M. Faizi, PPA Al-Furqaan
“Gumpalan emosi
tersebut membuat saya tidak ada keinginan mengkritik annuqayah menurut
kebenaran subyektif saya, lebih-lebih menyerang dan menejelek-jelekkan program
dan individu pemangku-pemangku kewenangan di Annuqayah”. Demikianlah salah satu
kutipan dalam buku Oase Keteladanan K.H. A. Warits Ilyas yang ditulis oleh
Jufri Halim, salah seorang alumni Pondok Pesantren Annuqayah (daerah Lubangsa)
pada halaman 63. Buku yang diterbitkan secara kerjasama oleh Q-Media dan IAA
Press ini berjumlah 131 halaman, berisi 20 tulisan ditambah satu pengantar dan
satu bagian lagi perihal profil Kiai Warits.
Itulah salah satu petikan esai Jufri Halim, salah seorang alumni Annuqayah
yang kini menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Dalam kesempatan terpisah, Jufri mengakui bahwa alasan mengapa ia
juga memondokkan anaknya di Annuqayah adalah karena tabarrukan. Di samping itu,
alasan ketertarikan lainnya adalah karena ia juga tahu bahwa satu hal yang tatap
bertahan di pesantren yang berdiri sejak tahun 1887 ini adalah shalat berjamaah
5 waktu dengan imam langsung oleh pengasuh.
* * *
Artikel ini dibuat
sebagai ringkasan buku “Oase Keteladanan K.H. A. Warits Ilyas” yang diterbitkan
oleh IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) atas kerjasama dengan Q-Media. Gagasan
penerbitan buku ini muncul dari alumni dan atas restu dari keluarga besar
almaghfurlah. Karena bersifat ringkasan, maka tulisan ini pun dibuat seringkas
mungkin. Tujuannya adalah agar para santri yang belum sempat membaca dan
memiliki buku yang dicetak terbatas ini dapat menimba teladan-teladan dari KH.
A. Warits Ilyas agar juga dapat ditiru dan diterapkan dalam kehidupan. Artikel dibagi
menjadi beberapa paragraf dengan persesuaian atas tema keteladanan.
DISIPLIN: tentang kedisiplinan Kiai Warits, Busri Toha menyatakan bahwa ia
pernah mendapatkan testimoni dan pembenaran yang mengukuhkan bahwa nyaris tak
ada anggota dewan (beliau pernah duduk di kursi dewan kabupaten Sumenep)—yang dapat
meniru kedisiplinan ketua DPC PPP tersebut: datang dan pulang tepat waktu. Bukan hanya dalam hal itu saja, bahkan untuk menghadiri shalat
berjamaah pun juga demikian, seperti ‘hadiran’ yang selalu jatuh pada pukul
13.00. Pernyataan Busri ini juga didukung oleh Ali Wafa dalam tulisannya yang
berjudul ‘Tak Susah Dapat Barokah’.
LISANUL HAL:
Kiai Warits adalah teladan dan panutan umat. Ia merupakan contoh yang tidak
perlu diragukan lagi dalam banyak hal, namun langsung dapat disaksikan. Menurut
Kiai Wafi Nuh, beliau adalah teladan yang nyata. Sesuai nama, Kiai Warits
seolah-olah telah diproyeksikan sebagai pewaris ayahnya, yakni almaghfurlah
Kiai Muhammad Ilyas Syarqawi. Dalam istilah Drs. Thabrani Rasyidi, beliau senantiasa
mendidik santri dan umat dengan dengan ‘lisanul hal’, dengan praktik dan sikap.
PENDIDIK:
sebagai pendidik, Sirajuddin Syamsul Arifin menjelaskan kemampuan Kiai Warits melalui
frasa ‘tokoh yang inspiratif dan kreatif’. Pengalamannya yang sangat berkesan
adalah manakala, suatu waktu, dia mengaji Ihya Ulumiddin kepada almaghfurlah. Pada
saat itu, beliau menunjukkan sebuah kamus populer bernama Kamus Al-Munjid.
Tidak hanya itu, Kiai Warits juga menjelaskan cara menggunakan kamus tersebut,
padahal pelajaran yang sedang berlangsung ketika itu adalah tema tasawuf. Kiai
Warits mengajar dengan metode yang kreatif, melibatkan banyak disiplin ilmu
untuk satu contoh pembahasan.
Ahmad Sahidah, alumni yang notabene mahasiswa dan kini menjadi dosen
filasat, mengaku bahwa ia justru mengenal nama Plato dan Aristoteles pertama
kali dari Kiai Warits ini di saat beliau mengajar ilmu mantiq (logika) di tingkat
madrasah aliyah. Itulah sosok Kiai Warits yang menurut
Hasani Asro merupakan figur yang serbabisa; sebagai ulama, politisi, sekaligus
pendidik.
SEMPAT: jika semua
contoh di atas adalah bentuk keteladanan tersurat, maka di antara keteladanan
Kiai Warits yang tersirat adalah ‘sempat’. Menurut Syamsul Arifin, jika Kiai
Warits selalu ‘sempat’ itu disebabkan karena prinsip, bukan lantaran lowong dan
menganggur. ‘Sempat’ hanya akan dimiliki oleh orang yang memiliki dedikasi tinggi.
Kiai Warits yang terpandang sebagai tokoh dan berkedudukan tinggi sebagai
pemimpin dan panutan namun selalu sempat untuk menunaikan berbagai kegiatan, di
antara kesibukannya mengisi pengajian, tahlilan, mulang, ngantor
(sebagai anggota DPRD maupun MPR-RI). Persaksian ini juga diamini oleh Bakir
Ihsan (editor buku) yang juga menyatakan bahwa hampir setiap pagi, saat ia
mondok dulu, ia melihat Kiai Warits dibonceng ke Sumenep untuk ‘ngantor’ di
gedung dewan, namun tetap disiplin dan aktif mengimami masjid untuk shalat
berjamaah 5 waktu.
Meskipun begitu,
di antara kesibukan yang seabrek itu, Kiai Warits masih sempat ‘mulang’ Alquran
secara ‘sorogan’ (satu per satu). Pengalaman yang dialami oleh Ahmad Taufik
yang dituliskannya di dalam buku ini terurai bahwa sikap kiai tidak
didoktrinkan kepada santri, termasuk dalam mulang Alquran, seperti membetulkan
bacaan, namun diteladankan. Adakalanya kiai menegur melalui cara bagaimana
santri bisa menyadari dan menemukan kesalahannya sendiri sehingga terdorong
untuk memperbaikinya. Dalam hal bacaan Alquran, Kiai Warits terutama memberikan
perhatian serius pada panjang pendeknya bacaan. Kesan ‘mengaji Alquran secara langsung
kepada pengasuh’ dirasakan begitu kuat oleh banyak santri, termasuk oleh Muhdori
AR. Ia merasakan baroakah pengajaran Alquran sebagai warisan dari Kiai Warits
hingga ia menjadi pengajar Alquran dan menjadi salah satu imam Masjid Istiqlal.
TEGUH PENDIRIAN:
menurut Kiai Syafiie Anshori, Kiai Warits terkenal teguh pendirian, termasuk
dalam berpolitik, yaitu di PPP, meskipun beliau juga menjadi bagian dari ‘tim lima’ waktu pendirian PKB.
Dalam keseharian, sikap teguh pendirian juga ditampakkan, misalnya, dalam
menggunakan fasilitas negara. Di dalam buku ini, pengalaman Ida Royani yang
menjadi saksi bahwa Kiai Warits sama sekali tidak pernah mau menggunakan mobil
dinas untuk kepentingan pribadi ditulis dengan bahasa yang renyah. Hal serupa
juga dibenarkan oleh pernyataan Hodri Ariev yang juga mengalami kisah serupa,
yakni pada suatu waktu ketika Kiai Warits diundang para alumni. Saat dijemput
dengan mobil plat merah, beliau menolak dan memilih kendaraan lainnya.
Menurut Muqiet Arief, beliau termasuk sosok yang sangat bisa menempatkan
diri untuk bertutur dan bertindak seperti apa dan di tempat yang mana. keteguhan
sikap itu adalah bentuk memperjuangkan pesantren demi izzul Islam, bukan
membawa-bawa nama lembaga sebagai kebanggaan namun justru untuk membesarkan
diri sendiri.
Bagi masyarakat awam, prinsip semacam ini, sepintas akan tampak kaku, demikian
komentar Hodri Ariev, padahal menurutnya, semua itu merupakan akibat daripada
sikap sangat berhati-hati dan konsisten. Kiai Warits adalah
contoh tokoh nyata yang terhadap hal-hal syubhat pun jelas tidak mau kompromi,
apalagi untuk yang haram. “Dan sejauh yang saya tahu,” tulis Hodri, “ini adalah
praktik masyayikh Annuqayah (secara umum).”
Beda perspektif dari sebelumnya, kesan teguh pendirian di mata Ahmad Sahidah
(seorang alumni yang kini menjadi dosen di Universiti Utara Malaysia) tampak
terutama dalam hal mempertahankan nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah.
Dalam sebuah
kesemnpatan nyabis (sowan), Ahmad mengaku mendengar bagaimana beliau sangat masgul kala ada kabar santri yang
bergabung dengan sebuah pesantren dan menurutnya berbeda dengan ajaran ‘aswaja’
sebagaimana ditanamkan di Annuqayah.
Itulah sebagian pandangan
para alumni akan keteladanan KH. A. Warits Ilyas yang dapat dicontoh.
Butir-butir teladan di atas merupakan pandangan umum. Namun begitu, ada pula jenis
tulisan lain yang bersifat kesan-kesan, di antaranya seperti yang ditulis oleh
Jamal D. Rahman. Jamal merasakan kesan mendalam karena Kiai Warits merupakan kiai
daripada dirinya, istri, sekaligus orang yang menikahkannya. Menurutnya, kamatangan
seorang figur telah dicapai oleh Kiai Warits dalam usia yang barangkali masih belum
lagi genap 30 tahun.
Tentu, situasi
semacam ini akan berat bagi sembarang orang. Hanya figur yang matanglah yang siap
mengembannya. Kesan itulah yang ditulis alumni yang lain, Mohammad Nabil. Ia
menyatakan kesan pribadinya saat masih kecil dulu, ketika ia suka menyelusup
masuk ke lingkungan ndalem pengasuh. Nabil mencatat dengan baik: “Seperti
yang saya ketahui, trahnya adaklah trah raksasa yang menaklukkan penjajah
belanda. Tak satu pun orang meragukan itu, setidaknya bagi yang tahu tentang
lembaran sejarah Annuqayah, warisan luluhurnya. Lahir dari trah raksasa bukanlah
hal yang mudah karena banyak beban sejarah yang harus ditanggung; kebesaran,
herioisme, kesuksesan, dan kisah-kisah lain tentang pengabdian pada ummat.”
Satu-satunya
tulisan yang berbeda dari semua esai yang ada di dalam buku ini adalah karya
Sofyan RH Zaid. Sofyan menyampaikan kesan-kesannya dalam bentuk sajak. Dalam
buku ini, ada dua karyanya yang dimuat; Suluk Salak dan Fajar Bermata Bulan.
Sajaknya pun menggunakan metrum persamaan jumlah suku kata dan persamaan rima untuk
setiap barisnya sehingga terciptalah saja yang sangat mirip dengan syair yang
menggunakan bahar.
Adapun
kesan penutup ditulis oleh alumni senior,
KH Muzakki Zain. Pada epilog bunga rampai ini, Kiai Muzakki mengungkapkan pengalaman
pribadinya dalam mengenal sosok Kiai Warits yang menurutnya sudah tidak perlu
diragukan lagi untuk ditahbiskan sebagai sosok yang tawaduk, menghargai
pemberian orang lain, dan mengedepankan kepentingan umum. Kiai Muzakki bahkan
berharap, keteladanan beliau dapat menjadi ‘nafas Indonesia’.