Hairul Anam Al-Yumna, PPA. Latee
Lumrahnya, kantin Kampus Putih Instika itu ramai dengan dentang adu-piring-sendok mahasiswa yang sarapan tiap pagi. Mereka makan lahap dengan santainya. Tapi, selama sepekan ini suasananya tampil beda. Ada banyak mahasiswa yang duduk membundar, melakukan kajian mendalam terkait dengan persoalan kebangsaan dan keagamaan. Ada belasan mahasiswa yang tergabung dalam pertemuan itu.
Suasana seperti itu, masih berlangsung hingga Kamis (7/4) pagi. Tak ada yang makan nasi, hanya beberapa gelas kopi panas yang diminum secara bergantian. Karena yang tampak di dekat para mahasiswa Instika itu kopi dan buku, mereka pun menamai perkumpulan tersebut dengan Diskopag, akronim dari diskusi kopi pagi.
Pesertanya terdiri dari ragam jurusan; PAI, Muamalat, dan Tafsir Hadis. Dalam mencermati persoalan kebangsaan dan keagamaan, mereka menggunakan perspektif berlandaskan wewenang ilmiah yang mereka tempuh. Tetapi, mereka tetap terbuka terhadap bedanya pemikiran. Mereka benar-benar mengedepankan rasionalitas daripada egoisme diri.
Pada pertemuan ke-9 itu, mereka melakukan analisis kebijakan anggaran publik di Sumenep. Dalam pandangan mereka, kendatipun Sumenep merupakan kabupaten terkaya di Madura, ia belum juga mengentaskan kemiskinan secara optimal. Usaha pemerintah dalam menyikapi persoalan masyarakat luas, masih terbilang setengah hati.
Pernyataan tersebut bukanlah kata yang hampa makna. Mereka mendapatkan data bahwa, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di dalam praktiknya ternyata lebih banyak menguntungkan penyelenggara kekuasaan daripada masyarakat. Setidaknya, hal itu sangat tampak sejak tahun 2005.
Pada tahun tersebut, APBD Sumenep Rp. 529 miliar 235 juta lebih, tepatnya 529.235.228.163. Untuk apa [siapa] uang sebesar itu? Mestinya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sebab, masyarakat-lah sumber uang tersebut. Lewat karcis di puskesmas, retribusi masuk pasar, nonton televisi, naik kendaraan bermotor, dan segala gerak-gerik mereka yang umumnya terkena pajak.
Namun, upaya masyarakat yang mengucurkan banyak keringat masih dibenturkan dengan ragam keganjilan tiap kali dihubungkan dengan kebijakan pemerintah. Untuk Gaji Aparatur (gaji pegawai) di Sumenep mencapai Rp 240.976.346.942,-. Anggaran gaji ini memang tidak bisa digugat. Ini adalah hak pegawai.
Tetapi keganjilannya bisa ditemukan pada anggaran untuk biaya rutin/operasional aparatur [anggaran yang digunakan pejabat untuk melaksanakan tugas rutinnya, dan ini di luar gaji] misalnya, perjalanan dinas, anggaran makan minum, belanja alat tulis kantor (ATK), beli kendaraan dinas, beli komputer, dll., dalan APBD 2005 dianggarkan Rp 102.333.697.814,-. Perinciannya: Belanja Barang Jasa (seperti makan minum, beli ATK, dll) Rp 67.436.703.324,-, Belanja Perjalanan Dinas Rp 9.419.504.062,-, Belanja Pemeliharaan (ngecat kantor, perbaiki pintu rusak, dll) Rp 12.730.998.661,-, dan Modal Aparatur (beli komputer, kendaraan dinas, dll) sebesar Rp 12.746.491.767,-.
Anggaran yang cukup melambung tersebut berbanding terbalik dengan anggaran belanja pembangunan yang hanya dianggarkan Rp 84.639.452.885,-. Ini pun patut diragukan akan sampai semua pada masyarakat. Karena semua mafhum, korupsi di birokrasi kita sudah demikian ganasnya. Besar kemungkinan, anggaran yang cukup ganjil di atas kini makin mencuat mengingat tak sedikit harga kebutuhan kian membubung tinggi.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Diskopag mampu melakukan analisis anggaran publik di atas karena memang tidak berangkat dengan pikiran kosong. Secara berkesinambungan, mereka melakukan pembacaan mendalam terkait dengan tema yang diangkat tiap pagi. Diskopag berlangsung tiap hari, kecuali hari Jumat karena tidak ada jadwal kuliah.
Selasa, April 12, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar