangka lit tarbiyah wat ta’lim dan hal ini dibolehkan (Muhammad Abdul Aziz, Al-Adabun Nawawi, Juz I: 60). Demikian pula dengan penyelenggaraan khatam-an kitab hadits saat bulan ramadlan. Tradisi ini dimaksudkan untuk mengisi ramadlan dengan kegiatan yang bermanfaat sekaligus menjaga salah satu warisan Rasulullah, Hadits. Kita bisa melihat juga living aswaja di kalangan kiai muda Annuqayah, di antaranya adalah tingginya rasa amanah dan tanggungjawab kiai muda Annuqayah dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Sejumlah misal di atas merupakan bentuk dari living aswaja di Annuqayah dengan masyayikh sebagai uswah-nya. Untuk itu, pada aspek inilah seharusnya kita (santri) memberikan perhatian yang besar dan menjadikannya sebagai “buku terbuka” yang bisa dibaca kapan saja; “buku” yang “menjelaskan” secara detail, verbal, terang. Jika suatu waktu kita ragu, apakah membaca Sholawat Nariyah itu benar menurut aswaja atau berapa jumlah rokaat Sholat Tarawih yang benar menurut aswaja? Cukuplah kita perhatikan praktik ibadah masyayikh Annuqayah. Demikian halnya dalam soal pendidikan, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain; berlaku “hukum” yang sama.
Pandangan penulis tidak bermakna bahwa kegiatan seminar, pemantapan, kajian ke-aswaja-an tidak penting, tetapi aspek living aswaja juga perlu diberi tempat tersendiri dalam perhatian kita. Dan, sekali lagi, mempelajari living aswaja merupakan hakikat dan prinsip dari penyelenggaraan pendidikan pesantren itu sendiri.
Memberi perhatian pada living aswaja di Annuqayah memiliki beberapa keuntungan, antara lain: memudahkan santri dalam memahami aswaja, terjaganya spiral transmisi pengetahuan dari masyayikh Annuqayah ke santri, dan dengan mudah mengetahui bentuk aplikasi aswaja dalam kehidupan riil. Sebab, sangat tidak gampang “mempertemukan” teks keagamaan dengan realitas sosial yang dinamis dan sangat kompleks. Melalui living aswaja (dengan masyayikh Annuqayah sebagai uswah), akan dengan mudah kita temukan bentuk idealnya.
Living aswaja adalah pandora pencerah asa dalam menjaga aswaja di Annuqayah. Karena dengan menyatukan aswaja dan budaya, akan membuatnya abadi, seperti abadinya Annuqayah.
Tulisan ini dikutip dari Website NU Sumenep.
1 komentar:
"Masyayikh Annuqayah merupakan uswah yang tepat, terutama bagi kita para santri, untuk mengetahui apa dan bagaimana implementasi aswaja dalam berbagai aspek dalam kehidupan."
Mohon dikoreksi kembali, bukankah Rasulullah saw adalah uswatun hasanah?
Posting Komentar