Hairul Anam Al-Yumna, PPA Latee
Guluk-Guluk—Keseriusan adalah modal hidup. Inilah kunci utama untuk menjadi seorang penyair. Melalui keseriusan, pintu kharisma dalam kepenyairan bakal terbuka lebar. Kita pun mudah memasukinya.
Pernyataan tersebut disampaikan dengan santai oleh penyair kenamaan Indonesia, Binhad Nurrohmat, Selasa malam (1/2) di Langgar PP Annuqayah Al-Furqaan. Usai mengisi bedah buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring di Aula Instika siang harinya, Binhad beristirahat di kediaman K M Faizi, pengasuh PP Annuqayah Al-Furqaan yang juga dikenal sebagai penyair Indonesia.
Tidak hanya istirahat, setelah shalat Isya’ Binhad juga berbagi ilmu dan pengalaman kepada para santri mulai sekitar pukul 20.00 WIB sampai 23.00 WIB. Pada awal pembicaraan, Binhad menceritakan bagaimana asyiknya berpetualang dalam dunia kepenyairan.
Dia pernah diundang menjadi penyair tamu selama sebulan oleh pemerintah Korea. Segala kebutuhannya ditanggung penuh oleh negara tersebut. Selain itu, banyak pengalaman berharga lainnya yang dijalaninya berkat kemampuannya merajut kata-kata bermakna, puisi. Keyakinannya pun kian mengental bahwa puisi adalah segala dalam hidupnya.
Bagi Binhad, puisi ibarat sekuntum bunga. Kelopaknya adalah bahasa, sedangkan puisi tardapat dalam aromanya. Antara kelopak dengan aroma dapat dibedakan tetapi tidak dapat dilepas-pisahkan. Artinya, tugas seorang penyair ialah menciptakan keindahan dan kedalaman makna.
Lebih jauh Binhad menjelaskan, puisi merupakan jalan hidup para sufi. Jalaluddin Rumi, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Thufail, dan lainnya merupakan para sufi yang menorehkan banyak puisi. Dan, karya-karya mereka menjadi pemantik peradaban dunia. Inilah yang menjadi salah satu alasan baginya untuk selalu mendengungkan “doa”: Puisi atau Mati!
Dia punya keyakinan, segala apa pun yang selama ini dipandang tidak berharga pasti mampu diangkat derajatnya melalui puisi. Dia mencontohkan salah satu puisinya yang telah lama diterjemahkan oleh orang Australia, Berak. Bahkan pernah diminta Kompas tapi tidak diberikan olehnya. Berikut petikannya:
Berak
anusmu yang bagus
saban pagi mengangkangi mulut kakus
yang tak bosan menunggu taimu
zakarmu sekuyu gelambir leher jompo
bungkuk dan malu-malu
mengintip puing tai
terjepit bongkah coklat bokongmu
Inti dari puisi di atas, menurut Binhad ialah kesetiaan. Tiap pagi manusia pergi ke kakus untuk memunuhi hajatnya. Tapi sayang, manusia cenderung mengacuhkan keberadaan kakus karena dianggap tempat barang najis. Begitu halnya dengan “tai”. Dia jadi perbincangan erotis hanya lantaran puisi.
Menurut penyair yang kini bermukim di Jakarta itu, kerja-kerja puitik bisa dari kebiasaan sehari-hari. Dia mengistilahkannya dengan “keintiman”. Semakin kita intim dengan apa yang dilakoni kita, “kharisma puitik” bakal muncul. Kemunculannya bersumber dari kejujuran. Oleh karena itu, menurutnya, berbahasa harus jujur, tidak memain-mainkan kata.
Penjelasan Binhad mendapat apresiasi yang sangat baik dari para peserta. Itu terlihat dari kesemangatan mereka bertanya sekaligus berbagi pengalaman dalam hal puisi. Dengan santai, sigab, dan sesekali diselingi humor, begitulah Binhad memperlakukan para peserta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Wah, Binhad sudah ke Annuqayah. Selamat, tentu teman2 santri akan sangat bersemangat dengan puisi...
Posting Komentar