Jumat, Juli 02, 2010

Annuqayah di Dadaku

Ahmad Al Matin, alumnus PPA Latee (2003-2009), kini belajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya

Jika boleh memplesetkan sebuah lagu, maka saya akan memplesetkan lagunya Netral yang berjudul ‘Garuda di Dadaku’ menjadi ‘Annuqayah di Dadaku’. Bagi saya, Annuqayah tidak hanya sebagai sebuah pesantren belaka. Annuqayah bagi saya adalah orang tua dan desa kedua saya. Ya, meskipun saat ini secara adiministratif saya bukan lagi santri Annuqayah, tapi bagi saya pribadi saya tetap dan akan selalu menjadi santri Annuqayah sampai kapan pun.

Banyak sekali yang saya alami dan saya dapatkan selama enam tahun tinggal di Annuqayah, baik berupa ilmu, pengalaman, guru, sahabat, dan banyak hal lainnya yang telah mewarnai hidup saya dan selalu menginspirasi saya untuk selalu menjadi lebih baik. Semua itu tidak akan pernah terlupakan.

Ada beberapa hal yang paling sering saya ingat dan saya rindukan saat ini dari Annuqayah. Yang pertama adalah sosok kiai yang paling bersahaja yang selalu sabar mengayomi santrinya meskipun santrinya sering berbuat tidak sesuai yang dinginkan beliau. Beliau adalah KH Ahmad Basyir AS. Sosok beliaulah yang paling saya rindukan dari Annuqayah.

Betapa tidak, dengan keadaan beliau yang saat ini sudah mencapai usia senja, beliau masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk memberikan ilmu dan pendidikan yang terbaik pada santrinya. Beliau selalu menjadi imam shalat jama’ah di Mushalla Latee atau pun mengajar Madrasah Diniyah meskipun pada saat itu kondisi beliau tidak cukup kuat untuk itu.

Mengingat beliau membuat mata saya seketika penuh air mata. Rasa kagum dan rasa haru bercampur dalam hati saya saat saya mengingat semua tentang beliau. Mulai dari semangatnya hingga perkataan-perkataan beliau tetap saya rasakan hingga saat ini, saat saya berada di kota Surabaya ini. Dan saya akan senantiasa selalu mendoakan beliau semoga beliau tetap kuat memberikan yang terbaik untuk santrinya dan semoga beliau diberikan pahala dan surga kelak di akhirat nanti.

Yang kedua, yang sangat saya rindukan dari Annuqayah adalah suasana religius yang tak pernah hilang. Memang, sudah sepatutnya semua pesantren identik dengan suasana religius. Tapi bagi saya suasana religius yang ada di Annuqayah sangat berbeda dengan suasana religius yang ada di pesantren-pesantren lain yang pernah saya kunjungi. Seperti Al-Amien Prenduan, Al-Is‘af Kalaba’an ataupun Pesantren Tebuireng Jombang yang baru-baru ini saya kunjungi. Perbedaan suasana religius ini juga diakui beberapa teman saya di Annuqayah yang juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren lain.

Saya tidak dapat menjelaskan secara detail letak perbedaan suasana religius tersebut. Namun saat saya berada di Annuqayah saya merasakan sebuah ketenangan, ketentaraman dan kesejukan yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Selain itu, secara tidak langsung orang-orang yang ada di sana menantang saya untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Yang ketiga adalah tradisi menulis yang menjadi salah satu ciri khas Annuqayah. Ya, Annuqayahlah yang mengantarkan saya pada dunia yang sangat menyenangkan ini, dunia menulis. Berawal dari ketidaksengajaan saya masuk dunia tulis-menulis. Namun ketidaksengajaan tersebut telah membawa saya ke beberapa tempat-tempat seperti Jakarta dan juga memperkenalkan saya kepada orang-orang penuh semangat dalam menulis seperti Gus Muhammad Mushthafa, Gus M. Zamiel El-Muttaqien dan Gus M. Faizi. Merekalah yang selalu saya jadikan contoh dan guru-guru saya dalam menulis, yang terkadang saat saya melihat karya mereka saya terpacu untuk terus menulis dan berkarya.

Di Annuqayah ada sebuah kompetisi untuk menulis yang akan selalu mendorong sesorang untuk menulis, meskipun hal itu tidak tampak secara kasat mata. Dan kompetisi itu tidak pernah saya rasakan di sini, sehingga sejak saya tinggal di Surabaya sampai saat ini tulisan saya masih bisa dihitung dengan jari. Berbeda saat saya masih di Annuqayah yang dalam setiap hari setidaknya saya menghasilkan sebuah tulisan dalam bentuk apa pun.

Yang keempat adalah suasana akrab dan rasa persaudaraan di antara para santri Annuqayah. Hal itulah yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Di sini, semua orang seakan hanya mementingkan diri sendiri saja. Semua bersifat individual. Bahkan meskipun Pesantren Mahasiswa IAIN yang saya tempati sekarang ini berbasis pesantren, tapi tidak sedikit pun saya merasakan adanya rasa persaudaraan mereka sama seperti rasa persaudaraan teman-teman di Annuqayah.

Semua orang yang tinggal di sini sulit untuk berkumpul dan bercerita-cerita seperti teman-teman di Annuqayah. Mereka hanya berkumpul dengan orang-orang yang menurut mereka satu derajat atau satu ideologi saja. Sungguh sangat tidak menyenangkannya kehidupan sosial di sini.

Hal-hal inilah yang selalu membuat saya merasa rindu pada Annuqayah. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan pada semua orang, pada semua teman-teman saya terutama teman-teman di Annuqayah. Saya akan mengatakan bahwa seberapa besar pun kita ingin keluar dari Annuqayah maka sebesar itu pula rasa rindu yang akan kita rasakan saat kita jauh dari Annuqayah.

Dan jika suatu saat nanti, saat saya telah menyelesaikan semua proses studi saya, ada yang meminta saya untuk kembali ataupun menjadi bagian dari Annuqayah, maka saya akan senantiasa siap untuk menerimanya. Karena Annuqayah di dadaku.

1 komentar:

Pangapora mengatakan...

Semacam surat dari alumni. Honest. Nice reading :-)